Kamis, 17 Januari 2008

Sambutan Akademis Buku "DARI DEMONTRASI HINGGA SEKS BEBAS: MAHASISWA DALAM PERANGKAP BUDAYA KAPITALISME DAN HEDONISME"

Kaum Muda Dalam
Labirin Neoliberalisme


Oleh: Erlangga Pribadi,
Staf Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya; Ketua Departemen Religious affair di Soegeng Sarjadi Syndicated; Staf Peneliti PSIK (Pusat Studi Islam dan Kenegaraan) Universitas Paramadina Jakarta; Ketua Departemen Penelitian Pusat Kajian Transformasi Sosial LEMLIT UNAIR; Dorektur Operasional INDIGO (Institute for Democratic Governance).


Sebuah praktik refleksi pengetahuan dari seorang intelektual akan bermakna kritis ketika dalam perenungannya terhadap realitas, ia mampu menarik diri sebentar dari proses dialektika sosial yang ia jalani, untuk mendeteksi secara tajam kepentingan-kepentingan kekuasaan dan ideologis dominan yang bekerja untuk mengontrol, mengarahkan dan mendisiplinkan masyarakatnya. Ia tidak akan melihat setiap fenomena sebagai sesuatu yang mengatasi sejarah dan siap untuk dinilai dengan seperangkat aturan-aturan moral, karena ia sadar kerapkali bahwa aturan moral dominan tidak lebih adalah produk dari relasi kekuasaan dan dialektika sosial yang berkembang dimasyarakatnya. Dan setelah membongkar segenap teknologi kekuasaan yang beroperasi di masyarakat, praktik intelektual selanjutnya adalah mengkonstruksi pengetahuan emansipatoris sebagai kerja bersama untuk membangun realitas yang manusiawi.


Agaknya pemahaman ini disadari penuh oleh Sang Penulis, Nurani Soyomukti, salah satu agensi kreatif dari lapisan kaum muda Indonesia yang tidak saja berjuang lewat kata-kata, namun juga ia menggugat lewat aksi dan tulisannya. Meminjam istilah populer dari Antonio Gramsci, penulis buku ini mencoba merepresentasikan diri sebagai intelektual organik yang berjuang tidak dalam ruang kosong, tanpa akar sosial yang jelas dan nir-kepemihakan.

Dalam tiap-tiap karya yang telah dibuat, saya amati tidak lelah ia dengan tekun menelusuri dan membongkar setiap renik-renik formasi kapitalisme dan pengaruhnya dalam membentuk lapisan kesadaran, tindakan dan aktivitas dari tiap-tiap kelas sosial di masyarakat. Namun demikian kerja membongkar praktik kekuasaan tersebut, tidak ia lakukan semata-mata sebagai kerja mengasyikkan intelektual yang “keranjingan” mengutak-atik fenomena sosial, namun hal itu ia lakukan sebagai bagian dari aktivitas perlawanan dan kerja advokasi terhadap kelas—kelas sosial yang yang dibentuk, dimanipulasi dan dieksploitasi oleh proses sirkulasi dan akumulasi kapital sebagai nafas dari gerak zaman neoliberal.

Karya ini menarik dan tak biasa, menurut saya karena bidikan tema yang digarap tidak hanya melihat wajah makro politik dari gerakan kaum muda. Saat menganalisis mahasiswa, buku ini tidak saja semata-mata menjadi karya yang memberikan reportase tentang gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik yang dalam setiap zaman berhadapan secara dialektis dengan kekuasaan; namun lebih dari itu yang menarik, buku ini memotret fenomena subtil dan terdalam dari mahasiswa.
Sementara itu sebagai karya yang memotret life style dari mahasiswa maupun kaum muda, buku ini patut diapresiasi dengan rasa hormat, karena di dalamnya kita dapat membaca upaya penulis untuk tidak terjebak dalam buku-buku sejenis seperti “Jakarta Undercover” yang hadir hanya untuk merayakan pornografi, kehidupan hedonisme malam dan sensualitas tanpa daya kritisisme. Sementara pada sisi lain, buku ini juga tampatk tidak berpretensi untuk menghakimi gaya hidup kaum muda dengan pendekatan monisme benar-salah dan hitam-putih.

Sebagai karya yang lahir dari penulis yang intens berinteraksi dengan tradisi berfikir kiri, buku ini memotret bagaimana berbagai gaya hidup dari mahasiswa mulai dari belajar, berpolitik, belanja, bercinta, ngerumpi, bahkan sampai main seks. Soyomukti menguraikan secara gamblang bagaimana pergeseran karakter mahasiwa dalam tiap-tiap zaman sampai pencitraan yang berubah mengenai mahasiswa dimasyarakat adalah bentukan dari formasi kapitalisme McWorld (meminjam istilah Benjamin Barber).

Mahasiswa sebagai lapisan kaum muda dikepung dari berbagai penjuru, mulai dari privatisasi pendidikan yang melanda kampus-kampus mereka, materi kurikulum dan pengetahuan yang bekerja semata-mata untuk melayani kepentingan produksi dan pasar, kampus yang berdiri ditengah kepungan mall-mall mewah yang menebar aroma hasrat konsumtivisme, sampai dengan jalur jasa infotainment dan kapitalisme media yang memanifes dalam bentuk MTV, sinetron, kontestasi Idol, serta acara-acara gosip.

Keresahan yang diuraikan oleh penulis tentang ruang-ruang kelas yang sepi dengan dinamika gagasan-gagasan kritis dan menyegarkan, dinamika gerakan sosial rakyat menentang rezime korporatokratis yang sepi dari partisipasi mahasiswa, ditengah ruangan kantin yang penuh hiruk pikuk pembicaraan tentang tangga lagu MTV, trend fashion dan rumpian artis-artis Hollywood adalah kepedihan yang saya alami sebagai seorang dosen muda ketika mengamati kultur mahasiswa kita. Kegetiran tersebut bukan hanya karena mengindikasikan kehidupan mahasiswa yang semakin berjarak dengan realitas ketidakadilan dan pemiskinan masyarakat; namun lebih dari itu realitas ini memperlihatkan bahwa mahasiswa juga kaum muda tidak menyadari bahwa semakin mereka masuk dalam pusaran kultur yang dibangun oleh kapitalisme, maka gaya hidup, fikiran, hasrat dan eksistensi mereka tengah diteror oleh sebuah kultur yang diproduksi oleh formasi kapitalisme neo-liberal.

Mengapa saya katakan teror? Karena ketika kita melihat baik dalam representasi di media massa, infotainment, iklan, dan berbagai bentuk industri budaya kapitalisme kontemporer kaum muda termasuk mahasiswa dijadikan kambing hitam, direndahkan dan dieksploitasi habis-habisan demi kepentingan akumulasi kapital. Membaca karya Nurani Soyomukti ini mengingatkan saya pada karya-karya dari seorang filsuf pedagogi kritis Henry A. Giroux. Dalam karyanya The Fugitive Culture, Giroux (1996) mengutarakan bagaimana dominasi rezime kapitalisme neoliberal, menguatnya kekuasaan korporatokratis dan serangan terhadap negara kesejahteraan dan kedaulatan publik berjalan seiring dengan teror terhadap kaum muda. Dalam representasi yang muncul diberbagai pemberitaan di media cetak dan iklan-iklan komersial, kaum muda dikonstruksikan kalau tidak sebagai perusuh dan drug user, atau mereka diidentikan dengan budaya pornografi. Tubuh-tubuh ramping dan sensual kaum muda ditampilkan secara mencolok demi menarik profitabilitas dan akumulasi kapital. Serangan dan teror terhadap kaum muda dalam representasi di media ini terlihat sangat gamblang dalam cara yang halus dan menjerat.

Di Indonesia fenomena ini sangat terlihat jelas. Ketika kaum muda dijadikan sebagai kambing hitam, pelaku keonaran, terlibat dalam seks bebas maupun narkoba, pemahaman yang lebih komprehensif terhadap realitas sosial tidak pernah dikemukakan secara terbuka. Kultur kekerasan yang dilakukan oleh para mahasiswa STPDN misalnya, kerap hanya dilihat dari manifestasi sadisme dan hasrat kekerasan dari mahasiswa dan kaum muda. Hal ini tidak pernah dihubungkan dengan bagaimana relasi kekuasaan antara negara dan kapital membentuk rezime pendidikan yang telah dibangun secara sistemik selama ini untuk menciptakan para elite lokal dan pamong praja yang bertugas menjaga stabilitas dan kepentingan kapital; disertai dengan skill dan kemampuan untuk menggunakan cara-cara kekerasan. Sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh negara dan korporasi untuk meredam gejolak dan protes sosial.

Merebaknya pornografi dan pelacuran dikalangan muda misalnya tidak pernah dikaitkan dengan pemiskinan struktural, hantaman kapital terhadap pemenuhan kesejahteraan yang menjadi kewajiban dari negara, dan dorongan hasrat konsumtivisme yang selalu dipompa oleh berdirinya mall-mall mewah dan iklan-iklan kehidupan high class di berbagai tempat umum. Pada saat yang bersamaan wacana kapitalisme neoliberal memangkas berbagai akses kaum muda terutama kelas subaltern pada wilayah pendidikan melalui praktik privatisasi pendidikan. Kurikukulum pendidikan di kampus dan sekolah menjauhkan mahasiswa dari realitas sosial dan membentuk mereka sebagai produk-produk yang siap untuk dipasarkan oleh industri kapitalisme.

Sehingga yang kita lihat adalah penyempitan akses terhadap anak negeri yang meskipun memiliki kemampuan intelektual baik namun harus bernasib malang ketika orangtuanya tidak mampu membayar biaya pendidikan yang mahal. Sehingga dari sinilah tidak kita sadari berbagai persoalan sosial mulai dari kenakalan remaja, konsumsi narkoba, pelacuran dan pornografi sampai dengan bibit-bibit teroris dan fundamentalisme agama timbul dari hadirnya deprivasi relatif dan frustasi sosial.
Sementara film-film dan sinetron nasional tentang kaum muda dan mahasiswa hanya menciptakan gambaran yang ironis. Kisah percintaan narsistik anak gedongan seperti yang terlihat dalam film Eiffel I’m in Love dan film-film sejenis misalnya, sangat kontradiktif dan terasa mencibir bagi realitas kesengsaraan dan kemiskinan dari anak-anak negeri yang kehilangan haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan tidak mampu mencapai bangku sekolah akibat pemotongan anggaran-anggaran publik sebagai imperatif doktrin neoliberal. Eksploitasi yang memperdaya dengan menjadikan anak-anak muda sebagai agen-agen pemeran dan instrumen dari budaya takhayul dan mistik seperti yang tampak muncul dalam film-film horor akhir-akhir ini (Kuntilanak, Jailangkung, Pocong) jelas menghina akal sehat, fikiran dan kreativitas dari kaum muda.

Film-film nasional sebagai manifestasi budaya kita sudah semestinya berusaha menghormati kaum muda dengan segenap tantangan dan kepahitan yang dihadapinya selama ini. Kita seharusnya belajar dari banyak karya-karya indah yang tidak kehilangan pijakannya dengan persoalan di Bumi Manusia. Novel romantik Il Postino karya Antonio Scarmetta yang telah dipentaskan dilayar lebar misalnya dapat menjadi contoh tentang penggambaran yang sangat indah tentang cinta persahabatan antara Pujangga Kiri Pablo Neruda dengan seorang anak muda Tukang Pos yang miskin atas landasan solidaritas kemanusiaan dan perjuangan untuk membangun kehidupan yang layak. Film tersebut menggugah karena menceritakan transformasi kesadaran kaum intelektual yang perlahan-lahan ia mampu menghayati renik kehidupan dan tantangan rakyat kecil; serta pembangkitan kesadaran kritis dari kaum papa melalui pemahaman terhadap diri, alam dan lingkungan sosialnya melalui pembelajaran lewat syair, puisi, kerja dan komunikasi.

Pada sisi lain saat ini kita juga menyaksikan ketika kehidupan personal selebritis, musik sensual dari Britney Spears dan kehidupan gemerlap MTV dan Hollywood mengisi waktu-waktu luang kaum muda diberbagai arena, maka mereka semakin dijauhkan dari aktivitas politik radikal diruang publik, serta komitmen terhadap nilai-nilai solidaritas, komunitas dan politik keadilan sosial. Secara halus kapitalisme telah menyuntikkan obat penenang yang melenakan sekaligus mematikan bagi kaum muda. Perlahan-lahan kapitalisme neoliberal bekerja menjinakkan struktur mentalitas terdalam dari kaum muda dan mahasiswa untuk dijauhkan dari eksistensinya sebagai bagian integral dari komunitas sosial serta subyek politik yang aktif sebagai warganegara. Ketika kaum muda dan mahasiswa dibelokkan dari kesadarannya sebagai agensi politik utama untuk merekonstruksi tatanan ruang publik; Godaan Faustian rezime kapitalisme neoliberal menjerat mahasiswa dan kaum muda dengan berbagai bentuk obat penenang dan marijuana yang sebenarnya menteror diri mereka sendiri.

Sebagai sebuah karya intelektual, buku ini juga memiliki kelemahan yang menurut saya tidak mengurangi kualitas dari karya ini. Ada beberapa hal yang perlu dikritik untuk menyempurnaan dan pematangan karya-karya selanjutnya dari penulis.
Pertama, Ditengah penghayatan penulis yang sangat detail soal formasi kapitalisme dalam telaah Marxis, dan psikologi kritis Erich Fromm, dan filsafat cinta universal yang membebaskan dari Kahlil Gibran; penulis kurang tajam untuk menginterogasi dan menelanjangi tekhnologi kekuasaan dan kepentingan ideologis dari rezim kapitalisme neoliberal tergelar dalam praktik-praktik konkret di ruang budaya untuk mengkonstruksi dan menteror kesadaran kritis mahasiswa di Indonesia. Hal ini menjadikan upaya penulis untuk keluar dari bahasa-bahasa moralistik yang kritik pada karya-karya lainnya menjadi kurang berhasil.

Dengan demikian kritik terhadap ekspansi rezim neoliberal dalam membentuk life style mahasiswa diberbagai wilayah kehidupan menjadi terkesan agak normatif; Di beberapa bagian juga ada kesan moralitas oposisi biner direproduksi oleh buku ini seperti pembatasan garis demarkasi antara dugem, pacaran dan mencari kesenangan dengan diskusi, belajar dan aksi politik. Beberapa pemahaman tersebut agak mengesankan buku ini sedikit mereproduksi cara bertutur buku-buku lain yang bernuansa dakwah namun dengan substansi yang fundamental berbasis pada pengetahuan wacana kritis.

Kedua, Dalam detail yang cukup menarik untuk menjelajahi jalur-jalur pembebasan dalam konteks aktivitas bernalar dan berfikir untuk membongkar ruang-ruang hegemonik yang diciptakan oleh kapitalisme neo-liberal beserta budaya popularnya, karya ini kurang menyentuh bagaimana tentang praktik-praktik pembebasan yang juga difikirkan oleh kaum muda juga menyentuh penetrasi modal dalam era neoliberalisme menghancurkan kehidupan publik, solidaritas sosial, dan fondasi politik demokratis dalam karakater partisipatorisnya. Hal inilah yang kiranya juga perlu difikirkan dan menjadi agenda utama dari gerakan sosial politik dari kaum mahasiswa untuk terintegrasi dengan kekuatan gerakan-gerakan rakyat.
Last but not Least, jalan pembebasan yang harus dirumuskan oleh kaum mahasiswa beserta dengan kekuatan-kekuatan sosial kolektif lainnya adalah memperjuangkan kembali jalur republikanisme. Ketika suara, kedaulatan dan kepentingan publik menjadi hukum tertinggi di republik ini.***

Surabaya, 20 November 2007

Tidak ada komentar: