Jumat, 18 Januari 2008

Kutipan dari Buku "PENDIDIKAN BERPERSPEKTIF GLOBALISASI"


“….. “Globalisasi”—sebagai istilah tersendiri—juga paling banyak diterima dan diucapkan di dunia pendidikan. Meskipun istilah globalisasi telah begitu terkenal, dalam banyak hal awalnya hampir tidak ada perdebatan ilmiah dan kritis terhadapnya, kecuali doktrin. Kalimat yang paling akrab di telinga kita—sebagaimana sering dipidatokan Soeharto dulu, dan juga para politisi “pro-globalisasi”: “mau tidak mau, suka tidak suka, kita tidak bisa menghindar dari arus besar globalisasi…Masalahnya, bagaimana kita menyiapkan diri untuk menghadapinya, agar bisa memetik manfaat dari arus besar itu.””

“….. Secara keseluruhan, korporasi menghabiskan dana perkapita untuk menciptakan konsumen yang bersahabat lebih dari separuh dana perkapita yang digunakan dunia untuk pendidikan masyarakat. (Dana dunia untuk pendidikan masyarakat adalah $207 per kapita. Untuk negara-negara selatan angka ini adalah $33). Tambahan lagi, pertumbuhan belanja periklanan jauh melebihi kenaikan belanja pendidikan.”

“….. Tugas pendidikan adalah membawa generasi ini mampu merengkuh sedemikian dekat agar manusia tidak tercerabut dari kemampuaannya dalam menghadapi kontradiksi alam di mana yang kekal adalah perubahan. Globalisasi sebagai proses terkait dengan istilah Globalution, yaitu paduan dari kata globalization dan evolution. Dalam hal ini globalisasi adalah hasil perubahan (evolusi) dari hubungan masyarakat yang membawa kesadaran baru tentang hubungan/interaksi antar umat manusia. Evolusi pemikiran ke arah kematangan dan kemajuan yang mendorong produktifitas dan kreativitas ditimpakan pada pendidikan….”

“….. Peran guru sangat diharapkan karena guru adalah pemandu dan teman dialog bagi peserta didik, dan bukan hanya orang yang bertugas mendiktenya. Globalisasi sedang menunggu, biarkanlah anak-anak didik mengetahui kebebasan menikmati dunia dengan keanekaragamannya, dan mari kita dorong mereka untuk memacu tenaga produktif dan kreatifitas untuk menghadapi proses pengglobalan (bukan penggombalan)!”

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Apresiasi Buku "PENDIDIKAN BERPERSPEKTIF GLOBALISASI"


Pendidikan dan Nasib Anak
di Era Globalisasi


Oleh:
Ibu Magdalena Sitorus,
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia;
Ketua Rekan Anak dan Perempuan


Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Kepres No. 36 pada tahun 1990 dimana sebagai konsekuensinya sebagai Negara peserta (State Party) secara yuridis dan politis mengikuti seluruh ketentuan yang ada di dalam konvensi tersebut. Salah satu konsekuensinya mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan secara regular kepada PBB tentang sejauh mana pelaksanaan Konvensi tersebut sebagai perwujudan bagaimana pemenuhan Hak Anak di Indonesia.

Tentunya Konvensi dilahirkan karena adanya permasalahan besar yang dihadapi oleh Anak secara universal yaitu banyaknya hal atau situasi yang menggambarkan ketidak adilan yang serius yang di derita oleh anak-anak seperti tingginya tingkat kematian anak, perawatan kesehatan yang buruk, terbatasnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan dasar. Belum lagi hal-hal seperti kasus-kasus anak yang mengalami penyiksaan, eksploitasi seksual, melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya bagi keselamatan anak,anak dalam penjara, pengungsian ataupun yang terlibat dalam konflik bersenjata dan lain-lain.

Anak adalah cikal bakal menjadi orang dewasa yang satu saat kelak dalam bahasa kerennya “pemilik dan pengelola masa depan”. Untuk menjadi pemilik dan pengelola masa depan tentunya mereka harus dipersiapkan dengan baik oleh orang-orang dewasa di sekitarnya yang menjadi penanggung jawab penyelenggara perlindungan Anak yaitu mulai dari komponen masyarakat terkecil yaitu orangtua, keluarga, masyarakat, Negara dan pemerintah (Lihat UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

Hak Anak yang melekat pada diri mereka harus dipenuhi mulai dari Hak Kebebasan Sipil, Kesehatan, Pendidikan, Pengasuhan dan Perawatan Alternatif/Lingkungan yang ketika diberikan harus berazaskan 4 (empat) Prinsip Dasar Hak Anak yaitu Non diskriminatif, Kepentingan Terbaik Bagi Anak (The best interest of the Child), Hak untuk hidup, kelangsungan hidup pengembangan diri dan Hak untuk mengemukakan pendapat (Child Participation). Hak-Hak yang melekat pada diri anak tentunya berkaitan satu sama lain. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia dan memberikan kemampuan untuk menghadapi perubahan-perubahan yang secara alamiah sesuatu yang tidak dapat dihindari.

Pendidikan tanpa ditunjang pemenuhan Kesehatan yang baik, Pengasuhan dan lingkungan yang baik, dan Kebebasan Sipil seperti memperoleh identitas, berserikat, memperoleh informasi sesuai dengan kematangannya usianya adalah tidak berarti. Pemenuhan Hak Anak tersebut diberikan dengan secara nondiskriminasi tanpa memandang jenis kelamin, latar belakang suku, ras, agama, latar belakang sosialnya. Bagaimana kita dapat mengetahui apakah dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak tanpa memberikan peluang untuk berdialog dengan anak dengan memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengemukakan pendapatnya tentang hal tersebut. Tentunya dengan melakukan hal tersebut kita akan menjamin tumbuh kembang anak baik secara fisik maupun mentalnya.

***
Penulis muda ini mempunyai kegelisahan yang tentunya juga menjadi kegelisahan masyarakat kebanyakan tentang apa yang terjadi dengan Pendidikan yang dalam waktu yang bersamaan diperhadapkan dengan masalah Modernisasi yang erat kaitannya dengan Globalisasi. Banyak permasalahan dan kondisi realitas yang diungkapkan oleh penulis yang tentunya harus menjadi sentakan bagi kita orang dewasa apa yang ingin kita buat untuk negeri tercinta ini secara khusus berkaitan dengan Pendidikan yang sudah menjadi barang lux di negeri ini.
Ketentuan yang ada semisal di dalam Konstitusi kita yaitu UUD 45, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU tentang Pendidikan Nasional yang menjamin setiap anak Indonesia untuk dapat memperoleh pendidikan.

Pendidikan merupakan satu proses pengharapan melahirkan peningkatan kualitas manusia. Hal ini akan menjadi lebih dapat dipertanggungjawabkan ketika pendidikan dimulai pada masa kanak-kanak dan bahkan masa balita dinyatakan sebagai “golden age” karena ini lah masa pembentukan yang baik dan bila berjalan dengan baik kelak akan menghasilkan manusia yang berkualitas. Sekarang bagaimana orang dewasa dalam kehidupan si anak dengan peran-peran yang berbeda melakukan upaya perlindungan anak dengan memberikan yang maksimal pemenuhan hak-hak mereka termasuk hak untuk memperoleh pendidikan.

Pendidikan menjadi tanggung jawab semua pihak yang tidak terbatas pada tanggung jawab pendidikan formal yang tentunya mempunyai kurikulum yang tersistim.
Berbicara tentang anak adalah berbicara tentang orang dewasa, apapun peran mereka di dalam masyarakat. Orang dewasa yang ada saat ini adalah anak pada masa lalu yang diperlakukan oleh orang dewasa terhadap mereka.

Demikian seterusnya menjadi satu siklus kehidupan. Hal ini sangat tergantung pada perolehan pendidikan sebagai proses pembelajaran dari pengalaman yang diperoleh anak dalam masa usia anak. Selain itu apakah ia menjadi subyek atau obyek dari lingkungannya.

Perubahan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari di dalam kehidupan demikian juga halnya bila dikaitkan dengan perubahan social. Terdapat aksi dan reaksi karena setiap perubahan akan diimbangi oleh perubahan lain. Perubahan dapat terjadi dimana dorongan utama perubahan bisa berasal dari luar masarakat itu sendiri. Memang bisa juga terjadi sumber perubahan berasal dari dalam yang dimana hal ini mungkin terjadi melalui peranan pemimpin kharismatis dimana makna kehidupan individu dan sifat masyarakat diberi definisi baru. Misalnya: masyarakat harus menjadi bagian penyelenggara perlindungan anak dimana baik individu maupun kelompok-kelompok masyarakat harus menjalankan pemenuhan hak anak mulai dari hak sipil, sampai pada kesehatan, pengasuhan dan pendidikannya dengan memperhatikan 4 prinsip hak anak tersebut dimana pemimpin kharismatis itu bisa berada dalam elemen-elemen masyarakat sampai kepada pemimpin Negara.
Yang diharapkan bagaimana orang dewasa saat ini sudah harus berubah melihat sosok anak sehingga apapun peran orang dewasa di dalam masyarakat, bagaimana anak menjadi pusat pertimbangan utama dalam memutuskan sesuatu dalam segala hal. Siklus dalam bentuk kekerasan, diskriminasi yang terjadi harus diputus sehingga tidak terjadi kekerasan dalam bentuk tidak terpenuhinya pendidikan bagi seluruh anak Indonesia karena hak anak adalah menjadi hal yang melekat pada diri mereka. Bagaimana orang dewasa di sekitar mempersiapkan anak-anak kita dapat menghadapi modernisasi dan globalisasi secara sadar dan sehat karena toh sesuatu yang tidak dapat dihindari. Sekarang bagaimana melindungi anak-anak kita dengan metoda dan strategi yang aman dalam artian menjamin tumbuh kembang baik secara fisik maupun mentalnya bagi mereka. Bagi pemegang kebijakan tentunya dibutuhkan tidak saja good will tetapi juga political will. Sesuatu yang harus di yakini apabila segala sesuatu keputusan dari penyelenggara perlindungan anak baik sebagai individu, orangtua, keluarga bahkan sampai pemerintah dan negera bila dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak termasuk dalam hal ini pendidikann pasti akan menjadi non diskriminatif, melindungi hak tumbuh kembang dan memberi ruang bagi partisipasi anak. Yakin se yakinnya bila hal itu dilakukan akan tercipta kelak orang-orang dewasa yang perduli anak dan secara otomatis hak azasi manusia secara keseluruhan akan terpenuhi karena tercipta manusia yang berkualitas sebagai tujuan dari pendidikan itu sendiri.

Pendidikan diharapkan agar bagaimana seseorang memperoleh pengetahuan yang dapat mencerahkan. Pembentukan seseorang tidak dapat mengelakkan satu proses pembelajaran yang mulai dari usia anak. Hal-hal yang diperoleh dari masa kanak-kanak baik melalui pendidikan formal, non-formal maupun informal akan mempengaruhi kepribadian anak.

Jika kita lihat secara global, perubahan yang melanda masyarakat dunia ini termasuk pendidikan adalah akibat dari adanya berbagai kendala yang sifatnya memang harus dihadapi secara multi sistim. Dengan adanya hal-hal inilah maka timbul berbagai kehendak baru, sehingga siapa yang kreatif, pandai, mampu dan mau mengubah pla-pola lama menjadi pola yang modern akan lebih cepat maju kedepan. Di lain pihakbagaimana pendidikan yang non diskriminatif dengan pertimbangan-pertimbangan kebutuhan anak yang berbeda tetapi dapat merespons perkembangan jaman tanpa terjebak dan terbelenggu pada hal-hal yang tidakmenjamin masa depan anak bangsa.

Penulis mengungkapkan adanya suatu realitas bagaimana dengan adanya globalisasi dan modernisasi yang melanda dunia mempunyai dampak terhadap pendidikan di Indonesia. Kritikan-kritikan terhadap situasi yang ada dimana perubahan social adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari tetapi bagaimana kita mempunyai tanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak Indonesia terutama yang berkaitan dengan latar belakang social ekonomi.

Pemikiran-pemikiran penulis sebagai bahagian dari generasi muda yang dituangkan dalam sumbangan pemikiran dalam tulisan ini diharapkan mempunyai kontribusi terhadap seluruh penyelenggara perlindungan anak lagi-lagi mulai dari orangtua, keluarga, komponen masyarakat, pemerintah dan negara agar peka terhadap yang terjadi dengan pendidikan anak Indonesia dimana pengaruh arus globalisasi yang sangat kuat yang kalau tidak diantisipasi dan dipersiapkan untuk menghadapinya akan mempunyai dampak yang sangat tidak menguntungkan. Selanjutnya bagaimana sumbangan pemikiran dalam tulisan ini dapat merubah pola pikir kita dalam mempersiapkan pendidikan bagi anak-anak kita menyongsong masa depan karena mereka kelak yang menjadi pemilik dan pengelola masa depansehingga tidak larut dan terbawa arus sistim yang sudah ada. Semoga!!!


Jakarta, 24 November 2007

Apresiasi Akademis Buku "REVOLUSI SANDINISTA":

_________________________________
Kemenangan Demokrasi Popular Amerika Latin

Oleh: Airlangga Pribadi
Staf Pengajar Gerakan Sosial Politik &
Peneliti Laboratorium Politik FISIP Universitas Airlangga


Salah satu peristiwa mengejutkan di decade awal tahun 2000-an adalah kemenangan kekuatan-kekuatan kiri melalui Pemilu Presiden di beberapa negara Amerika Latin. Keberhasilan Daniel Ortega (veteran pemimpin gerilyawan Sandinista) untuk merebut kursi kepresidenan melalui pemilu di Nicaragua, kemenangan politik doktor ekonomi Rafael Correa dari sayap nasionalis kiri pada Pemilu Presiden Ekuador, dan keberhasilan pemimpin populis Hugo Chaves menjabat Presiden kedua kalinya pada pilpres yang dilaksanakan di Venezuela. Kesemua fenomena tersebut semakin memantapkan konsolidasi kepemimpinan kelompok Kiri dan gelombang pasang demokrasi popular pada sembilan negara di Amerika Latin.

Kemenangan kekuatan-kekuatan kiri di Amerika Latin merupakan symbol dari keruntuhan konsensus ekonomi politik global yang dibangun sejak akhir tahun 1980-an, ketika kemenangan demokrasi yang mendunia dimaknai sebagai akhir dari sejarah yang menggoreskan tinta kemenangan demokrasi liberal dan pasar bebas diatas gagasan-gagasan alternatif lainnya yang lebih manusiawi. Mengingat secara empiris terbukti narasi dominant demokrasi neo-liberal justru memfasilitasi akusisi diam-diam otoritas negara yang bekerja bagi kepentingan korporasi dan meninggalkan aspirasi warga sebagai konstituennya.

Dalam konteks pertarungan besar membongkar wacana hegemonic sejarah tentang demokrasi pasar bebas inilah tulisan seorang penulis muda Nurani Soyomukti tentang Sandinista Akhir dari Akhir Sejarah: Gerakan Sandinista Melawan Amerika menemukan relevansinya. Narasi tentang Kapitalisme dan demokrasi liberal sebagai akhir dari sejarah pada kenyataannya tidak mendapatkan pijakannya secara empiric, terbukti satu tahun setelah publikasi buku tersebut, yaitu tahun 1994, gerakan melawan kapitalisme neoliberal tampil dalam manifestasi gerakan Zapatista di Mexico yang menginspirasikan lahirnya kembali artikulasi politik kiri di Amerika Latin.

Jauh dari membawa berkah, proyek demokrasi berbasis neoliberal memunculkan persoalan-persoalan serius bagi masyarakat Amerika Latin. Seperti diuraikan oleh Frank O. Mara dan Karl Kalthenthaler (1998) dalam Neo-Liberalism in Latin America, keberlangsungan praktek rezime neoliberalism di Amerika Latin selama pengalaman tiga gelombang periode (sejak tahun 1980-an sampai paruh akhir tahun 1990-an) membawa pada krisis sosial bagi masyarakat Amerika Latin. Reformasi ekonomi berbasis liberalisasi pasar bebas dan pemangkasan berbagai program sosial, alih-alih membangun kultur produktif dan kompetisi justru memperluas kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin dan problema pengangguran. Kondisi sosial yang dihadapi oleh para petani dan buruh Amerika Latin pada paruh akhir tahun 1990-an lebih buruk daripada sebelum tahun 1980-an. Setidaknya di Amerika Latin sampai tahun 1998 tercatat kurang lebih 200 juta jiwa hidup dibawah garis kemiskinan. Selain itu, ketimpangan distribusi tanah juga berlangsung di negara-negara Amerika Latin.

Secara politis, proses restrukturisasi ekonomi berbasis neoliberal mengakibatkan erosi kapasitas negara untuk mengelola krisis sosial akibat pembelahan sosial dan meluasnya perasaan tidak aman dan kriminalitas akibat frustasi dan kekecewaan yang tumbuh dari publik ketika negara tidak mampu melindungi warga dari kekuatan korporasi yang bersifat amoral. Pengalaman Amerika Latin selama dibawah bendera neoliberalisme secara faktual telah menjadikan wilayah tersebut sebagai salah satu dari negara-negara dengan tingkat ketimpangan ekonomi tertinggi di dunia dengan diiringi keruntuhan otoritas politik negara untuk melindungi dan menjaga kepentingan bersama dari warganya.

Penolakan publik terhadap diskursus free market-democracy dan ekses pemiskinan struktural yang berlangsung telah memunculkan momentum bagi tumbuhnya artikulasi-artikulasi politik alternatif di Amerika Latin. Intelektual politik asal Inggris yaitu Gideon Baker (2002) menguraikan munculnya politik gerakan sosial baru di Amerika Latin sejak paruh akhir tahun 1980-an. Seiring dengan eksklusi sosial politik warga oleh kekuatan negara dan pembajakan otoritas negara oleh kekuatan korporasi, maka tumbuhlah gerakan-gerakan sosial berbasis komunitas lokal seperti Zapatista di Meksiko, gerakan kelas pekerja dan petani di Brazil dan Bolivia yang memperjuangkan reformasi agraria dan fair trade sebagai lawan free trade, koalisi gerakan rakyat berbasis kaum pekerja, jurnalis, kelas pekerja, intelektual, guru dan petani di Venezuela, Ekuador dan Argentina serta berbagai komunitas akar rumput lainnya seperti kaum perempuan dan masyarakat adat yang memperjuangkan imajinasi politik baru dengan tawaran alternatif tatanan sosial yang lebih humanis.
Gerakan-gerakan sosial tersebut mengartikulasikan isu-isu komunitas kewargaan yang melampaui orientasi kelas, memperjuangkan politik otentik-kemandirian, terbentuk dalam konteks lokal-berbasis akar rumput, bergerak diluar struktur politik formal, namun mereka saling terhubung melalui jaringan-jaringan gerakan yang solid dengan menyuarakan pengalaman kemiskinan dan peminggiran sosial politik yang mereka alami sehari-hari. Perlahan-lahan mereka mengorganisasikan diri dan mentransformasikan diri tidak saja semata-mata sebagai gerakan sosial namun turut mentransformasi arena politik.

Jalur Politik Progresif
Keberhasilan politik kaum kiri dalam arena politik di Amerika Latin sejak periode awal abad ke-21 ini, merupakan buah keberhasilan perjuangan gerakan-gerakan sosial akar rumput yang bersinergis dengan kekuatan-kekuatan politik progresif. Mereka berjuang memanfaatkan demokrasi elektoral sebagai sarana melakukan transformasi politik secara mendasar bagi kepentingan publik. Sehubungan dengan kemenangan kekuatan kiri di Amerika Latin dalam mempertahankan kedaulatan politik rakyat ada beberapa hal yang dapat kita jadikan sebagai bahan renungan untuk membenahi lingkungan dan realitas politik di Indonesia.

Pertama, kemenangan demokrasi popular di Amerika Latin merupakan symbol kemenangan politik yang memperjuangkan kemandirian dan politik otentisitas. Di tengah desakan dan rayuan agenda pasar bebas dari Washington Consensus, para pemimpin politik Amerika Latin berani mengambil inisiatif langkah-langkah politik otonom diluar kelaziman. Langkah banting stir beberapa negara Amerika Latin keluar dari paradigma neoliberal adalah aksi konkret untuk menegaskan politik kemandirian dan menggunakan kekuasaan politik sesuai dengan amanat yang diberikan oleh publik kepada para pemimpinnya.

Rafael Correa setelah memenangi Pilpres di Ekuador misalnya berjanji untuk mereformasi konstitusi Ekuador menjadi lebih pro-rakyat, dan mempertimbangkan suara dari kelas pekerja daripada kepentingan self interest dari korporasi. Sementara Presiden Venezuela Hugo Chaves berani melakukan langkah politik radikal mengubah kesepakatan ekonomi antara negara dengan pihak korporasi minyak, dengan pengalihan keuntungan sebesar-besarnya dari penjualan minyak bagi kesejahteraan kehidupan rakyat Venezuela.

Kedua, arus gelombang pasang demokrasi popular di Amerika Latin merupakan hasil dari kerja keras menghimpun kekuatan blok histories antara elemen-elemen gerakan sosial di wilayah masyarakat sipil dan kekuatan partai-partai progresif. Keberhasilan penegakan kedaulatan politik rakyat di negara-negara Amerika Latin berlangsung melalui proses koalisi kekuatan progresif yang mempertemukan arus besar gerakan sosial akar rumput dengan kesabaran revolusioner dari para pemimpin dan kekuatan politik progresif disana untuk mendengar, mempertimbangkan dan mengorganisir suara rakyat yang selama ini terpinggirkan dan berjuang melalui jalur demokrasi elektoral.

Ketiga, praktek-praktek demokrasi popular yang dijalankan di beberapa negara Amerika Latin, melampaui praktek demokrasi konvensional liberal yang hanya melibatkan rakyat hanya dalam pemilihan umum. Desain demokrasi deliberatif yang telah melembaga seperti di Brazil dibawah pimpinan Presiden Luiz Ignazio ‘Lula’ da Silva dari Partindo Trahabaldores (Partai Buruh) meradikalisasi praktek politik demokrasi, dengan membuka kesempatan bagi publik tidak hanya untuk terlibat dalam proses politik keseharian bagi kepentingan mereka, namun lebih dari itu termanifes secara konkret untuk terlibat dalam penentuan anggaran publik melalui model Participatory Budgeting, sehingga warga dapat menekan agar seluruh anggaran yang disahkan di seluruh daerah diprioritaskan bagi kepentingan mereka.
Pengalaman praktis demokrasi popular di Amerika Latin semestinya mendorong para aktivis pejuang demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia untuk merumuskan kerja-kerja politik yang otentik bagi pemulihan kedaulatan publik. Tentunya tantangan pemulihan tersebut teras berat dan mendaki jalan yang terjal, mengingat saat ini partai politik sebagai penjaga tatanan demokrasi ternyata jauh, berjarak dari agenda-agenda publik, dan hanya mengejar kepentingannya dalam arena demokrasi padat modal. Ketika kita mengaji dari suksesnya jalan demokrasi popular Amerika Latin, maka proses awal transformasi politik di Indonesia sepertinya membutuhkan berbagai perubahan karakter elite politik, intensitas perjuangan masyarakat sipil, serta kepercayaan yang kuat bahwa jalan-jalan alternatif berbasis politik kemandirian masih sangat memungkinkan untuk dijalankan untuk merealisasi tata keadilan di republik ini.

Karya Nurani Soyomukti, seorang kaum muda yang sangat produktif ini, adalah salah satu ikhtiar untuk menyorot salah satu Negara di mana gerakan popular memenangkan pemilu, setidaknya kelompok lliberal pro-imperialis AS dapat dikalahkan melalui pemilu. Sandinista adalah salah satu gerakan rakyat yang cukup legendaries, keberhasilan dan kelemahannya tentu dapat dijadikan pelajaran bagi kita semua.



Surabaya, 26 November 2007

Kata Pengantar NURANI SOYOMUKTI:

___________________

Puji dan syukur, akhirnya buku ini dapat diterbitkan. Tentunya dengan semangat dan kerja yang lama dan keras, bahkan melibatkan dan mengorbankan banyak hal, juga bantuan dari beberapa orang dan lembaga yang (mudah-mudahan tidak merasa) direpotkan.

Hasil studi yang saya tuangkan dalam buku ini merupakan bagian dari proyek besar saya untuk mendokumentasikan gerakan rakyat melawan globalisasi neoliberalisme. Sejak ada gejala perlawanan baru yang berhasil di sebuah kawasan, tepatnya Amerika Latin, saya kembali berusaha melanjutkan usaha saya untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa kapitalisme bukanlah ‘akhir sejarah’ sebagaimana dipropagandakan dengan manisnya oleh akademisi Washington, Francis Fukuyama.

Yang saya lanjutkan adalah studi yang dapat dikatakan terlunta-lunta dalam posisi saya (waktu itu) sebagai mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional (di sebuah kampus yang tidak dapat dikatakan besar, modern, dan kondusif bagi pengembangan naluri ilmiah-akademik) FISIP Universitas Jember. Mungkin juga karena basis individu saya yang agak ‘gaptek’ (gagap teknologi), sehingga kemampuan mencari informasi dan data melalui internet justru berlaku saat saya terpaksa (harus) menyelesaikan tugas akhir (skripsi) yang telah tertunda selama setahun. Studi anti-globalisasi justru dipicu oleh posisi saya sebagai “aktivis”—begitu orang-orang menyebutnya.

Pada saat mengerjakan skripsi yang kelar pada awal tahun 2004, sesungguhnya saya masih buta tentang apa yang terjadi di Amerika Latin, setelah Hugo Chavez menang pemilu 1998. Bahkan nama “Hugo Chavez” sama sekali tidak ditemukan dalam skripsi saya, pada hal—seperti pikiran, ucapan, dan tindakan Hugo Chavez—skripsi saya juga banyak mengutuk globalisasi neoliberal dan sedikit umpatan emosional terhadap Amerika Serikat (AS). Mungkin karena nama Hugo Chavez memang belum banyak dimuat di media—pada hal ia melakukan kebijakan nasionalisasi (anti-neoliberal) pada tahun 2001 saat pembuatan UU Hidrokarbon meresahkan pemodal asing yang sebelumnya menikmati banyak keuntungan dari minyak Venezuela.
Dan karena kondisi itu, saya merasa terlambat mengetahui hal-hal yang terjadi di dunia, khususnya Amerika Latin. Setelah dipercaya oleh kawan-kawan untuk duduk di kpengurusan pusat sebuah organisasi anti-globalisasi neoliberal di Jakarta, saya lebih minder lagi atas keterlambatan informasi itu. Ternyata beberapa kawan bahkan pernah beberapa kali pergi ke Venezuela. Dan informasi tentang perkembangan sosial-politik yang terjadi memang menarik, menghenyak karena data-data itu sebenarnya bukti-bukti riil yang mendukung proyek menyerang tesis “akhir sejarah” Fukuyama yang pernah saya lakukan saat saya menulis skripsi sebagai tugas akhir dulu.

Itulah yang kemudian mendorong saya untuk mencari-cari informasi dan ‘berita baik’ tentang tanda-tanda keruntuhan kapitalisme/neoliberalisme, sekaligus menyokong kepercayaan dan analisis bahwa sosialisme sebagai jalan alternatif politik masih viable di era modern—dan memang oleh pencetusnya, sosialisme lebih cocok dalam fase masyarakat yang mencapai basis produksi modern, matang, dan dewasa, tidak feodal, barbar, dan tradisional.

Tetapi, mungkin yang saya lakukan (dan yang jarang dilakukan kawan-kawan saya lainnya) adalah (kemampuan yang kuat untuk) mendokumentasikan data-data itu. Hingga saya, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan (meskipun bukan tindakan illegal), banyak melakukan kegiatan menterjemahkan gagasan dan informasi tentang Amerika Latin (meskipun terbatas pada negara-negara yang memenangkan gerakan Kiri, khususnya Hugo Chavez). Seakan saya menjadi mahasiswa yang harus kembali menulis skripsi.

Kemenangan Evo Morales di Bolivia menambah semangat saya, lalu belakangan juga Daniel Ortega—dan berita tentang upaya penyatuan alternatif negara-negara yang anti-neoliberalisme dalam ALBA sebagaimana digagas Hugo Chavez, Morales, Fidel Castro, membuat info yang saya geluti semakin semarak dan (tentunya) mengasyikkan.

Apa yang saya lakukan ternyata membawa manfaat. Data-data dan informasi, juga gagasan-gagasan yang saya akhirnya berguna. Beberapa kawan baik di organisasi dan beberapa mahasiswa Hubungan Internasional menghubungi saya untuk menggunakan data-data itu untuk menulis tugas mata kuliah dan skripsi. Saya tidak mendukung propaganda “hak kepemilikan intelektual” (intellectual property right) yang dicanangkan para pemodal besar: Hasil terjemahan yang saya lakukan dan informasi-infomasi itupun dipakai. Di antara mereka ada yang memberikan “sejumlah” materi untuk biaya terjemahan, dan hal itu justru kian menambah amunisi bagi saya untuk mencari info yang lebih banyak—waktu yang saya habiskan untuk searching data-data via internet (yang tentu saja dikomersialkan oleh pengusahanya) semakin banyak. Dan dengan internet pula, gerakan anti-globalisasi—melalui penggalian data, korespondensi (via e-mail), dan memasang gagasan saya di media (dalam bentuk esai, opini, artikel, resensi buku—semakin mungkin.
[1]

Pengakuan tersebut juga sekaligus ingin saya hubungkan dengan fakta bahwa internet masih menjadi satu-satunya teknologi yang paling membantu dalam mengumpulkan informasi yang saya geluti selama ini. Buku-buku tentang Amerika Latin masih jarang, apalagi tentang negara-negaranya yang menempuh jalur anti-kapitalisme dan menerapkan kebijakan kerakyatan (sosialisme) masih sangatlah jarang. Literatur-literatur di Ilmu Hubungan Internasional atau jurusan-jurusan yang ada keterkaitannya dengan sosial, politik, dan pemerintahan juga kekurangan informasi. Seorang kawan yang menjadi dosen/pengajar di Ilmu Hubungan Internasional sebuah universitas negeri yang terkenal di Jakarta bahkan mengakui dan mengatakan pada saya bahwa kajian Amerika Latin sepertinya diasingkan, dengan cara membatasi literatur-literaturnya (baik sengaja ataupun tidak)—hingga ia sempat tidak tertarik untuk mendalami kajian tentang kawasan itu.

Inilah yang membuat saya agak “bangga” (narsis?) setelah buku pertama saya yang berjudul “Revolusi Bolivarian: Hugo Chavez dan Politik Radikal” (2007) terbit. Dan akhirnya saya juga bersyukur, karena buku yang lainnya tentang gerakan rakyat di Amerika Latin lainnya, kali ini tentang Gerakan Sandinista, dapat diterbitkan. Semangat untuk mengumpulkan dan menstrukturkan informasi-informasi dan data-data (tentu saja diramu dalam gagasan) menjadi sebuah buku nampaknya akan menjadi kegiatan yang menarik sebagai aktifitas dalam hidup saya—biarlah saya dicap sebagai “sok intelektualis”, “Marxis legal”, atau apapun oleh sebagian orang: saya tetap akan berupaya berperan sebaik mungkin.

Dalam proyek ini, mungkin saya akan menghibur diri dengan menjuluki posisi dan peran saya sebagai seorang “dokumentor”. Masalahnya, tujuan utama saya, sebagaimana saya tegaskan di buku pertama saya, adalah mendokumentasikan tentang apa yang terjadi: bahwa kapitalisme dapat dikalahkan dan digantikan dengan tatanan yang lebih adil; Ada langkah-langkah, strategi-taktik, dan program—tentunya landasan ideologis, watak, dan tindakan—yang bisa dijadikan contoh oleh politisi, intelektual, aktifis, dan siapapun mereka yang menyukai perubahan.
Hakekat kegiatan dokumentasi juga dikaitkan dengan fakta bahwa saya menyebutkan sumber-sumber informasi yang ada, mungkin kesannya seperti format skripsi—tapi maksud saya adalah bahwa pembaca bisa mengerti siapa dan apakah penggali informasi tersebut, agar ilmiah, objektif, dan jujur. Dan saya memang keranjingan pada karya ilmiah, bukan sekedar propaganda atau provokasi atau fitnah!!!

Intinya, buku yang berjudul “Akhir dari ‘Akhir Sejarah’: Sandinista Mengalahkan Amerika” ini adalah dokumentasi proses gerakan sebuah organisasi politik yang dalam sejarahnya sangat berperan dalam memimpin perjuangan rakyat. Peran Sandinista di negara Nikaragua mengiringi sejarah yang panjang bersama dinamika rakyat berhadapan dengan imperialisme Amerika Serikat dan kapitalisme global. Kemenangan kembali Sandinista di tahun 2006, pada saat gelombang gerakan Kiri semarak, akan menambah warna politik yang cukup berpengaruh. Kemenangannya tentu saja tak lepas dari suasana berlawan yang semakin kental di kawasan ini. Tak salah jika di bagian aal buku ini saya mengambarkan daya sokong perlawanan di kawasan, di negara-negara tetangga Nikaragua. Bangkitnya politik Kiri adalah ancaman bagi kelangsungan kekuasaan liberal rejim-rejim yang ada, yang bisa jadi menunggu waktu dalam hal kerontokannya/kekalahannya melawan organisasi-organisasi Kiri yang semakin populer.

Tanpa berpanjang kata, saya ingin sekali buku ini menjadi literatur dalam kajian inernasional/kawasan dan kepolitikan global, terutama bagi mereka yang tertarik dengan gerakan anti-globalisasi. Tetapi saya mengakui bahwa buku ini bukanlah sumber yang lengkap dan sempurna, dan justru karena itulah saya ingin menyampaikan permintaan maaf apabila masih ada keterbatasan dari proyek ini.
Dan bagaimanapun, saya ingin mengucapkan terimakasih pada beberapa pihak yang telah memberikan banyak bantuan dan sokongan. Pihak penerbit (Arruzzwacana), khususnya mas Masrur, adalah tokoh kunci bagi penerbitan buku ini. Kemudian ada yang tak terlupakan, ucapan terimakasih juga saya haturkan pada Mbak Tie, Ibu Siti Fatonah dan keluarga (Nabila, Etika, Deni, Amin Tohari, Mariam, Masroji, dll)—kalianlah yang banyak memberikan doa dan dukungan atas semua kegitanku; Juga “keluarga d Jember” (Ibunda Denok dan Bapak Milko dan Adik Adin)—mereka semua secara langsung atau tidak terlibat dalam proses menyelesaikan naskah ini.
Ucapan terimakasih juga saya sampaikan pada Pak Goerge Junus Aditjondro yang sudi memberikan masukan sekaligus memberi kata pengantar buku ini—sebagai tokoh intelektual kritis dan petualang (baca: sosiolog) yang juga pernah berkunjung ke wilayah Andez, kata sambutan dan apresiasi beliau merupakan kehormatan besar bagi saya. Selain itu pada Gus Solah (Sallahudin Wahid), beliau juga ikut memberikan inspirasi dengan opini-opininya tentang Hugo Chavez, Morales, Daniel Ortega (dan jalan alternatifnya) di Kompas (dan media-media lainnya), saya haturkan terimakasih.

Kawan-kawan di Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (JAMAN), tempat penulis beraktifitas, seperti Iwan Dwi Laksono, Gigih Guntoro, Dedi, Kaka) dan Mas Yudi Haryono, Mas Andi Subiyakto sebagai penyokong gerakan kaum muda kritis-progresif, dapat dikatakan sebagai pendorong utama semangat penulis untuk tetap berproduksi dan berkreasi agar wacana kemandirian dan perubahan dapat meluas hingga perubahan datang menjelang.

Juga kawan-kawan di organisasi kerakyatan yang tidak saya sebutkan satu persatu, kalian adalah pendorong sejati perubahan rakyat. Ada nama-nama lain seperti Budiman Sujatmiko, Dhofir dan Bang Marlin (OPSI), Bang Jusuf Lakaseng; kawan-kawan di Jawa Timur (Fajar, Bram, Nanang, Rudi, Langgeng, dll)—semuanya juga terlibat baik secara mental maupun moral dalam gawe ini.

Selain itu, ucapan terimakasih juga ingin saya haturkan pada beberapa kawan di Yayasan Komunitas Teman Katakata (KOTEKA) yang sekaligus penulis-penulis muda berbakat (Eri Irawan, Maya Siandhira, Deny Ardyansah, Agustinus Suprapto, Timo Teweng, Beta Candra Wisdata, Berti); sepasang intelektual muda Lukman Hakim dan Mbak Indah di The Academos Society (TAS) Pasca-sarjana UNEJ; Edy Firmansyah dan Pram Kecil di Sanggar Bermain Kata (Madura); Mbak Ajeng YAPPIKA Jakarta yang membantu proses pengeprinan naskah; Mas Abubakar Ebi Hara, Phd, Mr. Sugiyanto, Msi. (HI FISIP UNEJ) serta Mas Imam Nursubono Hubungan Internasional FISIP UI (atas sokongan literaturnya) dan akademisi yang berpikiran ilmiah dan maju lainnya di almamater penulis.

Kepada kawan-kawan di organisasi-organisasi mahasiswa dan kaum muda (HIKMAHBUDHI, LMND, PMII, HMI, GMNI, GMKI, IMM, IPNU, KAMMI, FMN, SMI, GMPI, JMD, GMNK, GEMA PEMBEBASAN, dll), saya ucapkan terimakasih karena gawe ini juga diinspirasikan oleh semangat mereka untuk mewujudkan tatanan yang adil makmur di negeri tercinta ini. Tabik! Dan selamat membaca!


Nurani Soyomukti,


Jakarta-Jember,Oktober 2007


________________________
[1] Hal ini sekaligus membuktikan bahwa semakin matang tenaga produktif kapitalis, teknologi kian maju, kapitalisme semakin terancam. (Upaya memajukan tenaga produksi tentu saja tak akan dilakukan oleh kapitalis kalau tidak menguntungkan. Internet adalah produk lama, teknologi perang yang telah digunakan sejak lama, bukan hal baru. Tetapi waktu itu tidak dimassalkan karena masih ada roduk lain yang dapat digunakan untuk mencari keuntungan, belum mengalami titik jenuh. Sekarang internet diluncurkan, di massalkan, awalnya dengan harga mahal, tetapi semakin murah... dan gerakan anti-AS dan anti-kapitalisme justru memanfaatkan teknologi ini).

Kamis, 17 Januari 2008

Sambutan Akademis Buku "DARI DEMONTRASI HINGGA SEKS BEBAS: MAHASISWA DALAM PERANGKAP BUDAYA KAPITALISME DAN HEDONISME"

Kaum Muda Dalam
Labirin Neoliberalisme


Oleh: Erlangga Pribadi,
Staf Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya; Ketua Departemen Religious affair di Soegeng Sarjadi Syndicated; Staf Peneliti PSIK (Pusat Studi Islam dan Kenegaraan) Universitas Paramadina Jakarta; Ketua Departemen Penelitian Pusat Kajian Transformasi Sosial LEMLIT UNAIR; Dorektur Operasional INDIGO (Institute for Democratic Governance).


Sebuah praktik refleksi pengetahuan dari seorang intelektual akan bermakna kritis ketika dalam perenungannya terhadap realitas, ia mampu menarik diri sebentar dari proses dialektika sosial yang ia jalani, untuk mendeteksi secara tajam kepentingan-kepentingan kekuasaan dan ideologis dominan yang bekerja untuk mengontrol, mengarahkan dan mendisiplinkan masyarakatnya. Ia tidak akan melihat setiap fenomena sebagai sesuatu yang mengatasi sejarah dan siap untuk dinilai dengan seperangkat aturan-aturan moral, karena ia sadar kerapkali bahwa aturan moral dominan tidak lebih adalah produk dari relasi kekuasaan dan dialektika sosial yang berkembang dimasyarakatnya. Dan setelah membongkar segenap teknologi kekuasaan yang beroperasi di masyarakat, praktik intelektual selanjutnya adalah mengkonstruksi pengetahuan emansipatoris sebagai kerja bersama untuk membangun realitas yang manusiawi.


Agaknya pemahaman ini disadari penuh oleh Sang Penulis, Nurani Soyomukti, salah satu agensi kreatif dari lapisan kaum muda Indonesia yang tidak saja berjuang lewat kata-kata, namun juga ia menggugat lewat aksi dan tulisannya. Meminjam istilah populer dari Antonio Gramsci, penulis buku ini mencoba merepresentasikan diri sebagai intelektual organik yang berjuang tidak dalam ruang kosong, tanpa akar sosial yang jelas dan nir-kepemihakan.

Dalam tiap-tiap karya yang telah dibuat, saya amati tidak lelah ia dengan tekun menelusuri dan membongkar setiap renik-renik formasi kapitalisme dan pengaruhnya dalam membentuk lapisan kesadaran, tindakan dan aktivitas dari tiap-tiap kelas sosial di masyarakat. Namun demikian kerja membongkar praktik kekuasaan tersebut, tidak ia lakukan semata-mata sebagai kerja mengasyikkan intelektual yang “keranjingan” mengutak-atik fenomena sosial, namun hal itu ia lakukan sebagai bagian dari aktivitas perlawanan dan kerja advokasi terhadap kelas—kelas sosial yang yang dibentuk, dimanipulasi dan dieksploitasi oleh proses sirkulasi dan akumulasi kapital sebagai nafas dari gerak zaman neoliberal.

Karya ini menarik dan tak biasa, menurut saya karena bidikan tema yang digarap tidak hanya melihat wajah makro politik dari gerakan kaum muda. Saat menganalisis mahasiswa, buku ini tidak saja semata-mata menjadi karya yang memberikan reportase tentang gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik yang dalam setiap zaman berhadapan secara dialektis dengan kekuasaan; namun lebih dari itu yang menarik, buku ini memotret fenomena subtil dan terdalam dari mahasiswa.
Sementara itu sebagai karya yang memotret life style dari mahasiswa maupun kaum muda, buku ini patut diapresiasi dengan rasa hormat, karena di dalamnya kita dapat membaca upaya penulis untuk tidak terjebak dalam buku-buku sejenis seperti “Jakarta Undercover” yang hadir hanya untuk merayakan pornografi, kehidupan hedonisme malam dan sensualitas tanpa daya kritisisme. Sementara pada sisi lain, buku ini juga tampatk tidak berpretensi untuk menghakimi gaya hidup kaum muda dengan pendekatan monisme benar-salah dan hitam-putih.

Sebagai karya yang lahir dari penulis yang intens berinteraksi dengan tradisi berfikir kiri, buku ini memotret bagaimana berbagai gaya hidup dari mahasiswa mulai dari belajar, berpolitik, belanja, bercinta, ngerumpi, bahkan sampai main seks. Soyomukti menguraikan secara gamblang bagaimana pergeseran karakter mahasiwa dalam tiap-tiap zaman sampai pencitraan yang berubah mengenai mahasiswa dimasyarakat adalah bentukan dari formasi kapitalisme McWorld (meminjam istilah Benjamin Barber).

Mahasiswa sebagai lapisan kaum muda dikepung dari berbagai penjuru, mulai dari privatisasi pendidikan yang melanda kampus-kampus mereka, materi kurikulum dan pengetahuan yang bekerja semata-mata untuk melayani kepentingan produksi dan pasar, kampus yang berdiri ditengah kepungan mall-mall mewah yang menebar aroma hasrat konsumtivisme, sampai dengan jalur jasa infotainment dan kapitalisme media yang memanifes dalam bentuk MTV, sinetron, kontestasi Idol, serta acara-acara gosip.

Keresahan yang diuraikan oleh penulis tentang ruang-ruang kelas yang sepi dengan dinamika gagasan-gagasan kritis dan menyegarkan, dinamika gerakan sosial rakyat menentang rezime korporatokratis yang sepi dari partisipasi mahasiswa, ditengah ruangan kantin yang penuh hiruk pikuk pembicaraan tentang tangga lagu MTV, trend fashion dan rumpian artis-artis Hollywood adalah kepedihan yang saya alami sebagai seorang dosen muda ketika mengamati kultur mahasiswa kita. Kegetiran tersebut bukan hanya karena mengindikasikan kehidupan mahasiswa yang semakin berjarak dengan realitas ketidakadilan dan pemiskinan masyarakat; namun lebih dari itu realitas ini memperlihatkan bahwa mahasiswa juga kaum muda tidak menyadari bahwa semakin mereka masuk dalam pusaran kultur yang dibangun oleh kapitalisme, maka gaya hidup, fikiran, hasrat dan eksistensi mereka tengah diteror oleh sebuah kultur yang diproduksi oleh formasi kapitalisme neo-liberal.

Mengapa saya katakan teror? Karena ketika kita melihat baik dalam representasi di media massa, infotainment, iklan, dan berbagai bentuk industri budaya kapitalisme kontemporer kaum muda termasuk mahasiswa dijadikan kambing hitam, direndahkan dan dieksploitasi habis-habisan demi kepentingan akumulasi kapital. Membaca karya Nurani Soyomukti ini mengingatkan saya pada karya-karya dari seorang filsuf pedagogi kritis Henry A. Giroux. Dalam karyanya The Fugitive Culture, Giroux (1996) mengutarakan bagaimana dominasi rezime kapitalisme neoliberal, menguatnya kekuasaan korporatokratis dan serangan terhadap negara kesejahteraan dan kedaulatan publik berjalan seiring dengan teror terhadap kaum muda. Dalam representasi yang muncul diberbagai pemberitaan di media cetak dan iklan-iklan komersial, kaum muda dikonstruksikan kalau tidak sebagai perusuh dan drug user, atau mereka diidentikan dengan budaya pornografi. Tubuh-tubuh ramping dan sensual kaum muda ditampilkan secara mencolok demi menarik profitabilitas dan akumulasi kapital. Serangan dan teror terhadap kaum muda dalam representasi di media ini terlihat sangat gamblang dalam cara yang halus dan menjerat.

Di Indonesia fenomena ini sangat terlihat jelas. Ketika kaum muda dijadikan sebagai kambing hitam, pelaku keonaran, terlibat dalam seks bebas maupun narkoba, pemahaman yang lebih komprehensif terhadap realitas sosial tidak pernah dikemukakan secara terbuka. Kultur kekerasan yang dilakukan oleh para mahasiswa STPDN misalnya, kerap hanya dilihat dari manifestasi sadisme dan hasrat kekerasan dari mahasiswa dan kaum muda. Hal ini tidak pernah dihubungkan dengan bagaimana relasi kekuasaan antara negara dan kapital membentuk rezime pendidikan yang telah dibangun secara sistemik selama ini untuk menciptakan para elite lokal dan pamong praja yang bertugas menjaga stabilitas dan kepentingan kapital; disertai dengan skill dan kemampuan untuk menggunakan cara-cara kekerasan. Sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh negara dan korporasi untuk meredam gejolak dan protes sosial.

Merebaknya pornografi dan pelacuran dikalangan muda misalnya tidak pernah dikaitkan dengan pemiskinan struktural, hantaman kapital terhadap pemenuhan kesejahteraan yang menjadi kewajiban dari negara, dan dorongan hasrat konsumtivisme yang selalu dipompa oleh berdirinya mall-mall mewah dan iklan-iklan kehidupan high class di berbagai tempat umum. Pada saat yang bersamaan wacana kapitalisme neoliberal memangkas berbagai akses kaum muda terutama kelas subaltern pada wilayah pendidikan melalui praktik privatisasi pendidikan. Kurikukulum pendidikan di kampus dan sekolah menjauhkan mahasiswa dari realitas sosial dan membentuk mereka sebagai produk-produk yang siap untuk dipasarkan oleh industri kapitalisme.

Sehingga yang kita lihat adalah penyempitan akses terhadap anak negeri yang meskipun memiliki kemampuan intelektual baik namun harus bernasib malang ketika orangtuanya tidak mampu membayar biaya pendidikan yang mahal. Sehingga dari sinilah tidak kita sadari berbagai persoalan sosial mulai dari kenakalan remaja, konsumsi narkoba, pelacuran dan pornografi sampai dengan bibit-bibit teroris dan fundamentalisme agama timbul dari hadirnya deprivasi relatif dan frustasi sosial.
Sementara film-film dan sinetron nasional tentang kaum muda dan mahasiswa hanya menciptakan gambaran yang ironis. Kisah percintaan narsistik anak gedongan seperti yang terlihat dalam film Eiffel I’m in Love dan film-film sejenis misalnya, sangat kontradiktif dan terasa mencibir bagi realitas kesengsaraan dan kemiskinan dari anak-anak negeri yang kehilangan haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan tidak mampu mencapai bangku sekolah akibat pemotongan anggaran-anggaran publik sebagai imperatif doktrin neoliberal. Eksploitasi yang memperdaya dengan menjadikan anak-anak muda sebagai agen-agen pemeran dan instrumen dari budaya takhayul dan mistik seperti yang tampak muncul dalam film-film horor akhir-akhir ini (Kuntilanak, Jailangkung, Pocong) jelas menghina akal sehat, fikiran dan kreativitas dari kaum muda.

Film-film nasional sebagai manifestasi budaya kita sudah semestinya berusaha menghormati kaum muda dengan segenap tantangan dan kepahitan yang dihadapinya selama ini. Kita seharusnya belajar dari banyak karya-karya indah yang tidak kehilangan pijakannya dengan persoalan di Bumi Manusia. Novel romantik Il Postino karya Antonio Scarmetta yang telah dipentaskan dilayar lebar misalnya dapat menjadi contoh tentang penggambaran yang sangat indah tentang cinta persahabatan antara Pujangga Kiri Pablo Neruda dengan seorang anak muda Tukang Pos yang miskin atas landasan solidaritas kemanusiaan dan perjuangan untuk membangun kehidupan yang layak. Film tersebut menggugah karena menceritakan transformasi kesadaran kaum intelektual yang perlahan-lahan ia mampu menghayati renik kehidupan dan tantangan rakyat kecil; serta pembangkitan kesadaran kritis dari kaum papa melalui pemahaman terhadap diri, alam dan lingkungan sosialnya melalui pembelajaran lewat syair, puisi, kerja dan komunikasi.

Pada sisi lain saat ini kita juga menyaksikan ketika kehidupan personal selebritis, musik sensual dari Britney Spears dan kehidupan gemerlap MTV dan Hollywood mengisi waktu-waktu luang kaum muda diberbagai arena, maka mereka semakin dijauhkan dari aktivitas politik radikal diruang publik, serta komitmen terhadap nilai-nilai solidaritas, komunitas dan politik keadilan sosial. Secara halus kapitalisme telah menyuntikkan obat penenang yang melenakan sekaligus mematikan bagi kaum muda. Perlahan-lahan kapitalisme neoliberal bekerja menjinakkan struktur mentalitas terdalam dari kaum muda dan mahasiswa untuk dijauhkan dari eksistensinya sebagai bagian integral dari komunitas sosial serta subyek politik yang aktif sebagai warganegara. Ketika kaum muda dan mahasiswa dibelokkan dari kesadarannya sebagai agensi politik utama untuk merekonstruksi tatanan ruang publik; Godaan Faustian rezime kapitalisme neoliberal menjerat mahasiswa dan kaum muda dengan berbagai bentuk obat penenang dan marijuana yang sebenarnya menteror diri mereka sendiri.

Sebagai sebuah karya intelektual, buku ini juga memiliki kelemahan yang menurut saya tidak mengurangi kualitas dari karya ini. Ada beberapa hal yang perlu dikritik untuk menyempurnaan dan pematangan karya-karya selanjutnya dari penulis.
Pertama, Ditengah penghayatan penulis yang sangat detail soal formasi kapitalisme dalam telaah Marxis, dan psikologi kritis Erich Fromm, dan filsafat cinta universal yang membebaskan dari Kahlil Gibran; penulis kurang tajam untuk menginterogasi dan menelanjangi tekhnologi kekuasaan dan kepentingan ideologis dari rezim kapitalisme neoliberal tergelar dalam praktik-praktik konkret di ruang budaya untuk mengkonstruksi dan menteror kesadaran kritis mahasiswa di Indonesia. Hal ini menjadikan upaya penulis untuk keluar dari bahasa-bahasa moralistik yang kritik pada karya-karya lainnya menjadi kurang berhasil.

Dengan demikian kritik terhadap ekspansi rezim neoliberal dalam membentuk life style mahasiswa diberbagai wilayah kehidupan menjadi terkesan agak normatif; Di beberapa bagian juga ada kesan moralitas oposisi biner direproduksi oleh buku ini seperti pembatasan garis demarkasi antara dugem, pacaran dan mencari kesenangan dengan diskusi, belajar dan aksi politik. Beberapa pemahaman tersebut agak mengesankan buku ini sedikit mereproduksi cara bertutur buku-buku lain yang bernuansa dakwah namun dengan substansi yang fundamental berbasis pada pengetahuan wacana kritis.

Kedua, Dalam detail yang cukup menarik untuk menjelajahi jalur-jalur pembebasan dalam konteks aktivitas bernalar dan berfikir untuk membongkar ruang-ruang hegemonik yang diciptakan oleh kapitalisme neo-liberal beserta budaya popularnya, karya ini kurang menyentuh bagaimana tentang praktik-praktik pembebasan yang juga difikirkan oleh kaum muda juga menyentuh penetrasi modal dalam era neoliberalisme menghancurkan kehidupan publik, solidaritas sosial, dan fondasi politik demokratis dalam karakater partisipatorisnya. Hal inilah yang kiranya juga perlu difikirkan dan menjadi agenda utama dari gerakan sosial politik dari kaum mahasiswa untuk terintegrasi dengan kekuatan gerakan-gerakan rakyat.
Last but not Least, jalan pembebasan yang harus dirumuskan oleh kaum mahasiswa beserta dengan kekuatan-kekuatan sosial kolektif lainnya adalah memperjuangkan kembali jalur republikanisme. Ketika suara, kedaulatan dan kepentingan publik menjadi hukum tertinggi di republik ini.***

Surabaya, 20 November 2007

Apresiasi Buku "DARI DEMONTRASI HINGGA SEKS BEBAS: BUDAYA KAPITALISME DAN HEDONISME DI KALANGAN MAHASISWA"


GUGATAN NURANI KITA TERHADAP BUDAYA BISU MAHASISWA

Oleh:
Daniel Johan,
Tokoh Pemuda dan Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (HIKMAHBUDHI)

Sebagai seorang kawan, saya merasa terhormat untuk menilai kehadiran buku ini. Yang menarik dari tulisan Kawan Nurani dalam buku kali ini adalah bukan hanya menampilkan aspek sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia, namun juga memolesnya dari sudut kehidupan cinta-romatis kaum mahasiswa. Sebagai manusia biasa, mahasiswa tidak melulu tampil heroik dan intelektualis, tapi juga banyak kekurangan, kadang cengeng, gundah, ada pula yang tak peduli tak peka hatinya, tenggelam dalam kehidupan glamour dan hedonis, menjadi pengkhianat intelektual, hingga menjadi bagian dari kehidupan seks bebas terutama kaum mahasiswa indekosan. Namun, semuanya dibungkus dengan kerangka filsafat untuk menjelaskan semua itu, sehingga pembaca pun memperoleh banyak manfaat dari segi pengetahuan.

Yang dominan dari buku ini selain mengisahkan kehidupan mahasiswa adalah “hujatan penulis terhadap kapitalisme”. “Menghujat Kapitalisme” mungkin bisa menjadi judul bayangan untuk buku ini. Namun kapitalisme memang pantas dihujat. Ia bukan hanya faktor utama yang memasifkan kemiskinan, tapi juga menimbulkan banyak ketidakadilan, kekerasan dan perang, terutama semakin memperbesar kesenjangan antara yang miskin dan kaya, juga merusak bumi dan kehidupan manusia banyak.

Ada dua pondasi dasar keberadaan kapitalisme yang membuat ia pantas dihujat. Pertama, kapitalisme hidup didasarkan kepada pengeksploitasian manusia terhadap manusia lain tanpa ampun, termasuk terhadap bumi dan Ibu Alam kita. Kedua, kapitalisme hidup menempatkan laba di atas kemanusiaan, dengan mengejar hasil produksi maksimal dan biaya produksi serendah-rendahnya.

Di dalam sistem kapitalisme, apa pun dan sampai kapan pun, yang menjadi tujuan-alasan-parameter-segalanya-selalu-dan-selalu, adalah laba. Bukan orang bukan manusia yang menjadi tujuan dan topik utama. Laba telah menjadi “nabi-tuhan-dan-kitab-suci” bagi kapitalisme.
Hanya orang yang kuat dan bermodal yang mampu membentuk laba dengan mengeksploitasi mayoritas manusia lainnya dan alam. Karena laba menjadi segala-galanya di dalam sistem ini, maka manusia-manusia tanpa kuasa dan modal akan selalu menjadi warga pariah dan menjadi obyek pengeskploitasian, alat yang diperas untuk membentuk laba bagi mereka yang berpunya dan berkuasa.

Lalu laba-laba ini akan terus terakumulasi hanya di kantong-kantong sebagian kecil warga dunia penguasa dan pemilik apa yang kita kenal sebagai Trans-Nasional Corporation (perusahaan-perusahaan raksasa dunia). Dengan kekuatan akumulasi laba, mereka bisa melancarkan perang, membunuh manusia dan bangsa lain, membangun pesawat tempur super canggih, memproduksi bom nuklir, demi kemakmuran diri dan bangsanya sendiri, memegang kendali atas sumber daya alam dan minyak dunia, menguasai dan mengendalikan sumber-sumber perekonomian dan pasar, ini semua karena laba dan laba.

Cinta di alam kapitalisme pun menjadi lain. Cinta mengalami metamorfosis menjadi sesuatu yang diperjualbelikan, menjadi komoditi, yang dibungkus indah dalam kegilaan “Valentine”, menghasilkan lembaran uang, meningkatkan penjualan, meledakkan laba, untuk kembali mengeksploitasi kebodohan manusia di tahun-tahun mendatang.

Uang telah memperkosa dan mengkomersilkan cinta hingga bisa dijual dalam bentuk lembaran jantung merah muda dan dikemas dalam blok-blok coklat tanda kasih sayang. Semua mal menyambutnya, dengan rok mini baju ketat, lipstik pink, perjamuan glamour di hotel-hotel berbintang, sebuah ilusi super hebat digelar agar manusia merasakan telah mencurahkan cintanya dan berkasih sayang penuh romantika. Beli sekarang mumpung lagi diskon. Kapitalisme telah membuat cinta menjadi sedemikian sempit dan menginjak-injak makna cinta menjadi rendah.

Namun tidak demikian bagi mereka yang hidup di bantaran kali, nelayan-nelayan dan para ibu-bapak tani yang semakin terpinggirkan, tergusur oleh kekuasaan dan modal atas nama pembangunan dan kemewahan. Rumah dan tanah mereka di bulldozer hingga mereka tinggal di tenda-tenda darurat. Pantai dan sawah tempat menggantungkan hidup kini direnggut untuk menyediakan kompleks perumahan mewah dan mal-mal guna merayakan hari valentine tiap tahunnya.

Lalu di mana posisi mahasiswa? Saat ini kebutuhan dasar manusia di Indonesia telah demikian melambung tinggi. Pendidikan mahal, kesehatan mahal, transport, gula, minyak tanah, beras, ikan, daging, telur, listrik, air, semuanya mahal. Penggangguran dan kemiskinan juga semakin meluas. Bagaimana dengan nasib mereka? Peduli setan dengan mereka semua karena toh tujuan hidup dalam dunia kapitalisme adalah laba dan bukan manusia.

Oleh karena itu, di dalam pengantar yang singkat ini, kita akhiri dengan pertanyaan setujukah kita dengan pemikiran bahwa manusia memang sepantasnya dan selayaknya hidup di bawah dan lebih rendah martabatnya dari laba, bahwa laba lebih mulia dan lebih penting dari kemanusiaan kita. Jawaban kita akan menentukan kadar dari kemanusiaan kita. Dan mahasiswa bagian dari itu semua yang memiliki tanggung jawab sejarah untuk mengubahnya. Entah sebagai sosok yang memperkuat posisi laba atau sebaliknya berpihak dan memperkuat posisi kemanusiaan kita. Selamat membaca. Selamat merenung dan (akhirnya) bertindak!!!

Jakarta, 5 November 2007
__________________________

Pengantar Penulis:



Buku "DARI DEMONSTRASI HINGGA SEKS BEBAS"

Studi tentang mahasiswa telah banyak dilakukan. Terutama sejarah gerakan mahasiswa (GM) yang memang menarik perhatian banyak ahli baik dalam negeri maupun luar negeri. Yang paling baru, sepengetahuan saya, adalah buku “Bangsa yang Belum Selesai: Indonesia Sebelum dan Setelah Orde Baru” karya jurnalis dan peneliti dari Australia yang telah lama meneliti dan mempengaruhi gerakan mahasiswa Indonesia, yaitu Max Lane. Max Lane mencoba memfokuskan diri pada sejarah gerakan mahasiswa radikal, dengan berargumen bahwa radikalisasi yang terjadi di Indonesia adalah warisan sejarah sejak jaman pergerakan dan (tentu saja) adalah bagian dari reaksi ketertindasan akibat penjajahan. Demikian juga penggulingan Soeharto pada bulan Mei 1998, tak lepas dari budaya berlawan yang manifes dalam pengorganisiran gerakan radikal.


Studi Max Lane memang cukup menarik terutama kecakapannya dalam membuat kisah kronoligikal dengan memotret pengaruh aksi-aksi yang telah terjadi dan merangkaikan sejarah perlawanan mahasiswa untuk menuntut sebuah Indonesia baru—meskipun hasilnya bahwa “nation” atau “bangsa” Indonesia hingga sekarang belum tuntas, “belum selesai” karena gerakan yang klimaks selalu terhambat (baca: ejakulasi dini) dan berakhir pada pembuahan tak sempurna: hasilnya adalah bangsa yang tak sempurna atau cacat dalam karakter dan fondasi materialnya.


Karya Max Lane memang lain dalam menyusupkan pesan ‘pentingnya radikalisasi’ untuk ‘menuntakan revolusi demokratik’ di Indonesia (yang tak pernah/belum terjadi). Karya ini bahkan jauh lebih bagus dari studi lainnya tentang gerakan mahasiswa Indonesia yang seakan tanpa pesan apapun, terutama yang ditulis oleh penulis Indonesia sendiri. Seingat saya, di antara buku-buku yang membahas soal gerakan mahasiswa setelah reformasi terjadi yang jumlahnya lumayan banyak, ada satu buku hasil penelitian yang lumayan bagus tentang gerakan mahasiswa. Buku tersebut diedit oleh Muridan S. Widjojo, berjudul “Penakhluk Rezim Orde Baru: Gerakan Mahasiswa ’98” yang diterbitkan oleh Sinar Harapan (Jakarta) pada tahun 1999.


Persoalannya adalah, terlalu sedikit studi yang mencoba melihat keterkaitan gaya hidup mahasiswa, terutama budaya dan pemikiran yang berkembang di kalangan mahasiswa. Mahasiswa sebagai sebuah kalangan yang dilihat dari sudut pandang kelas (ala Marxian) memiliki banyak kisah yang dapat diangkat. Mahasiswa sebagai kelas borjuis kecil yang lumayan mampu mengakses informasi dan ilmu pengetahuan memiliki potensi kritis dan berlawan: terbukti dari munculnya kelas menengah ini sebagai kekuatan kritis, bahkan juga revolusioner, terhadap kekuasaan yang menindas.


Tapi aspek gaya hidup sebagai cerminan posisi kelasnya jarang sekali dibahas. Mahasiswa sebagai bagian masyarakat yang mengembangkan diri dan juga dipengaruhi oleh kekuatan budaya dari luar mendapatkan kajian yang relatif kecil. Pada hal aspek ini juga tak kalah penting dalam kaitannya dengan munculnya sejarah aksi-aksi dan organisasi-organisasi yang melekat dalam kehidupan mahasiswa. Atas dasar itulah, saya mencoba memberanikan diri untuk melihat aspek kultural, baik dari segi pemikiran, watak, dan gaya hidup mahasiswa di era sekarang ini dengan maksud menawarkan gambaran lain dari kehidupan mahasiswa.
Sebenarnya telah ada studi yang berusaha melihat budaya dan gaya hidup mahasiswa. Tetapi kebanyakan berujung pangkal pada analisa yang, kalau tidak moralis, pasti terjebak pada pendekatan anti-historis. Analisa ini melihat gaya hidup liberal secara hitam putih, menganggap mahasiswa sebagai kalangan yang hidup di ruang hampa, sehingga pendekatan ini cenderung hanya melarang atau mengharuskan dengan patokan-patokan moral tertentu. Gaya hidup mahasiswa yang buruk dan hilangnya idealisme kerakyatan di kalangan kaum muda ini dianggap sebagai watak yang memang sudah melekat pada mereka.


Pendekatan moralis inipun secara jelas sudah dapat diduga akan berujung pada solusi moral-relijius. Dan setiap studi memang berujung pada rekomendasi dari para penulis/peneliti tersebut. Saya juga akui, saya juga mencoba menawarkan sebuah pendekatan dan sekaligus menawarkan suatu gaya hidup bagi kalangan mahasiswa: Jangan moralis, pandang segala sesuatu secara dialektis (tidak-hitam putih), kita tetap harus bergerak (kritis, melawan, berpihak) karena kita sebagai korban. Dan, menurut saya, kapitalisme sebagai sistem penindasan era ini menindas mahasiswa dalam beberapa hal:
(1) Mahasiswa diasingkan dari realitas sosial dan dari kebiasaan berpikir kritis dan berilmu pengetahuan baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus. Dalam hal ini kapitalisme menyerang dan membentuk mahasiswa agar ia tak lagi dapat menjadi “mahasiswa sejati”, yang belajar sungguh-sungguh dan ‘haus pengetahuan’, lalu beranjak berlawan membela kebenaran dan keadilan. Dengan demikian, semakin mahasiswa jauh dari ilmu pengetahuan dan aksi keberpihakan, maka upaya yang dilakukan kapitalisme untuk memertahankan penindasannya berhasil. Dari sini kita melihat bahwa munculnya gaya hidup “anti-ilmiah” dan “anti-aksi advokasi” di kalangan mahasiswa bukan muncul dengan sendirinya, tetapi memang sengaja dibentuk. Jangan menyalahkan mahasiswa, tapi juga jangan memanjakannya.
(2) Meskipun tidak berlaku pada semua mahasiswa (atau kaum muda), kapitalisme (terutama di sektor pendidikan) juga menindas secara ekonomi. Bukti penindasan tersebut adalah munculnya aksi-aksi yang masih saja terjadi soal isu-isu mahalnya pendidikan: aksi menolak kenaikan SPP dan pungutan liar, aksi menolak komersialisasi kampus, hingga menuntut pendidikan gratis, ilmiah, dan demokratis. Selain itu, pendidikan kapitalis itu sendiri telah mendiskriminasi kalangan muda dalam meraih pendidikan tinggi. Berapa banyak lulusan sekolah menengah atas yang tak bisa menikmati pendidikan tinggi. Lagi-lagi karena penddikan mahal dan terkomersialkan, sehingga hanya anak-anak orang kaya saja yang boleh belajar di perguruan tinggi.

Intinya, mahasiswa dan calon mahasiswa (remaja dan kaum muda) di negeri ini mengalami penindasan. Saya melihat konstruksi gaya hidup dan budaya, meskipun bukan kontradiksi pokok, merupakan pintu masuk bagi kapitalis untuk bertahan dan melakukan penindasan. Kalau kaum muda bodoh dan tanpa pendidikan, kalau nalar kritis ditumpulkan, dan pengetahuan dijauhkan, siapapun akan menjadi rombongan makhluk-makhluk ideot dan ‘penurut’ yang dengan begitu mudahnya diarahkan, dibentuk, dikuasai, dan ditindas demi kepentingan segelintir elit (modal) yang memegang kekuasaan. Tak ada yang menyangkal, mahasiswa berada dalam kondisi dipertaruhkan.


Pendekatan moralis seperti yang dilakukan oleh Iip Wijayanto dalam bukunya “Sex in The Kost” mencoba memotret gaya hidup mahasiswa, tetapi karena hitam-putih dalam menilai perbuatan hanya terjebak pada propaganda dan solusi agama tertentu—jadi pendekatannya rasis dan anti-demokrasi. Pada hal persoalannya bukan moral atau agama, tetapi kapitalisme yang jahat dan predatoris.


Iip berusaha menunjukkan betapa rusaknya mahasiswa hanya karena ‘seks’, yang memang telah melekat dalam setiap tubuh seusia mahasiswa (rata-rata usia 19-15 untuk mahasiswa yang menempuh S1). Tuntutan seksual bagi siapapun, bukan hanya mahasiswa dan bahkan kiai di pedesaan yang biasanya memiliki banyak istri karena nikah di usia yang sangat muda dan memperistri wanita yang tentunya lebih muda lagi, adalah bagian dari kehidupan. Lalu saat mahasiswa (dari penelitian yang dilebih-lebihkan dan tentu saja kasuistik) dianggap telah terjerumus ke dalam “dosa” yang bernama seks bebas, seakan Iip berusaha melontarkan persepsi bahwa mahasiswa telah rusak dan terjerumus pada kebiasaan para “calon-calon penghuni neraka”. Lalu ia menawarkan solusi moral-relijius, tanpa melihat bahwa moral bukanlah sebab, tetapi akibat dari kontradiksi kapitalisme.

Saya sendiri seringkali mendengar orang yang mengatakan: ‘Lihatlah betapa buruknya citra mahasiswa sekarang ini’. Ya, pengalaman yang kita jumpai tentang persepsi masyarakat di sekitar kampus cenderung mengungkapkan ‘kebencian’ mereka terhadap kaum muda yang kebanyakan datang dari kelas menengah ini. Teman saya di Malang mengatakan bahwa kota yang banyak berdiri kampus-kampus (baik negeri maupun swasta) itu telah menjadi representasi terburuk bagi citra mahasiswa, barangkali saya katakan di era pasca-reformasi ini. Bayangkan, cerita teman itu, banyak mahasiswa yang diusir dari kosnya oleh masyarakat setempat karena kos-kosannya dicurigai digunakan kegiatan ‘seks bebas’ atau mengonsumsi narkoba.


Jika gejala pertentangan antara gaya hidup mahasiswa semacam itu dengan kepentingan masyarakat terjadi, maka kita seakan lupa bahwa pernah ada masa si mana mahasiswa dan rakyat menyatu, tanpa saling berprasangka, dan prasangka (serta kebencian dan permusuhan) yang ada diarahkan pada pemerintahan anti-rakyat yang menyebabkan hilangnya kesejahteraan rakyat dan demokrasi di negeri ini. Itu cerita lalu, jaman di mana kaum muda dan mahasiswa masih mengagung-agungkan pentingnya perjuangan dan belum teracuni oleh ide dan perasaan yang terbentuk dari tatanan kapitalis neoliberal yang berpilar pada watak pragmatis, oportunis, dan mengagung-agungkan hedonisme.
Apakah saya pesimis? Tidak.


Orang memang seringkali pesimis pada mahasiswa, bahkan pada gerakan mahasiswa dalam bentuk aksi massa itu sendiri. Dan orang yang mengerti sejarahpun akhirnya juga tahu bahwa gerakan mahasiswa (tetapi tidak semuanya) pernah menjadi kekuatan kejam dan—kalau menurut saya—“bodoh”. Di tahun 1966, gerakan mahasiswa yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dengan begitu bodoh telah melakukan persekongkolan yang penuh dosa.
“Gerakan” mahasiswa (GM) tahun 1966 diperalat oleh militer dan Soeharto untuk naik kekuasaan—yang diikuti dengan pembantaian jutaan nyawa tak berdosa, tanpa proses pengadilan, sebuah holocaust sejarah yang cukup terkenal di negeri ini, bahkan di dunia. Berdasarkan penelitian Max Lane:

KAMI terdiri organisasi-organisasi mahasiswa dengan latar belakang relijius konservatif sebagaimana juga serangkaian organisasi yang didirikan sebelum tahun 1965 dengan landasan yang terang-terangan menolak aktivitas politik. Mahasiswa-mahasiwa KAMI memonopoli jalanan tapi saingannya dari kiri, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), yang berafiliasi ke PKI, dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), sudah dilarang atau dibasmi secara beruntun, sehingga banyak aktivis CGMI dan GMNI yang dibunuh atau ditahan. CGMI dan GMNI tak terlihat di jalanan saat KAMI, dan beberapa sekutunya, dengan logistik yang dipasok oleh Angkatan Darat, menunjukkan keunggulannya.
[1]

Jadi jelas sekali bahwa KAMI bukanlah wakil dari semua mahasiswa, tetapi sebagian saja—meskipun tak dapat dikatakan kecil. Peristiwa jatuhnya Soekarno dan naiknya Soeharto ke puncak pemerintahan sebenarnya juga menjelaskan arti pentingnya GM dan peranan mereka sebagai kelompok penekan walaupun GM yang terjadi di era Soekarno dan Soeharto menunjukkan perbedaan yang menggambarkan dinamika dari gerakan yang mereka lakukan. GM dalam menurunkan Soeharto merupakan suatu aliansi yang terbangun secara sengaja dengan kekuatan militer di bawah Soeharto. Secara akurat, terbukti bahwa GM masa itu bukanlah faktor determinan dalam penurunan rejim Orde Lama, akan tetapi gerakan politik militer yang meminjam dan memperalat GM yang merupakan kekuatan pendompleng rejim. Pada waktu itu secara kuantitas dan kualitas GM tidak sekuat gerakan maha-siswa 1998 untuk menurunkan Soeharto.


KAMI, sebagai Front mahasiswa 1966 yang menggulingkan Soekarno tahun 1966, pun diragukan sebagai “kesatuan” mahasiswa mengingat fakta bahwa gerakan mahasiswa pada waktu itu hanya didominasi oleh mahasiswa UI (Universitas Indonesia). Bahkan acara Simposium Kebangkitan ’66 pada 6 Mei hingga 9 Mei 1966 tidak diprakarsai oleh KAMI sebagai inti gerakan ’66 tetapi oleh UI. Desain Orba juga bukanlah hasil keinginan mahasiswa ’66, tetapi justru dihasilkan oleh Seminar AD (Angkatan Darat) II yang diselenggarakan pada 25 hingga 31 Agustus 1966. Dengan demikian jelas mengapa Pramodya Ananta Toer mengatakan bahwa “Angkatan 66” adalah sebuah “angkatan” yang darinya tidak punya pengaruh bagi perubahan menuju perbaikan yang diinginkan mahasiswa dan rakyat. GM’66 menurut banyak kalangan hanyalah “dimitoskan”. Kritik terhadap kecenderungan pemitosan “Angkatan 66” itu sudah pernah dilakukan oleh seorang mantan aktivis 66 sendiri, Marsilam Simanjutak, pada tahun 1973 dalam artikelnya di Prisma:

Sampai saat ini, kebanyakan orang masih mempunyai perasaan, bahwa apa yang dinamakan ‘gerakan mahasiswa’ adalah sesuatu yang serupa atau sama dengan aksi-aksi mahasiswa tahun 1996. Perasaan ini berkembang menjadi: yang kurang serupa, berlainan bentuk, berlawanan arah dan berbeda tujuan, tidak sebanding ukuran dan jumlah pesertanya dengan aksi-aksi mahasiswa tahun 1996, dan sebagainya lagi, adalah bukan gerakan mahasiswa.
[2]

Pernyataan Simanjuntak itu mengisyaratkan bahwa gerakan 66 sebenarnya tidak memiliki daya tekan yang kuat justru karena terjebak pada perspektif moral. Angkatan 66 tidak memiliki sarana dan cara sebagaimana lazimnya suatu gerakan. Implisit dalam kutipan artikel di Prisma tersebut terdapat kritik sekaligus peringatan bahwa GM sebaiknya berhenti mengidentifikasikan dirinya dengan sesuatu yang mirip “angkatan 66” yang sebenarnya tidak punya daya penekan yang kuat; tetapi justru menjadi alat kekuatan militer untuk berkuasa. Mitos tentang “angkatan 66” ini tetap hidup dan direproduksi dalam berbagai wacana baik itu yang dihasilkan oleh penguasa ORBA, para penulis, maupun oleh para aktivis GM kontemporer sendiri.
Sementara itu gerakan mahasiswa 1998 merupakan suatu gerakan yang tidak hanya insidental, tetapi merupakan akumulasi ketidakpuasan yang sama seperti dirasakan rakyat Indonesia dalam melakukan “koreksi” dan “anti” Orde Baru.


Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai akibat proses globalisasi, sebagai konsekuensinya adalah pengaruh gelombang demokratisasi yang melewati Indonesia, pemikiran politikpun dapat berkembang sesuai dengan kondisi material masyarakat. Negara Orde Baru tidak lagi mampu merasionalisasi ideologi tunggalnya, para intelektual dan kaum muda secara bebas mampu merumuskan pemikiran politik berdasarkan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, kemampuan masyarakat untuk menganalisa praktek-praktek ekonomi politik negara semakin baik. Negara Orde Baru justru mendapat tantangan dari para intelektual dan rakyat. Hal ini karena pemikiran politik kritis itu tidak muncul dari organisasi politik resmi (partai politik dalam struktur Orde Baru, yaitu Golkar, PPP, dan PDI). Karena pada dasarnya partai-parti tersebut adalah hasil rekayasa politik dalam struktur Orde Baru.
Peristiwa MALARI 1974 adalah suatu peristiwa bagaimana rezim Orde Baru mulai mendapat koreksi, terutama dari kalangan intelektual dan mahasiswa. Peristiwa ini bisa dipahami sebagai perwujudan perpecahan di antara mahasiswa dengan penguasa Orde Baru yang pernah secara bersama-sama menggulingkan Orde Lama (pemerintahan Soekarno). “Bulan madu politik” telah retak.
[3] Gerakan mahasiswa hasil rekayasa Orde Baru melalui Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang pergunakan untuk membangun tatanan Orde Baru mulai mengevaluasi perjuangan bersama sambil menelaah peran KAMI dan mahasiswa ke depan.

Peristiwa MALARI sebenarnya adalah puncak dari keberlanjutan peran politik mahasiswa di era Orde Baru. Di sini para aktivis organisasi mahasiswa intra kampus memberikan perhatian pada kebijakan ekonomi-politik Soeharto—terutama kebijakan penanaman modal asing dari kapitalis Jepang dan Amerika—dan dampaknya bagi rakyat Indonesia.


Perlawanan berlanjut saat mantan-mantan KAMI telah masuk dalam struktur ekonomi-politik dan menjadi “fungsionaris” Orde Baru. Mereka mendukung penindasan rejim kejam. Dan lagi-lagi tidak perlu apatis terhadap mahasiswa karena mereka—karena tertindas dan sekaligus mampu merasakan serta mengetahui adanya penindasan-penindasan—terus bangkit. Setelah peristiwa MALARI menandai perlawanan terhadap Orba di tahun 1970-an, pada tahun 1980-an perlawanan tak juga reda meskipun telah diperlakukan politik depolitisasi kampus secara ketat oleh rezim. Depolitisasi dengan diberlakukannya kebijakan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) serta perangkat operasional BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan) diambil oleh Soeharto setelah pada tahun 1978 mahasiswa bergerak lagi menuntut presiden Soeharto mundur (yang 20 tahun kemdian tuntutan ini berhasil) telah dilakukan.
[4] Gerakan mahasiswa sempat merosot dan mengalami demoralisasi.

Dan sejarahpun masih berjalan secara dialektis. Sejak kampus dikekang, gerakanpun masih mencari muara. Mahasiswapun justru berpaling pada realitas di luar kampus, bersama-sama LSM menyusun perlawanan dari kampus. Persetubuhan yang berbuah, karena jika di dalam kampus mahasiswa hanya berkutat pada isu-isu elitis, dengan bersentuhan dengan realitas rakyat mereka mendapatkan perspektif lain yang pada akhirnya mempengaruhi tindakan perlawanannya.


Mereka mulai melihat dan peduli pada kasus penggusuran, kenaikan harga, ketimpangan yang mencolok karena kapitalisme Orde Baru. Kepedulian yang ada dikonkritkan dalam bentuk membangun komite-komite aksi bersama mengenai kasus-kasus tanah—gerakan yang elitispun berangsur-angsur menjadi populis. Komite-komite aksi tersebut mulai membangun jaringan. Pada tahun 1988, sejumlah aktivis kampus di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan Bogor mulai berhubungan. Tercatat, pada tanggal 9 Desember 1988, menjelang peringatan Hari HAM, para mahasiswa mendatangi DPR dan menyampaikan pernyataannya pada wakil Orsospol (PPP, Golkar, PDI, dan ABRI). Dan yang paling tercatat sebagai momentum radikal dari GM adalah apa yang disebut sebagai “Gerakan 5 Agustus” pada tahun 1989. Peristiwa ini mewarnai opini secara nasional. Beberapa aktivis ditangkap dan dipenjarakan.
[5]

Dari peristiwa aksi-aksi politik intelektual dan mahasiswa dapat disimpulkan bahwa perkembangan pemikiran politik di era Orde Baru disebabkan oleh proses demokratisasi yang semakin memperlebar ruang publik untuk menumbuhkan wacana-wacana baru di kalangan intelektual; pada saat yang beriringan juga karena kegagalan Orde Baru untuk mendistribusikan hasil-hasil pembangunan pada rakyat.
Sejak tahun 1990-an, perlawanan terhadap Orde Baru semakin hari semakin semarak. Seiring dengan itu variasi pemikiran politik muncul sehubungan dengan kebutuhan untuk mencari ideologi dan metode aksi yang dipandang lebih efektif. Berbagai organisasi radikal berdiri di kalangan mahasiswa, buruh, dan petani, juga rakyat perkotaan. Pada saat yang sama, para tokoh yang kritis terhadap Seharto juga kian banyak. Maka pada tahun 1996 rezim Soeharto sibuk menghalau kekuatan rakyat dengan mencurigai bangkitnya paham Marxisme atas peristiwa kerusuhan 27 Juli. Dalam peristiwa itu, pemerintah menuduh bahwa aksi mimbar bebas dan kerusuhan didalangi oleh Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang disebut sebagai “neo-PKI”. (Tuduhan itu kemudian tidak terbukti di pengadilan).


Kasuspen ABRI Brigjen Amir Syarifuddin membuat kesimpulan bahwa PRD itu “secara konsepsual merupakan organisasi yang mirip dengan PKI”. Abdul Gaffur, “oportunis boneka rezim”, memfitnah bahwa bahwa PRD “betul-betul pertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.” Lebih jauh lagi dinilai bahwa “cara dan metode mereka sama dengan yang digunakan PKI”.
[6]
Budiman Sujatmiko, Ketua Umum PRD waktu itu, yang dipenjara di LP Cipinang setelah peristiwa 27 Juli 1996 itu membuat instruksi yang bisa dibaca sebagai salah satu strategi resistensi PRD:

kami memerintahkan agar selama PRD bergerak di bawah tanah, kader-kader PRD—baik yang bergerak di sektor mahasiswa, buruh, tani dan kaum miskin kota—agar tetap meneruskan perjuangan dengan cara mendirikan komite-komite aksi tanpa mencantumkan nama PRD. Komite-komite aksi itu bisa didirikan oleh kader-kader PRD sendiri dan bisa juga bekerja sama dengan organisasi-organisasi lain. Yang penting, tugas-tugas kader saat itu adalah bagaimana memperjuangkan program-program politik PRD seperti pencabutan paket 5 UU Politik, pencabutan dwi fungsi ABRI, aliansi mahasiswa dengan rakyat, penggantian Soeharto, penurunan harga dan kenaikan upah buruh, serta pembentukan koalisi demokratik kerakyatan, bisa menjadi program komite-komite aksi tersebut.
[7]

Instruksi tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan perjuangan dan program-program PRD meskipun secara organisasi PRD tidak bisa bergerak secara terbatas dan terbuka. Terbukti di kalangan mahasiswa pengaruh instruksi tersebut cukup kuat terutama bagi gerakan untuk menggulingkan Soeharto tahun 1998.
Sebelum Soeharto jatuh, substansi perjuangan kerakyatan sangat berpengaruh di berbagai kota. Setidaknya komite aksi dengan tersebar di berbagai kota dan daerah sampai Soeharto turun pada tanggal 21 Mei 1998.



***

Maka demikianlah, turun naiknya kesadaran itu berlangsung begitu panjang: dari berkesadaran maju, dipukul lalu menurun, ada kontradiksi dan pemicu maju lagi, dst.


Dan kita melihat setelah reformasi berjalan hampir satu dekade, kesadaran mahasiswa seakan menurun: disorientasi, demoralisasi, tercerai-berai, dan lain-lain sebagainya. Bahkan, mahasiswa dipandang buruk karena tingkah laku dan gaya hidupnya yang liberal, dianggap tak bermartabat. Tetapi apakah hanya karena itulah lantas kita apatis terhadap mahasiswa?


Saya percaya pada moral dan etika. Tetapi memandang gaya hidup dekaden mahasiswa di era neoliberal sekarang ini sebagai keadaan yang hadir begitu saja (tanpa sebab-sebab material) merupakan kebodohan. Saya mungkin menjadi mahasiswa pada suatu masa di mana kebudayaan yang berkembang tidak seburuk sekarang dalam memundurkan dan mendegenerasikan pola pikir dan tindakan kaum muda. Saya pernah bangga menjadi aktivis mahasiswa di era pasca-1998, dan pernah bangga dengan heroisme perlawanan kaum muda, dan sempat berbangga diri hanya karena pernah menjadi buron pemerintah karena ikut ‘aksi bakar-bakaran’ menjelang pemilu 2004—belakangan saya sadari bahwa itu hanyalah sejenis heroisme kacangan.


Tapi kesombongan dan heroisme memang sejenis ‘opium’ yang di satu sisi mirip penyakit yang menjangkiti gerakan mahasiswa-rakyat, tetapi kadang juga dibutuhkan untuk menyemangati para “rebellious spirit” di kalangan kaum muda. Dan, sayang sekali, kini semuanya hilang. Heroisme yang dulu menjangkiti mahasiswa, yang memang dibutuhkan untuk mengestetisasi sejarah perlawanan, kini musnah.
Romantisme memang ada, tetapi yang diadopsi kalangan mahasiswa saat ini adalah romantisme kacangan. Romantisme yang ditiupkan oleh nafas modal, dan dihirup oleh anak-anak yang seharusnya belajar berhitung atau menyapa realitas dunianya sehingga mengetahui apa yang terjadi dan tidak terasing dari dunianya. Sebab manusia yang terasing dari dunianya adalah sejenis manusia yang tidak memahami arti hidup. Dan, meskipun mengaku memahami keindahan dan romantisme, mereka sama sekali tidak menjuampai keindahan. Karena—sebagaimana dikatakan Chernysevsky—keindahan sejati adalah kehidupan: “Tidak ada yang lebih indah dari pada kehidupan itu sendiri”. Keindahan kehidupan tak dapat direduksi dengan lukisan, puisi, atau khayalan. Kontradiksi dalam kehidupan material adalah keburukan, jeleknya kenyataan, yang juga membuat berpikir timpang. Kenyataan harus diselami sebab—tidak seperti yang dilantunkan oleh lagu-lagu kacangan—hidup bukanlah sandiwara. Para penindas tidaklah bersandiwara atau berpura-pura, orang yang terindas juga serius dalam merasakan pedihnya kesengsaraan dalam hidup. Mungkin mereka yang tertindas hanya tertawa menghibur diri atau lari ke kekosongan reliji, tapi ada sebagian yang tetap tak bisa menyembunyikan perasaannya yang marah akibat penindasan itu.


Dan kehidupan sejati, realitas, kenyataan, tidak pernah dapat dipahami karena mahasiswa sekarang tak lagi belajar, membaca, dan aksi atau mengintegrasikan diri dengan realitas. Mereka memenjarakan diri ke menara gading: kekuasaan yang berdiri di atas penindasan terhadap rakyat, ditopang oleh suatu desain budaya di mana kaum muda diciptakan hanya untuk membeli dan mengkonsumsi atau bergaya seperti kaum borjuis yang tidak pernah melakukan apa-apa demi kemanusiaan, menindas dan menutup-nutupi keburukannya dengan kedermawanan semu dan ritualitas gaya hidup yang mampu melenakan kaum muda untuk berpikir tentang kenyataan sebenarnya. Hedonisme, paham mengejar kesenangan hidup pada saat kontradiksi menganga bagai luka dalam tubuh kehidupan. Hedonisme menutup mata hati dan pikiran mereka akan ‘kasunyatan’. Selama ini mahasiswa hanya dijauhkan dari kenyataan bagaimana rakyat menderita, dikurung dalam kampus, diracuni dengan kesenangan semu. Yang dilihat hanyalah kesenangan dan kepuasan diri. Pada hal, sebagaimana ditegaskan Pramoedya Ananta Toer yang berkata melalui mulut Nyai Ontosoroh dalam novel ‘Bumi Manusia” (hal. 120): "Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya, tapi tentang surga, dan jelas tidak terjadi di atas bumi kita ini”.


Sekarang kita telah kehilangan parameter kemanusiaan. Apa yang disebut sebagai mahasiswa adalah mereka yang belajar di kampus, tapi dusta-dusta sejarahnya sebagai bagian dari kehidupan sangat jelas di depan mata. Kekuatan pembebasan telah hilang, bahkan sedikit sekali, tercerai-berai dan terhalang dengan tembok kekuasaan modal yang dapat beranak-pinak menjadi kebudayaan yang memang menghalangi mahasiswa menuju hakekat sejatinya dalam sejarah: kaum intelektual, agregat perubahan, maupun agen of social control—atau lebih maju lagi menjadi kekuatan revolusioner dalam mosi historis sejarah dalam pertentangan kelas antara kaum tertindas dan penindas.


Bermacam-macam yang dapat kita jumpai dan rata-rata tak jelas jluntrungannya dari aktivitas mahasiswa sekarang ini. Mereka memang rajin datang ke kampus, tandatangan absensi, mendengarkan kuliah, kebanyakan hanya mendengarkan tanpa pertanyaan atau memberikan argumen segar. Lalu mereka berkumpul di kantin atau di tempat-tempat duduk yang indah di kampus... Apa yang mereka bicarakan? Merk produk terbarukah? Tukar pengalaman “dugem-dugeman” atau teman kencan (“pacar”) kah? Adakah banyak waktu yang digunakan untuk membaca, berdiskusi, rapat untuk menyusun aksi penyadaran dan tuntutan mendesak dan strategis untuk melawan ketidakadilan dalam kehidupannya?
Barangkali kita sudah tahu sama tahu (“te-es-te”) bagaimana wajah kampus kita dan apa aktivitas mahasiswa sekarang. Bahkan menjalani aktivitas akademis secara konsisten saja tak pecus. Pikiran mereka belepotan, kemalasan meraja, dan hidupnya dipenuhi absurditas. Tanpa penjelasan. Terombang-ambing oleh prasangka-prasangka kekanak-kanakan yang (sengaja) dibikin oleh kekuatan modal.
Dan Soe Hok Gie pernah mencatat: “Saya membayangkan seorang mahasiswa antropologi, yang berusia sembilan belas tahun datang dengan cita-cita untuk membuat field work di pedalaman Kalimantan atau Irian Barat. Atau seorang mahasiswa jurusan kimia yang berfikir untuk menemukan sejenis cairan baru yang dapat melambungkan manusia ke bulan. Atau seorang mahasiswa hukum dengan ide-ide yang sarat dengan rule of law. Tidak ada yang lebih kejam dari pada mematahkan tunas-tunas semangat kemerdekaan berfikir dan berkreatifitas. Dalam waktu beberapa tahun, pemuda berumur sembilan belas tahun ini mengetahui tak mungkin ada ‘field work’ ke Irian Barat atau pedalaman Kalimantan. Ia harus puas dengan skripsi tentang masyarakat tukang buah-buahan di Pasar minggu. Dan alumnus Kimia benar-benar menyadari yang ada untuknya hanyalah kerja di pabrik sabun atau mentega. Pelan-pelan ia harus melupakan idealismenya tentang cairan yang dapat melontarkan manusia ke bulan. Lalu, si mahasiswa fakultas hukum mengetahui, bahwa di atas hukum terdapat hukum yang tidak tertulis. Tentara, polisi, jaksa dan garong-garong yang punya koneksi”.


Maka demikianlah, yang ingin dikatakan Gie adalah bahwa, ia hanya membayangkan keberadaan mahasiswa yang ideal. Tetapi dalam kenyataan Gie hanya melihat pragmatisme dan oportunisme, juga hedonisme. Watak yang menonjol itu bukannya tanpa sebab, tetapi karena kekuasaan yang dijaga oleh aparat. Pragmatisme bersifat sistemik dan merupakan bagian dari kerja kapitalisme neoliberal yang membuat mahasiswa menjadi pragmatis. Jadi, saya adalah agregat kecil dari kehidupan (bagian dari alam maha luas) yang masih percaya bahwa mahasiswa Indonesia masih punya potensi untuk bangkit. Ingat bahwa sejarah berjalan secara dialektis. Kontradiksi yang terjadi itu sendiri pada dasarnya adalah landasan dari perubahan.


Jadi kemunduran kesadaran mahasiswa—yang tercermin dari gaya hidup mahasiswa, watak, dan tindakannya—sekarang ini adalah bagian dari epos sejarah yang tetap akan bisa berubah. Serangan ideologi neoliberalisme memang semakin masif, tetapi pada saat yang sama krisis yang ditimbulkannya cukup parah. Pada saat mahasiswa terkurung dalam budaya bisu, sekarang ini rakyat justru melawan di mana-mana dengan berbagai macam tindakan dan perspektif atau ekspresinya. Buruh, tani, kaum miskin perkotaan lebih radikal dalam tindakannya.


Seiring dengan epos krisis kapitalisme yang terus berjalan, dan kesadaran berlawan juga pasti akan menular meluaskan perlawanan di sektor rakyat, mahasiswa masih punya potensi untuk bangkit. Kita akan melihat peran mereka yang sesuai dengan sejarahnya. Kita akan mendengar mereka berkata dan membatin, sebagaimana dipikirkan oleh Minke dalam novel “Bumi Manusia” karya Pram (hal. 135): “Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya”. Masih ada potensi bagi mahasiswa untuk menjalani kuliah bukan demi tujuan yang remeh-temeh, tetapi demi persoalan kemanusiaan (yang ingin dipecahkannya). Sekarang memang masih ada, meskipun kecil. Tetapi saya yakin, juga akan semakin bertambah kelak.



***

Ide penulisan dan penyusunan kata-kata yang kemudian menjadi buku ini murni datang dari diri saya sendiri karena awalnya hanya berupa catatan-catatan sentimentil yang saya lakukan sejak saya menjadi mahasiswa di sebuah kampus negeri di Jember (Jawa Timur), kampus kecil yang dibilang tidak cukup terkenal tetapi sempat mewarnai gerakan mahasiswa di era pasca-reformasi.


Tak mengherankan jika ucapan terimakasih yang terutama saya ucapkan pada kawan-kawan Jember yang bersama penulis, mulai tahun 2002 hingga tahun 2005, sempat meradikalisir gerakan mahasiswa. Kita rasakan bagaimana sulitnya mengorganisir gerakan, juga (harus jujur) termasuk mengorganisir diri-sendiri di tengah godaan-godaan pragmatisme dan oportunisme di tengah masyarakat kapitalis—yang membuat kita bersitegang karena terjadi pertarungan antara keinginan kita untuk melihat rakyat melawan di mana-mana dengan keinginan kita untuk mewujudkan obsesi-obsesi individu (yang saya kira berkaitan dengan dorongan alamiah dalam tubuh kita).


Tidak sedikit kawan-kawan itu yang mengorbankan banyak hal, tuntutan (dan bahkan tekanan orangtua), pacar/istri, birokrasi kampus, hanya untuk melawan budaya bisu (“anti-perlawanan”). Dan untuk menghormati merekalah, tesis yang saya angkat dalam buku ini adalah pentingnya meletakkan kepedulian universal—Cinta universal ala Gibranian, Marxian, dan bukan cinta di kalangan mahasiswa yang hanya berujung pada aktivitas kehidupan yang biasa (kuliah, bersenang-senang, kerja [atau terpaksa menganggur karena keadaan], beranak-pinak atau bersenang-senang dengan kelamin, lalu kehidupan sudah habis di situ tanpa warisan apa-apa pada sejarah)!


Mereka yang menghiasi jiwanya dengan keberanian, dan kadang masuk terlalu jauh dalam menghadapi resiko terhadap nasib eksistensi individual, adalah agregat-agregat sejarah. Mungkin kalian banyak dicemooh dan dianggap tak berguna oleh mereka yang memandang segala sesuatu secara biasa dan temeh. Tapi aku yakin, sejarah memberi hormat pada kalian, sejarah adalah realitas kehidupan yang diam dalam bahasanya sendiri menunggu perubahan yang didorong oleh bagian-bagian darinya—kitalah bagian yang penting itu karena kita berpikir dan bertindak berani, berbeda, dan tidak mengikuti kesepakatan kumpulan binatang gembala yang kemudikan oleh kepentingan kapitalis yang menguasai cambuk dan tongkat untuk menghela kambing-kambing yang bodoh itu. Kepada Ahmad Zaennurrofik, Fajar Dwinanto Harimurti, Heppy Nurwidyamoko, Abdul Basid, Amik Pasaribu, Wawan, dll—kalian pernah mengecat tembok sejarah, memulai pada epos itu!


Ucapan terimakasih juga seharusnya saya haturkan pada beberapa kawan di Yayasan Komunitas Teman Katakata (KOTEKA) yang sekaligus penulis-penulis muda berbakat (Eri Irawan, Maya Siandhira, Deny Ardyansah, Agustinus Suprapto, Timo Teweng, Beta Candra Wisdata, Berti); sepasang intelektual muda Lukman Hakim dan Mbak Indah di The Academos Society (TAS) Pasca-sarjana UNEJ; Edy Firmansyah dan Pram Kecil di Sanggar Bermain Kata (Madura); Mbak Ajeng YAPPIKA Jakarta yang membantu proses pengeprinan naskah; Mas Abubakar Ebi Hara, Phd, Mr. Sugiyanto, Pak Supriyadi, dan akademisi yang berpikiran ilmiah dan maju lainnya di almamater penulis. Kawan-kawan di garis rakyat memberikan banyak warna dan ruang dalam penyelesaian karya ini; kawan-kawan di JAMAN (Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional), ada Iwan Dwi Laksono, Gigih Guntoro, Paul, Kaka, Dedi, dll; Seluruh elemen gerakan mahasiswa yang ada (HMI, IMM, PMII, GMNI, GMNI KS, FMN, HIKMAHBUDI, PMKRI, HMI-MPO, KAMMI, IPPNU, IPNU, SMI, BM PAN, JMD, KMHDI, KIPAS, SRMK, STN, dll); kawan-kawan jurnalis muda di Tegalboto, Ecspose, dll.


Yang tak terlupakan, ucapan terimakasih juga saya haturkan pada Mbak Tie, Ibu Siti Fatonah dan keluarga (Nabila, Rizal Fikri, Etika, Deni, Amin Tohari, Mariam, Masroji, dll)—kalianlah yang banyak memberikan doa dan dukungan atas semua kegitanku; juga calon anak-anakku kelak (Tinta Realista Chavista, Hugo Karna Pramodya, dll); juga “keluarga di Jember” (Ibunda Denok dan Bapak Milko dan Adik Adin/Zinedin Stinjte Harimurti)—mereka semua secara langsung atau tidak (secara psiko-spiritual) terlibat dalam proses menyelesaikan naskah ini. Juga Bung Daniel Hikmahbudi dan Mas Angga (Erlangga Pribadi) yang memberikan pengantar dan sekaligus mengapresiasi karya dalam buku ini. Yang paling pivotal adalah penerbit Arruzzwacana (Mas Masrur) Yogyakarta yang bersedia mengambil keberanian untuk menerbitkan karya ini.


Akhir kata, tiada gading yang tak retak, kesempurnaan bukan milik manusia dan proses pembuatan karya ini. Masih ada celah-celah dan kekurangan baik secara substansi maupun teknis di dalamnya. Selayaknyalah penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya.



Jakarta-Jember, Oktober 2007


Nurani Soyomukti






[1] Max Lane. Bangsa Yang Belum Selsai: Indonesia Sebelum dan Sesudah Soeharto. Jakarta: Reform Institute, 2007
[2] Prisma, 20 Maret 1973, hal. 32
[3] Lihat Arbi Sanit, “Gerakan Mahasiswa 1970-1973: Pecahnya Bulan Madu Politik”, dalam Muridan S. Widjojo (ed.), Penakhluk Rezim Orde Baru: Gerakan Mahasiswa ’98. Jakarta: Sinar Harapan, 1999, hal. 46
[4] Tuntutan agar Soeharto mundur dijawab dengan tindakan militer menduduki kampus-kampus ITB dan UI, selain para pimpinan mahasiswa ditangkap dan kemudian diadili. Lebih jauh lagi, pemerintah juga membekukan DM (Dewan Mahasiswa)/SM (Senat Mahasiswa) se-Indonesia. Sejumlah surat kabar dibreidel, dan setelahnya keluarlah kebijakan NKK/BKK. Ada resistensi terhadap kebijakan ini, misalnya para aktivis mahasiswa ITB yang sempat berusaha mempertahankan DM lewat pelaksanaan pemilihan ketua DM secara langsung pada tahun 1981, tetapi akibatnya mereka menerima tindakan pemecatan dari pihak rektorat. Lihat Suryadi A. Radjab, “Budaya Tandingan Gerakan 5 Agustus”, prolog buku Enin Supriyanto. Menolak Tunduk: Menentang Budaya Represif. Jakarta: Grasindo, 1999, hal. ix-xxviii
[5] Lihat ibid.
[6] “Mereka Bicara Tentang PRD”, dalam Mingguan Sinar, 10 Agustus 1996
[7] FX Rudi Gunawan, Budiman Sudjatmiko Menolak Tunduk. Jakarta: Grasindo, 1999