Kamis, 17 Januari 2008

Pengantar Penulis:



Buku "DARI DEMONSTRASI HINGGA SEKS BEBAS"

Studi tentang mahasiswa telah banyak dilakukan. Terutama sejarah gerakan mahasiswa (GM) yang memang menarik perhatian banyak ahli baik dalam negeri maupun luar negeri. Yang paling baru, sepengetahuan saya, adalah buku “Bangsa yang Belum Selesai: Indonesia Sebelum dan Setelah Orde Baru” karya jurnalis dan peneliti dari Australia yang telah lama meneliti dan mempengaruhi gerakan mahasiswa Indonesia, yaitu Max Lane. Max Lane mencoba memfokuskan diri pada sejarah gerakan mahasiswa radikal, dengan berargumen bahwa radikalisasi yang terjadi di Indonesia adalah warisan sejarah sejak jaman pergerakan dan (tentu saja) adalah bagian dari reaksi ketertindasan akibat penjajahan. Demikian juga penggulingan Soeharto pada bulan Mei 1998, tak lepas dari budaya berlawan yang manifes dalam pengorganisiran gerakan radikal.


Studi Max Lane memang cukup menarik terutama kecakapannya dalam membuat kisah kronoligikal dengan memotret pengaruh aksi-aksi yang telah terjadi dan merangkaikan sejarah perlawanan mahasiswa untuk menuntut sebuah Indonesia baru—meskipun hasilnya bahwa “nation” atau “bangsa” Indonesia hingga sekarang belum tuntas, “belum selesai” karena gerakan yang klimaks selalu terhambat (baca: ejakulasi dini) dan berakhir pada pembuahan tak sempurna: hasilnya adalah bangsa yang tak sempurna atau cacat dalam karakter dan fondasi materialnya.


Karya Max Lane memang lain dalam menyusupkan pesan ‘pentingnya radikalisasi’ untuk ‘menuntakan revolusi demokratik’ di Indonesia (yang tak pernah/belum terjadi). Karya ini bahkan jauh lebih bagus dari studi lainnya tentang gerakan mahasiswa Indonesia yang seakan tanpa pesan apapun, terutama yang ditulis oleh penulis Indonesia sendiri. Seingat saya, di antara buku-buku yang membahas soal gerakan mahasiswa setelah reformasi terjadi yang jumlahnya lumayan banyak, ada satu buku hasil penelitian yang lumayan bagus tentang gerakan mahasiswa. Buku tersebut diedit oleh Muridan S. Widjojo, berjudul “Penakhluk Rezim Orde Baru: Gerakan Mahasiswa ’98” yang diterbitkan oleh Sinar Harapan (Jakarta) pada tahun 1999.


Persoalannya adalah, terlalu sedikit studi yang mencoba melihat keterkaitan gaya hidup mahasiswa, terutama budaya dan pemikiran yang berkembang di kalangan mahasiswa. Mahasiswa sebagai sebuah kalangan yang dilihat dari sudut pandang kelas (ala Marxian) memiliki banyak kisah yang dapat diangkat. Mahasiswa sebagai kelas borjuis kecil yang lumayan mampu mengakses informasi dan ilmu pengetahuan memiliki potensi kritis dan berlawan: terbukti dari munculnya kelas menengah ini sebagai kekuatan kritis, bahkan juga revolusioner, terhadap kekuasaan yang menindas.


Tapi aspek gaya hidup sebagai cerminan posisi kelasnya jarang sekali dibahas. Mahasiswa sebagai bagian masyarakat yang mengembangkan diri dan juga dipengaruhi oleh kekuatan budaya dari luar mendapatkan kajian yang relatif kecil. Pada hal aspek ini juga tak kalah penting dalam kaitannya dengan munculnya sejarah aksi-aksi dan organisasi-organisasi yang melekat dalam kehidupan mahasiswa. Atas dasar itulah, saya mencoba memberanikan diri untuk melihat aspek kultural, baik dari segi pemikiran, watak, dan gaya hidup mahasiswa di era sekarang ini dengan maksud menawarkan gambaran lain dari kehidupan mahasiswa.
Sebenarnya telah ada studi yang berusaha melihat budaya dan gaya hidup mahasiswa. Tetapi kebanyakan berujung pangkal pada analisa yang, kalau tidak moralis, pasti terjebak pada pendekatan anti-historis. Analisa ini melihat gaya hidup liberal secara hitam putih, menganggap mahasiswa sebagai kalangan yang hidup di ruang hampa, sehingga pendekatan ini cenderung hanya melarang atau mengharuskan dengan patokan-patokan moral tertentu. Gaya hidup mahasiswa yang buruk dan hilangnya idealisme kerakyatan di kalangan kaum muda ini dianggap sebagai watak yang memang sudah melekat pada mereka.


Pendekatan moralis inipun secara jelas sudah dapat diduga akan berujung pada solusi moral-relijius. Dan setiap studi memang berujung pada rekomendasi dari para penulis/peneliti tersebut. Saya juga akui, saya juga mencoba menawarkan sebuah pendekatan dan sekaligus menawarkan suatu gaya hidup bagi kalangan mahasiswa: Jangan moralis, pandang segala sesuatu secara dialektis (tidak-hitam putih), kita tetap harus bergerak (kritis, melawan, berpihak) karena kita sebagai korban. Dan, menurut saya, kapitalisme sebagai sistem penindasan era ini menindas mahasiswa dalam beberapa hal:
(1) Mahasiswa diasingkan dari realitas sosial dan dari kebiasaan berpikir kritis dan berilmu pengetahuan baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus. Dalam hal ini kapitalisme menyerang dan membentuk mahasiswa agar ia tak lagi dapat menjadi “mahasiswa sejati”, yang belajar sungguh-sungguh dan ‘haus pengetahuan’, lalu beranjak berlawan membela kebenaran dan keadilan. Dengan demikian, semakin mahasiswa jauh dari ilmu pengetahuan dan aksi keberpihakan, maka upaya yang dilakukan kapitalisme untuk memertahankan penindasannya berhasil. Dari sini kita melihat bahwa munculnya gaya hidup “anti-ilmiah” dan “anti-aksi advokasi” di kalangan mahasiswa bukan muncul dengan sendirinya, tetapi memang sengaja dibentuk. Jangan menyalahkan mahasiswa, tapi juga jangan memanjakannya.
(2) Meskipun tidak berlaku pada semua mahasiswa (atau kaum muda), kapitalisme (terutama di sektor pendidikan) juga menindas secara ekonomi. Bukti penindasan tersebut adalah munculnya aksi-aksi yang masih saja terjadi soal isu-isu mahalnya pendidikan: aksi menolak kenaikan SPP dan pungutan liar, aksi menolak komersialisasi kampus, hingga menuntut pendidikan gratis, ilmiah, dan demokratis. Selain itu, pendidikan kapitalis itu sendiri telah mendiskriminasi kalangan muda dalam meraih pendidikan tinggi. Berapa banyak lulusan sekolah menengah atas yang tak bisa menikmati pendidikan tinggi. Lagi-lagi karena penddikan mahal dan terkomersialkan, sehingga hanya anak-anak orang kaya saja yang boleh belajar di perguruan tinggi.

Intinya, mahasiswa dan calon mahasiswa (remaja dan kaum muda) di negeri ini mengalami penindasan. Saya melihat konstruksi gaya hidup dan budaya, meskipun bukan kontradiksi pokok, merupakan pintu masuk bagi kapitalis untuk bertahan dan melakukan penindasan. Kalau kaum muda bodoh dan tanpa pendidikan, kalau nalar kritis ditumpulkan, dan pengetahuan dijauhkan, siapapun akan menjadi rombongan makhluk-makhluk ideot dan ‘penurut’ yang dengan begitu mudahnya diarahkan, dibentuk, dikuasai, dan ditindas demi kepentingan segelintir elit (modal) yang memegang kekuasaan. Tak ada yang menyangkal, mahasiswa berada dalam kondisi dipertaruhkan.


Pendekatan moralis seperti yang dilakukan oleh Iip Wijayanto dalam bukunya “Sex in The Kost” mencoba memotret gaya hidup mahasiswa, tetapi karena hitam-putih dalam menilai perbuatan hanya terjebak pada propaganda dan solusi agama tertentu—jadi pendekatannya rasis dan anti-demokrasi. Pada hal persoalannya bukan moral atau agama, tetapi kapitalisme yang jahat dan predatoris.


Iip berusaha menunjukkan betapa rusaknya mahasiswa hanya karena ‘seks’, yang memang telah melekat dalam setiap tubuh seusia mahasiswa (rata-rata usia 19-15 untuk mahasiswa yang menempuh S1). Tuntutan seksual bagi siapapun, bukan hanya mahasiswa dan bahkan kiai di pedesaan yang biasanya memiliki banyak istri karena nikah di usia yang sangat muda dan memperistri wanita yang tentunya lebih muda lagi, adalah bagian dari kehidupan. Lalu saat mahasiswa (dari penelitian yang dilebih-lebihkan dan tentu saja kasuistik) dianggap telah terjerumus ke dalam “dosa” yang bernama seks bebas, seakan Iip berusaha melontarkan persepsi bahwa mahasiswa telah rusak dan terjerumus pada kebiasaan para “calon-calon penghuni neraka”. Lalu ia menawarkan solusi moral-relijius, tanpa melihat bahwa moral bukanlah sebab, tetapi akibat dari kontradiksi kapitalisme.

Saya sendiri seringkali mendengar orang yang mengatakan: ‘Lihatlah betapa buruknya citra mahasiswa sekarang ini’. Ya, pengalaman yang kita jumpai tentang persepsi masyarakat di sekitar kampus cenderung mengungkapkan ‘kebencian’ mereka terhadap kaum muda yang kebanyakan datang dari kelas menengah ini. Teman saya di Malang mengatakan bahwa kota yang banyak berdiri kampus-kampus (baik negeri maupun swasta) itu telah menjadi representasi terburuk bagi citra mahasiswa, barangkali saya katakan di era pasca-reformasi ini. Bayangkan, cerita teman itu, banyak mahasiswa yang diusir dari kosnya oleh masyarakat setempat karena kos-kosannya dicurigai digunakan kegiatan ‘seks bebas’ atau mengonsumsi narkoba.


Jika gejala pertentangan antara gaya hidup mahasiswa semacam itu dengan kepentingan masyarakat terjadi, maka kita seakan lupa bahwa pernah ada masa si mana mahasiswa dan rakyat menyatu, tanpa saling berprasangka, dan prasangka (serta kebencian dan permusuhan) yang ada diarahkan pada pemerintahan anti-rakyat yang menyebabkan hilangnya kesejahteraan rakyat dan demokrasi di negeri ini. Itu cerita lalu, jaman di mana kaum muda dan mahasiswa masih mengagung-agungkan pentingnya perjuangan dan belum teracuni oleh ide dan perasaan yang terbentuk dari tatanan kapitalis neoliberal yang berpilar pada watak pragmatis, oportunis, dan mengagung-agungkan hedonisme.
Apakah saya pesimis? Tidak.


Orang memang seringkali pesimis pada mahasiswa, bahkan pada gerakan mahasiswa dalam bentuk aksi massa itu sendiri. Dan orang yang mengerti sejarahpun akhirnya juga tahu bahwa gerakan mahasiswa (tetapi tidak semuanya) pernah menjadi kekuatan kejam dan—kalau menurut saya—“bodoh”. Di tahun 1966, gerakan mahasiswa yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dengan begitu bodoh telah melakukan persekongkolan yang penuh dosa.
“Gerakan” mahasiswa (GM) tahun 1966 diperalat oleh militer dan Soeharto untuk naik kekuasaan—yang diikuti dengan pembantaian jutaan nyawa tak berdosa, tanpa proses pengadilan, sebuah holocaust sejarah yang cukup terkenal di negeri ini, bahkan di dunia. Berdasarkan penelitian Max Lane:

KAMI terdiri organisasi-organisasi mahasiswa dengan latar belakang relijius konservatif sebagaimana juga serangkaian organisasi yang didirikan sebelum tahun 1965 dengan landasan yang terang-terangan menolak aktivitas politik. Mahasiswa-mahasiwa KAMI memonopoli jalanan tapi saingannya dari kiri, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), yang berafiliasi ke PKI, dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), sudah dilarang atau dibasmi secara beruntun, sehingga banyak aktivis CGMI dan GMNI yang dibunuh atau ditahan. CGMI dan GMNI tak terlihat di jalanan saat KAMI, dan beberapa sekutunya, dengan logistik yang dipasok oleh Angkatan Darat, menunjukkan keunggulannya.
[1]

Jadi jelas sekali bahwa KAMI bukanlah wakil dari semua mahasiswa, tetapi sebagian saja—meskipun tak dapat dikatakan kecil. Peristiwa jatuhnya Soekarno dan naiknya Soeharto ke puncak pemerintahan sebenarnya juga menjelaskan arti pentingnya GM dan peranan mereka sebagai kelompok penekan walaupun GM yang terjadi di era Soekarno dan Soeharto menunjukkan perbedaan yang menggambarkan dinamika dari gerakan yang mereka lakukan. GM dalam menurunkan Soeharto merupakan suatu aliansi yang terbangun secara sengaja dengan kekuatan militer di bawah Soeharto. Secara akurat, terbukti bahwa GM masa itu bukanlah faktor determinan dalam penurunan rejim Orde Lama, akan tetapi gerakan politik militer yang meminjam dan memperalat GM yang merupakan kekuatan pendompleng rejim. Pada waktu itu secara kuantitas dan kualitas GM tidak sekuat gerakan maha-siswa 1998 untuk menurunkan Soeharto.


KAMI, sebagai Front mahasiswa 1966 yang menggulingkan Soekarno tahun 1966, pun diragukan sebagai “kesatuan” mahasiswa mengingat fakta bahwa gerakan mahasiswa pada waktu itu hanya didominasi oleh mahasiswa UI (Universitas Indonesia). Bahkan acara Simposium Kebangkitan ’66 pada 6 Mei hingga 9 Mei 1966 tidak diprakarsai oleh KAMI sebagai inti gerakan ’66 tetapi oleh UI. Desain Orba juga bukanlah hasil keinginan mahasiswa ’66, tetapi justru dihasilkan oleh Seminar AD (Angkatan Darat) II yang diselenggarakan pada 25 hingga 31 Agustus 1966. Dengan demikian jelas mengapa Pramodya Ananta Toer mengatakan bahwa “Angkatan 66” adalah sebuah “angkatan” yang darinya tidak punya pengaruh bagi perubahan menuju perbaikan yang diinginkan mahasiswa dan rakyat. GM’66 menurut banyak kalangan hanyalah “dimitoskan”. Kritik terhadap kecenderungan pemitosan “Angkatan 66” itu sudah pernah dilakukan oleh seorang mantan aktivis 66 sendiri, Marsilam Simanjutak, pada tahun 1973 dalam artikelnya di Prisma:

Sampai saat ini, kebanyakan orang masih mempunyai perasaan, bahwa apa yang dinamakan ‘gerakan mahasiswa’ adalah sesuatu yang serupa atau sama dengan aksi-aksi mahasiswa tahun 1996. Perasaan ini berkembang menjadi: yang kurang serupa, berlainan bentuk, berlawanan arah dan berbeda tujuan, tidak sebanding ukuran dan jumlah pesertanya dengan aksi-aksi mahasiswa tahun 1996, dan sebagainya lagi, adalah bukan gerakan mahasiswa.
[2]

Pernyataan Simanjuntak itu mengisyaratkan bahwa gerakan 66 sebenarnya tidak memiliki daya tekan yang kuat justru karena terjebak pada perspektif moral. Angkatan 66 tidak memiliki sarana dan cara sebagaimana lazimnya suatu gerakan. Implisit dalam kutipan artikel di Prisma tersebut terdapat kritik sekaligus peringatan bahwa GM sebaiknya berhenti mengidentifikasikan dirinya dengan sesuatu yang mirip “angkatan 66” yang sebenarnya tidak punya daya penekan yang kuat; tetapi justru menjadi alat kekuatan militer untuk berkuasa. Mitos tentang “angkatan 66” ini tetap hidup dan direproduksi dalam berbagai wacana baik itu yang dihasilkan oleh penguasa ORBA, para penulis, maupun oleh para aktivis GM kontemporer sendiri.
Sementara itu gerakan mahasiswa 1998 merupakan suatu gerakan yang tidak hanya insidental, tetapi merupakan akumulasi ketidakpuasan yang sama seperti dirasakan rakyat Indonesia dalam melakukan “koreksi” dan “anti” Orde Baru.


Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai akibat proses globalisasi, sebagai konsekuensinya adalah pengaruh gelombang demokratisasi yang melewati Indonesia, pemikiran politikpun dapat berkembang sesuai dengan kondisi material masyarakat. Negara Orde Baru tidak lagi mampu merasionalisasi ideologi tunggalnya, para intelektual dan kaum muda secara bebas mampu merumuskan pemikiran politik berdasarkan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, kemampuan masyarakat untuk menganalisa praktek-praktek ekonomi politik negara semakin baik. Negara Orde Baru justru mendapat tantangan dari para intelektual dan rakyat. Hal ini karena pemikiran politik kritis itu tidak muncul dari organisasi politik resmi (partai politik dalam struktur Orde Baru, yaitu Golkar, PPP, dan PDI). Karena pada dasarnya partai-parti tersebut adalah hasil rekayasa politik dalam struktur Orde Baru.
Peristiwa MALARI 1974 adalah suatu peristiwa bagaimana rezim Orde Baru mulai mendapat koreksi, terutama dari kalangan intelektual dan mahasiswa. Peristiwa ini bisa dipahami sebagai perwujudan perpecahan di antara mahasiswa dengan penguasa Orde Baru yang pernah secara bersama-sama menggulingkan Orde Lama (pemerintahan Soekarno). “Bulan madu politik” telah retak.
[3] Gerakan mahasiswa hasil rekayasa Orde Baru melalui Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang pergunakan untuk membangun tatanan Orde Baru mulai mengevaluasi perjuangan bersama sambil menelaah peran KAMI dan mahasiswa ke depan.

Peristiwa MALARI sebenarnya adalah puncak dari keberlanjutan peran politik mahasiswa di era Orde Baru. Di sini para aktivis organisasi mahasiswa intra kampus memberikan perhatian pada kebijakan ekonomi-politik Soeharto—terutama kebijakan penanaman modal asing dari kapitalis Jepang dan Amerika—dan dampaknya bagi rakyat Indonesia.


Perlawanan berlanjut saat mantan-mantan KAMI telah masuk dalam struktur ekonomi-politik dan menjadi “fungsionaris” Orde Baru. Mereka mendukung penindasan rejim kejam. Dan lagi-lagi tidak perlu apatis terhadap mahasiswa karena mereka—karena tertindas dan sekaligus mampu merasakan serta mengetahui adanya penindasan-penindasan—terus bangkit. Setelah peristiwa MALARI menandai perlawanan terhadap Orba di tahun 1970-an, pada tahun 1980-an perlawanan tak juga reda meskipun telah diperlakukan politik depolitisasi kampus secara ketat oleh rezim. Depolitisasi dengan diberlakukannya kebijakan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) serta perangkat operasional BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan) diambil oleh Soeharto setelah pada tahun 1978 mahasiswa bergerak lagi menuntut presiden Soeharto mundur (yang 20 tahun kemdian tuntutan ini berhasil) telah dilakukan.
[4] Gerakan mahasiswa sempat merosot dan mengalami demoralisasi.

Dan sejarahpun masih berjalan secara dialektis. Sejak kampus dikekang, gerakanpun masih mencari muara. Mahasiswapun justru berpaling pada realitas di luar kampus, bersama-sama LSM menyusun perlawanan dari kampus. Persetubuhan yang berbuah, karena jika di dalam kampus mahasiswa hanya berkutat pada isu-isu elitis, dengan bersentuhan dengan realitas rakyat mereka mendapatkan perspektif lain yang pada akhirnya mempengaruhi tindakan perlawanannya.


Mereka mulai melihat dan peduli pada kasus penggusuran, kenaikan harga, ketimpangan yang mencolok karena kapitalisme Orde Baru. Kepedulian yang ada dikonkritkan dalam bentuk membangun komite-komite aksi bersama mengenai kasus-kasus tanah—gerakan yang elitispun berangsur-angsur menjadi populis. Komite-komite aksi tersebut mulai membangun jaringan. Pada tahun 1988, sejumlah aktivis kampus di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan Bogor mulai berhubungan. Tercatat, pada tanggal 9 Desember 1988, menjelang peringatan Hari HAM, para mahasiswa mendatangi DPR dan menyampaikan pernyataannya pada wakil Orsospol (PPP, Golkar, PDI, dan ABRI). Dan yang paling tercatat sebagai momentum radikal dari GM adalah apa yang disebut sebagai “Gerakan 5 Agustus” pada tahun 1989. Peristiwa ini mewarnai opini secara nasional. Beberapa aktivis ditangkap dan dipenjarakan.
[5]

Dari peristiwa aksi-aksi politik intelektual dan mahasiswa dapat disimpulkan bahwa perkembangan pemikiran politik di era Orde Baru disebabkan oleh proses demokratisasi yang semakin memperlebar ruang publik untuk menumbuhkan wacana-wacana baru di kalangan intelektual; pada saat yang beriringan juga karena kegagalan Orde Baru untuk mendistribusikan hasil-hasil pembangunan pada rakyat.
Sejak tahun 1990-an, perlawanan terhadap Orde Baru semakin hari semakin semarak. Seiring dengan itu variasi pemikiran politik muncul sehubungan dengan kebutuhan untuk mencari ideologi dan metode aksi yang dipandang lebih efektif. Berbagai organisasi radikal berdiri di kalangan mahasiswa, buruh, dan petani, juga rakyat perkotaan. Pada saat yang sama, para tokoh yang kritis terhadap Seharto juga kian banyak. Maka pada tahun 1996 rezim Soeharto sibuk menghalau kekuatan rakyat dengan mencurigai bangkitnya paham Marxisme atas peristiwa kerusuhan 27 Juli. Dalam peristiwa itu, pemerintah menuduh bahwa aksi mimbar bebas dan kerusuhan didalangi oleh Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang disebut sebagai “neo-PKI”. (Tuduhan itu kemudian tidak terbukti di pengadilan).


Kasuspen ABRI Brigjen Amir Syarifuddin membuat kesimpulan bahwa PRD itu “secara konsepsual merupakan organisasi yang mirip dengan PKI”. Abdul Gaffur, “oportunis boneka rezim”, memfitnah bahwa bahwa PRD “betul-betul pertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.” Lebih jauh lagi dinilai bahwa “cara dan metode mereka sama dengan yang digunakan PKI”.
[6]
Budiman Sujatmiko, Ketua Umum PRD waktu itu, yang dipenjara di LP Cipinang setelah peristiwa 27 Juli 1996 itu membuat instruksi yang bisa dibaca sebagai salah satu strategi resistensi PRD:

kami memerintahkan agar selama PRD bergerak di bawah tanah, kader-kader PRD—baik yang bergerak di sektor mahasiswa, buruh, tani dan kaum miskin kota—agar tetap meneruskan perjuangan dengan cara mendirikan komite-komite aksi tanpa mencantumkan nama PRD. Komite-komite aksi itu bisa didirikan oleh kader-kader PRD sendiri dan bisa juga bekerja sama dengan organisasi-organisasi lain. Yang penting, tugas-tugas kader saat itu adalah bagaimana memperjuangkan program-program politik PRD seperti pencabutan paket 5 UU Politik, pencabutan dwi fungsi ABRI, aliansi mahasiswa dengan rakyat, penggantian Soeharto, penurunan harga dan kenaikan upah buruh, serta pembentukan koalisi demokratik kerakyatan, bisa menjadi program komite-komite aksi tersebut.
[7]

Instruksi tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan perjuangan dan program-program PRD meskipun secara organisasi PRD tidak bisa bergerak secara terbatas dan terbuka. Terbukti di kalangan mahasiswa pengaruh instruksi tersebut cukup kuat terutama bagi gerakan untuk menggulingkan Soeharto tahun 1998.
Sebelum Soeharto jatuh, substansi perjuangan kerakyatan sangat berpengaruh di berbagai kota. Setidaknya komite aksi dengan tersebar di berbagai kota dan daerah sampai Soeharto turun pada tanggal 21 Mei 1998.



***

Maka demikianlah, turun naiknya kesadaran itu berlangsung begitu panjang: dari berkesadaran maju, dipukul lalu menurun, ada kontradiksi dan pemicu maju lagi, dst.


Dan kita melihat setelah reformasi berjalan hampir satu dekade, kesadaran mahasiswa seakan menurun: disorientasi, demoralisasi, tercerai-berai, dan lain-lain sebagainya. Bahkan, mahasiswa dipandang buruk karena tingkah laku dan gaya hidupnya yang liberal, dianggap tak bermartabat. Tetapi apakah hanya karena itulah lantas kita apatis terhadap mahasiswa?


Saya percaya pada moral dan etika. Tetapi memandang gaya hidup dekaden mahasiswa di era neoliberal sekarang ini sebagai keadaan yang hadir begitu saja (tanpa sebab-sebab material) merupakan kebodohan. Saya mungkin menjadi mahasiswa pada suatu masa di mana kebudayaan yang berkembang tidak seburuk sekarang dalam memundurkan dan mendegenerasikan pola pikir dan tindakan kaum muda. Saya pernah bangga menjadi aktivis mahasiswa di era pasca-1998, dan pernah bangga dengan heroisme perlawanan kaum muda, dan sempat berbangga diri hanya karena pernah menjadi buron pemerintah karena ikut ‘aksi bakar-bakaran’ menjelang pemilu 2004—belakangan saya sadari bahwa itu hanyalah sejenis heroisme kacangan.


Tapi kesombongan dan heroisme memang sejenis ‘opium’ yang di satu sisi mirip penyakit yang menjangkiti gerakan mahasiswa-rakyat, tetapi kadang juga dibutuhkan untuk menyemangati para “rebellious spirit” di kalangan kaum muda. Dan, sayang sekali, kini semuanya hilang. Heroisme yang dulu menjangkiti mahasiswa, yang memang dibutuhkan untuk mengestetisasi sejarah perlawanan, kini musnah.
Romantisme memang ada, tetapi yang diadopsi kalangan mahasiswa saat ini adalah romantisme kacangan. Romantisme yang ditiupkan oleh nafas modal, dan dihirup oleh anak-anak yang seharusnya belajar berhitung atau menyapa realitas dunianya sehingga mengetahui apa yang terjadi dan tidak terasing dari dunianya. Sebab manusia yang terasing dari dunianya adalah sejenis manusia yang tidak memahami arti hidup. Dan, meskipun mengaku memahami keindahan dan romantisme, mereka sama sekali tidak menjuampai keindahan. Karena—sebagaimana dikatakan Chernysevsky—keindahan sejati adalah kehidupan: “Tidak ada yang lebih indah dari pada kehidupan itu sendiri”. Keindahan kehidupan tak dapat direduksi dengan lukisan, puisi, atau khayalan. Kontradiksi dalam kehidupan material adalah keburukan, jeleknya kenyataan, yang juga membuat berpikir timpang. Kenyataan harus diselami sebab—tidak seperti yang dilantunkan oleh lagu-lagu kacangan—hidup bukanlah sandiwara. Para penindas tidaklah bersandiwara atau berpura-pura, orang yang terindas juga serius dalam merasakan pedihnya kesengsaraan dalam hidup. Mungkin mereka yang tertindas hanya tertawa menghibur diri atau lari ke kekosongan reliji, tapi ada sebagian yang tetap tak bisa menyembunyikan perasaannya yang marah akibat penindasan itu.


Dan kehidupan sejati, realitas, kenyataan, tidak pernah dapat dipahami karena mahasiswa sekarang tak lagi belajar, membaca, dan aksi atau mengintegrasikan diri dengan realitas. Mereka memenjarakan diri ke menara gading: kekuasaan yang berdiri di atas penindasan terhadap rakyat, ditopang oleh suatu desain budaya di mana kaum muda diciptakan hanya untuk membeli dan mengkonsumsi atau bergaya seperti kaum borjuis yang tidak pernah melakukan apa-apa demi kemanusiaan, menindas dan menutup-nutupi keburukannya dengan kedermawanan semu dan ritualitas gaya hidup yang mampu melenakan kaum muda untuk berpikir tentang kenyataan sebenarnya. Hedonisme, paham mengejar kesenangan hidup pada saat kontradiksi menganga bagai luka dalam tubuh kehidupan. Hedonisme menutup mata hati dan pikiran mereka akan ‘kasunyatan’. Selama ini mahasiswa hanya dijauhkan dari kenyataan bagaimana rakyat menderita, dikurung dalam kampus, diracuni dengan kesenangan semu. Yang dilihat hanyalah kesenangan dan kepuasan diri. Pada hal, sebagaimana ditegaskan Pramoedya Ananta Toer yang berkata melalui mulut Nyai Ontosoroh dalam novel ‘Bumi Manusia” (hal. 120): "Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya, tapi tentang surga, dan jelas tidak terjadi di atas bumi kita ini”.


Sekarang kita telah kehilangan parameter kemanusiaan. Apa yang disebut sebagai mahasiswa adalah mereka yang belajar di kampus, tapi dusta-dusta sejarahnya sebagai bagian dari kehidupan sangat jelas di depan mata. Kekuatan pembebasan telah hilang, bahkan sedikit sekali, tercerai-berai dan terhalang dengan tembok kekuasaan modal yang dapat beranak-pinak menjadi kebudayaan yang memang menghalangi mahasiswa menuju hakekat sejatinya dalam sejarah: kaum intelektual, agregat perubahan, maupun agen of social control—atau lebih maju lagi menjadi kekuatan revolusioner dalam mosi historis sejarah dalam pertentangan kelas antara kaum tertindas dan penindas.


Bermacam-macam yang dapat kita jumpai dan rata-rata tak jelas jluntrungannya dari aktivitas mahasiswa sekarang ini. Mereka memang rajin datang ke kampus, tandatangan absensi, mendengarkan kuliah, kebanyakan hanya mendengarkan tanpa pertanyaan atau memberikan argumen segar. Lalu mereka berkumpul di kantin atau di tempat-tempat duduk yang indah di kampus... Apa yang mereka bicarakan? Merk produk terbarukah? Tukar pengalaman “dugem-dugeman” atau teman kencan (“pacar”) kah? Adakah banyak waktu yang digunakan untuk membaca, berdiskusi, rapat untuk menyusun aksi penyadaran dan tuntutan mendesak dan strategis untuk melawan ketidakadilan dalam kehidupannya?
Barangkali kita sudah tahu sama tahu (“te-es-te”) bagaimana wajah kampus kita dan apa aktivitas mahasiswa sekarang. Bahkan menjalani aktivitas akademis secara konsisten saja tak pecus. Pikiran mereka belepotan, kemalasan meraja, dan hidupnya dipenuhi absurditas. Tanpa penjelasan. Terombang-ambing oleh prasangka-prasangka kekanak-kanakan yang (sengaja) dibikin oleh kekuatan modal.
Dan Soe Hok Gie pernah mencatat: “Saya membayangkan seorang mahasiswa antropologi, yang berusia sembilan belas tahun datang dengan cita-cita untuk membuat field work di pedalaman Kalimantan atau Irian Barat. Atau seorang mahasiswa jurusan kimia yang berfikir untuk menemukan sejenis cairan baru yang dapat melambungkan manusia ke bulan. Atau seorang mahasiswa hukum dengan ide-ide yang sarat dengan rule of law. Tidak ada yang lebih kejam dari pada mematahkan tunas-tunas semangat kemerdekaan berfikir dan berkreatifitas. Dalam waktu beberapa tahun, pemuda berumur sembilan belas tahun ini mengetahui tak mungkin ada ‘field work’ ke Irian Barat atau pedalaman Kalimantan. Ia harus puas dengan skripsi tentang masyarakat tukang buah-buahan di Pasar minggu. Dan alumnus Kimia benar-benar menyadari yang ada untuknya hanyalah kerja di pabrik sabun atau mentega. Pelan-pelan ia harus melupakan idealismenya tentang cairan yang dapat melontarkan manusia ke bulan. Lalu, si mahasiswa fakultas hukum mengetahui, bahwa di atas hukum terdapat hukum yang tidak tertulis. Tentara, polisi, jaksa dan garong-garong yang punya koneksi”.


Maka demikianlah, yang ingin dikatakan Gie adalah bahwa, ia hanya membayangkan keberadaan mahasiswa yang ideal. Tetapi dalam kenyataan Gie hanya melihat pragmatisme dan oportunisme, juga hedonisme. Watak yang menonjol itu bukannya tanpa sebab, tetapi karena kekuasaan yang dijaga oleh aparat. Pragmatisme bersifat sistemik dan merupakan bagian dari kerja kapitalisme neoliberal yang membuat mahasiswa menjadi pragmatis. Jadi, saya adalah agregat kecil dari kehidupan (bagian dari alam maha luas) yang masih percaya bahwa mahasiswa Indonesia masih punya potensi untuk bangkit. Ingat bahwa sejarah berjalan secara dialektis. Kontradiksi yang terjadi itu sendiri pada dasarnya adalah landasan dari perubahan.


Jadi kemunduran kesadaran mahasiswa—yang tercermin dari gaya hidup mahasiswa, watak, dan tindakannya—sekarang ini adalah bagian dari epos sejarah yang tetap akan bisa berubah. Serangan ideologi neoliberalisme memang semakin masif, tetapi pada saat yang sama krisis yang ditimbulkannya cukup parah. Pada saat mahasiswa terkurung dalam budaya bisu, sekarang ini rakyat justru melawan di mana-mana dengan berbagai macam tindakan dan perspektif atau ekspresinya. Buruh, tani, kaum miskin perkotaan lebih radikal dalam tindakannya.


Seiring dengan epos krisis kapitalisme yang terus berjalan, dan kesadaran berlawan juga pasti akan menular meluaskan perlawanan di sektor rakyat, mahasiswa masih punya potensi untuk bangkit. Kita akan melihat peran mereka yang sesuai dengan sejarahnya. Kita akan mendengar mereka berkata dan membatin, sebagaimana dipikirkan oleh Minke dalam novel “Bumi Manusia” karya Pram (hal. 135): “Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya”. Masih ada potensi bagi mahasiswa untuk menjalani kuliah bukan demi tujuan yang remeh-temeh, tetapi demi persoalan kemanusiaan (yang ingin dipecahkannya). Sekarang memang masih ada, meskipun kecil. Tetapi saya yakin, juga akan semakin bertambah kelak.



***

Ide penulisan dan penyusunan kata-kata yang kemudian menjadi buku ini murni datang dari diri saya sendiri karena awalnya hanya berupa catatan-catatan sentimentil yang saya lakukan sejak saya menjadi mahasiswa di sebuah kampus negeri di Jember (Jawa Timur), kampus kecil yang dibilang tidak cukup terkenal tetapi sempat mewarnai gerakan mahasiswa di era pasca-reformasi.


Tak mengherankan jika ucapan terimakasih yang terutama saya ucapkan pada kawan-kawan Jember yang bersama penulis, mulai tahun 2002 hingga tahun 2005, sempat meradikalisir gerakan mahasiswa. Kita rasakan bagaimana sulitnya mengorganisir gerakan, juga (harus jujur) termasuk mengorganisir diri-sendiri di tengah godaan-godaan pragmatisme dan oportunisme di tengah masyarakat kapitalis—yang membuat kita bersitegang karena terjadi pertarungan antara keinginan kita untuk melihat rakyat melawan di mana-mana dengan keinginan kita untuk mewujudkan obsesi-obsesi individu (yang saya kira berkaitan dengan dorongan alamiah dalam tubuh kita).


Tidak sedikit kawan-kawan itu yang mengorbankan banyak hal, tuntutan (dan bahkan tekanan orangtua), pacar/istri, birokrasi kampus, hanya untuk melawan budaya bisu (“anti-perlawanan”). Dan untuk menghormati merekalah, tesis yang saya angkat dalam buku ini adalah pentingnya meletakkan kepedulian universal—Cinta universal ala Gibranian, Marxian, dan bukan cinta di kalangan mahasiswa yang hanya berujung pada aktivitas kehidupan yang biasa (kuliah, bersenang-senang, kerja [atau terpaksa menganggur karena keadaan], beranak-pinak atau bersenang-senang dengan kelamin, lalu kehidupan sudah habis di situ tanpa warisan apa-apa pada sejarah)!


Mereka yang menghiasi jiwanya dengan keberanian, dan kadang masuk terlalu jauh dalam menghadapi resiko terhadap nasib eksistensi individual, adalah agregat-agregat sejarah. Mungkin kalian banyak dicemooh dan dianggap tak berguna oleh mereka yang memandang segala sesuatu secara biasa dan temeh. Tapi aku yakin, sejarah memberi hormat pada kalian, sejarah adalah realitas kehidupan yang diam dalam bahasanya sendiri menunggu perubahan yang didorong oleh bagian-bagian darinya—kitalah bagian yang penting itu karena kita berpikir dan bertindak berani, berbeda, dan tidak mengikuti kesepakatan kumpulan binatang gembala yang kemudikan oleh kepentingan kapitalis yang menguasai cambuk dan tongkat untuk menghela kambing-kambing yang bodoh itu. Kepada Ahmad Zaennurrofik, Fajar Dwinanto Harimurti, Heppy Nurwidyamoko, Abdul Basid, Amik Pasaribu, Wawan, dll—kalian pernah mengecat tembok sejarah, memulai pada epos itu!


Ucapan terimakasih juga seharusnya saya haturkan pada beberapa kawan di Yayasan Komunitas Teman Katakata (KOTEKA) yang sekaligus penulis-penulis muda berbakat (Eri Irawan, Maya Siandhira, Deny Ardyansah, Agustinus Suprapto, Timo Teweng, Beta Candra Wisdata, Berti); sepasang intelektual muda Lukman Hakim dan Mbak Indah di The Academos Society (TAS) Pasca-sarjana UNEJ; Edy Firmansyah dan Pram Kecil di Sanggar Bermain Kata (Madura); Mbak Ajeng YAPPIKA Jakarta yang membantu proses pengeprinan naskah; Mas Abubakar Ebi Hara, Phd, Mr. Sugiyanto, Pak Supriyadi, dan akademisi yang berpikiran ilmiah dan maju lainnya di almamater penulis. Kawan-kawan di garis rakyat memberikan banyak warna dan ruang dalam penyelesaian karya ini; kawan-kawan di JAMAN (Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional), ada Iwan Dwi Laksono, Gigih Guntoro, Paul, Kaka, Dedi, dll; Seluruh elemen gerakan mahasiswa yang ada (HMI, IMM, PMII, GMNI, GMNI KS, FMN, HIKMAHBUDI, PMKRI, HMI-MPO, KAMMI, IPPNU, IPNU, SMI, BM PAN, JMD, KMHDI, KIPAS, SRMK, STN, dll); kawan-kawan jurnalis muda di Tegalboto, Ecspose, dll.


Yang tak terlupakan, ucapan terimakasih juga saya haturkan pada Mbak Tie, Ibu Siti Fatonah dan keluarga (Nabila, Rizal Fikri, Etika, Deni, Amin Tohari, Mariam, Masroji, dll)—kalianlah yang banyak memberikan doa dan dukungan atas semua kegitanku; juga calon anak-anakku kelak (Tinta Realista Chavista, Hugo Karna Pramodya, dll); juga “keluarga di Jember” (Ibunda Denok dan Bapak Milko dan Adik Adin/Zinedin Stinjte Harimurti)—mereka semua secara langsung atau tidak (secara psiko-spiritual) terlibat dalam proses menyelesaikan naskah ini. Juga Bung Daniel Hikmahbudi dan Mas Angga (Erlangga Pribadi) yang memberikan pengantar dan sekaligus mengapresiasi karya dalam buku ini. Yang paling pivotal adalah penerbit Arruzzwacana (Mas Masrur) Yogyakarta yang bersedia mengambil keberanian untuk menerbitkan karya ini.


Akhir kata, tiada gading yang tak retak, kesempurnaan bukan milik manusia dan proses pembuatan karya ini. Masih ada celah-celah dan kekurangan baik secara substansi maupun teknis di dalamnya. Selayaknyalah penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya.



Jakarta-Jember, Oktober 2007


Nurani Soyomukti






[1] Max Lane. Bangsa Yang Belum Selsai: Indonesia Sebelum dan Sesudah Soeharto. Jakarta: Reform Institute, 2007
[2] Prisma, 20 Maret 1973, hal. 32
[3] Lihat Arbi Sanit, “Gerakan Mahasiswa 1970-1973: Pecahnya Bulan Madu Politik”, dalam Muridan S. Widjojo (ed.), Penakhluk Rezim Orde Baru: Gerakan Mahasiswa ’98. Jakarta: Sinar Harapan, 1999, hal. 46
[4] Tuntutan agar Soeharto mundur dijawab dengan tindakan militer menduduki kampus-kampus ITB dan UI, selain para pimpinan mahasiswa ditangkap dan kemudian diadili. Lebih jauh lagi, pemerintah juga membekukan DM (Dewan Mahasiswa)/SM (Senat Mahasiswa) se-Indonesia. Sejumlah surat kabar dibreidel, dan setelahnya keluarlah kebijakan NKK/BKK. Ada resistensi terhadap kebijakan ini, misalnya para aktivis mahasiswa ITB yang sempat berusaha mempertahankan DM lewat pelaksanaan pemilihan ketua DM secara langsung pada tahun 1981, tetapi akibatnya mereka menerima tindakan pemecatan dari pihak rektorat. Lihat Suryadi A. Radjab, “Budaya Tandingan Gerakan 5 Agustus”, prolog buku Enin Supriyanto. Menolak Tunduk: Menentang Budaya Represif. Jakarta: Grasindo, 1999, hal. ix-xxviii
[5] Lihat ibid.
[6] “Mereka Bicara Tentang PRD”, dalam Mingguan Sinar, 10 Agustus 1996
[7] FX Rudi Gunawan, Budiman Sudjatmiko Menolak Tunduk. Jakarta: Grasindo, 1999

Tidak ada komentar: