Oleh:
Daniel Johan,
Tokoh Pemuda dan Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (HIKMAHBUDHI)
Sebagai seorang kawan, saya merasa terhormat untuk menilai kehadiran buku ini. Yang menarik dari tulisan Kawan Nurani dalam buku kali ini adalah bukan hanya menampilkan aspek sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia, namun juga memolesnya dari sudut kehidupan cinta-romatis kaum mahasiswa. Sebagai manusia biasa, mahasiswa tidak melulu tampil heroik dan intelektualis, tapi juga banyak kekurangan, kadang cengeng, gundah, ada pula yang tak peduli tak peka hatinya, tenggelam dalam kehidupan glamour dan hedonis, menjadi pengkhianat intelektual, hingga menjadi bagian dari kehidupan seks bebas terutama kaum mahasiswa indekosan. Namun, semuanya dibungkus dengan kerangka filsafat untuk menjelaskan semua itu, sehingga pembaca pun memperoleh banyak manfaat dari segi pengetahuan.
Yang dominan dari buku ini selain mengisahkan kehidupan mahasiswa adalah “hujatan penulis terhadap kapitalisme”. “Menghujat Kapitalisme” mungkin bisa menjadi judul bayangan untuk buku ini. Namun kapitalisme memang pantas dihujat. Ia bukan hanya faktor utama yang memasifkan kemiskinan, tapi juga menimbulkan banyak ketidakadilan, kekerasan dan perang, terutama semakin memperbesar kesenjangan antara yang miskin dan kaya, juga merusak bumi dan kehidupan manusia banyak.
Ada dua pondasi dasar keberadaan kapitalisme yang membuat ia pantas dihujat. Pertama, kapitalisme hidup didasarkan kepada pengeksploitasian manusia terhadap manusia lain tanpa ampun, termasuk terhadap bumi dan Ibu Alam kita. Kedua, kapitalisme hidup menempatkan laba di atas kemanusiaan, dengan mengejar hasil produksi maksimal dan biaya produksi serendah-rendahnya.
Di dalam sistem kapitalisme, apa pun dan sampai kapan pun, yang menjadi tujuan-alasan-parameter-segalanya-selalu-dan-selalu, adalah laba. Bukan orang bukan manusia yang menjadi tujuan dan topik utama. Laba telah menjadi “nabi-tuhan-dan-kitab-suci” bagi kapitalisme.
Hanya orang yang kuat dan bermodal yang mampu membentuk laba dengan mengeksploitasi mayoritas manusia lainnya dan alam. Karena laba menjadi segala-galanya di dalam sistem ini, maka manusia-manusia tanpa kuasa dan modal akan selalu menjadi warga pariah dan menjadi obyek pengeskploitasian, alat yang diperas untuk membentuk laba bagi mereka yang berpunya dan berkuasa.
Lalu laba-laba ini akan terus terakumulasi hanya di kantong-kantong sebagian kecil warga dunia penguasa dan pemilik apa yang kita kenal sebagai Trans-Nasional Corporation (perusahaan-perusahaan raksasa dunia). Dengan kekuatan akumulasi laba, mereka bisa melancarkan perang, membunuh manusia dan bangsa lain, membangun pesawat tempur super canggih, memproduksi bom nuklir, demi kemakmuran diri dan bangsanya sendiri, memegang kendali atas sumber daya alam dan minyak dunia, menguasai dan mengendalikan sumber-sumber perekonomian dan pasar, ini semua karena laba dan laba.
Cinta di alam kapitalisme pun menjadi lain. Cinta mengalami metamorfosis menjadi sesuatu yang diperjualbelikan, menjadi komoditi, yang dibungkus indah dalam kegilaan “Valentine”, menghasilkan lembaran uang, meningkatkan penjualan, meledakkan laba, untuk kembali mengeksploitasi kebodohan manusia di tahun-tahun mendatang.
Uang telah memperkosa dan mengkomersilkan cinta hingga bisa dijual dalam bentuk lembaran jantung merah muda dan dikemas dalam blok-blok coklat tanda kasih sayang. Semua mal menyambutnya, dengan rok mini baju ketat, lipstik pink, perjamuan glamour di hotel-hotel berbintang, sebuah ilusi super hebat digelar agar manusia merasakan telah mencurahkan cintanya dan berkasih sayang penuh romantika. Beli sekarang mumpung lagi diskon. Kapitalisme telah membuat cinta menjadi sedemikian sempit dan menginjak-injak makna cinta menjadi rendah.
Namun tidak demikian bagi mereka yang hidup di bantaran kali, nelayan-nelayan dan para ibu-bapak tani yang semakin terpinggirkan, tergusur oleh kekuasaan dan modal atas nama pembangunan dan kemewahan. Rumah dan tanah mereka di bulldozer hingga mereka tinggal di tenda-tenda darurat. Pantai dan sawah tempat menggantungkan hidup kini direnggut untuk menyediakan kompleks perumahan mewah dan mal-mal guna merayakan hari valentine tiap tahunnya.
Lalu di mana posisi mahasiswa? Saat ini kebutuhan dasar manusia di Indonesia telah demikian melambung tinggi. Pendidikan mahal, kesehatan mahal, transport, gula, minyak tanah, beras, ikan, daging, telur, listrik, air, semuanya mahal. Penggangguran dan kemiskinan juga semakin meluas. Bagaimana dengan nasib mereka? Peduli setan dengan mereka semua karena toh tujuan hidup dalam dunia kapitalisme adalah laba dan bukan manusia.
Oleh karena itu, di dalam pengantar yang singkat ini, kita akhiri dengan pertanyaan setujukah kita dengan pemikiran bahwa manusia memang sepantasnya dan selayaknya hidup di bawah dan lebih rendah martabatnya dari laba, bahwa laba lebih mulia dan lebih penting dari kemanusiaan kita. Jawaban kita akan menentukan kadar dari kemanusiaan kita. Dan mahasiswa bagian dari itu semua yang memiliki tanggung jawab sejarah untuk mengubahnya. Entah sebagai sosok yang memperkuat posisi laba atau sebaliknya berpihak dan memperkuat posisi kemanusiaan kita. Selamat membaca. Selamat merenung dan (akhirnya) bertindak!!!
Jakarta, 5 November 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar