Sabtu, 27 Desember 2008

METODE PENDIDIKAN MARXIS-SOSIALIS:

Menggugat Bangunan
Pendidikan Kapitalis


"Jangan Tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya, yang sama sekali tidak mengenal prinsip. Apalagi kalau guru itu sudah bandit pula pada dasarnya.”
—Pramoedya Anantra Toer, Novel ”JEJAK LANGKAH”, hal. 291—


Setelah buku berjudul ”Pendidikan Berperspektif Globalisasi” (Arruzzmedia Yogyakarta—Januari 2008), buku ini merupakan tindak lanjut dari risalah yang saya tulis tentang pendidikan. Ada asumsi ideologis yang berkembang dalam dunia pendidikan kita, ide-ide dan paham lama yang mengendalikan dibuatnya kebijakan dan proses pendidikan. Intervensi ideologi kapitalis dalam dunia pendidikan, misalnya, dapat kita lihat lewat kurikulum.

Kurikulum, misalnya, adalah salah satu media yang sangat penting untuk mereproduksi cara pandang yang sesuai dengan kapitalisme. Semua sekolah kapitalis memiliki “kurikulum tersembunyi” (hidden curriculum) untuk tujuan memaksakan ideologi kapitalis masuk kelas—sebagaimana dikatakan Henry Giroux:

Kurikulum tersembunyi di sekolah merujuk pada norma-norma, nilai-nilai, dan sikap di bawah sadar yang seringkali ditransmisikan secara halus lewat relasi-relasi social di sekolah dan kelas. Dengan menekankan pada aturan konformitas, pasifitas,dan ketertundukan, hidden curriculum mnjadi salah satu media sosialisasi yang kuat yang dapat berguna untuk memproduksi model-model pribadi yang siap menerima hubungan social dan sruktur kekuasaan yang sedang bekerja”.
[1]

Sungguh tak dapat kita sangkal betapa pentingnya kurukulum. Kurikulum adalah yang menentukan pelajaran apa yang harus diberikan pada murid dan apa yang harus diajarkan guru. Hal itu juga akan menentukan apa yang dimasukkan pada pikiran anak didik dan guru, akhirnya juga pengetahuan apa dan macam apa (dimana keberpihakannya) yang harus diajarkan di sekolah. Menurut Paulo Freire dalam bukunya “Education for Critical Consciousness”,
[2] kurikulum dalam pengertian modern dipahami sebagai himpunan pengalaman peserta didik yang menjadi objek pembahasan dan praktek belajar mengajar. Subjek materi dan proses belajar mengajar dalam kurikulum seharusnya bersumber dari dari realitas konkrit keseharian peserta didik sendiri.

Kurikulum yang baik adalah yang berpusat pada “problematisasi” situasi konkrit. Peserta didik bersama para pendidiknya memaknai berbagai macam persoalan seputar pengalaman hidupnya dan berusaha memecahkan persoalan yang dihadapinya. Sebagai mediator pendidik seharusnya berfungsi meyakinkan akan realitas yang diketahui oleh peserta didiknya, lantas secara bersama menganalisisnya sehingga peserta didik mampu membangun pengetahuannya seiri secara kritis dan berakar dari pengalaman konkrit.

Sayangnya hal itu tak
terjadi, dan kurikulum semacam iti benar-benar dijauhi oleh penidikan kapitalis. Pada hal kita tahu dari Freire kita mengetahui bahwa yang terjadi dalam masyarakat kapitalis sekarang adalah bahwa kurikulum yang ada “terputus dari kehidupan, berpusat pada kata-kata yang mewakili realitas yang ingin disampaikan, miskin aktivitas konkrit, tidak pernah mengembangkan kesadaran kritis”.[3]

Bahkan kalau mau kita analisa secara jauh memakai pendekatan kelas Marxian, kurikulum kapitalis secara jelas berspektif kelas. Lebih dari tidak berdasarkan pengalaman konkrit peserta didik, kurikulum dalam sekolah kapitalis telah membaca cara pandang dan cara berpikir berdasarkan kelas penguasa. Para peserta didik, yang berlatarbelakang macam, dipaksa untuk berpikiran satu dimensi atau bahkan dipaksa menjadi kelas kapitalis.

Tak terbantahkan lagi bahwa remaja-remaja kita yang belajar ilmu ekonomi, dipaksa seolah ia seorang kapitalis (pemilik modal). Saya selalu bercerita tentang pengalaman saya waktu menempuh pelajaran “Ekonomi Kperasi” yang saya dapatkan sejak sekolah di SMP (Sekolah Menengah Pertama). Waktu itu, sebagaimana metode pelajaran mengkondisikan kita untuk menghafal dan bukan untuk mengerti da memahami, maka sebelum ujian harian (“ulangan”—begitu kami dulu menyebutnya) saya harus menghafal doktrin-doktrin ekonomi kapitalis. Saya mendapatkan nilai muthlak (100) dalam suatu “ulangan” yang yang salah satu soalnya adalah “Bagaimanakah prinsip ekonomi?”. Saya harus menjawab, yang sebelumnya harus saya hafalkan berulang-ulangkali mirip merapal mantra: “Dengan modal sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya”.

Saya tak tahu apakah soal ujian seperti itu masih diajarkan di sekolah-sekolah kita. Tapi kalau menengok semakin nyatanya doktrin kapitalisme dalam praktek-praktek yang dijalankan oleh pemimpin kita, saya merasa apa yang saya hafal sekitar 15 tahun yang lalu lebih menyebar di otak anak-anak kita.

Pandangan seperti itu tentunya adalah doktrin yang kuat. Bayangkan, seperti saya, tiap anak-harus hafal rumus ekonomi capitalis. Suatu prinsip yang digunakan untuk berhubungan dengan orang lain, ketika anak-anak besar dan dewasa, bahkan ketika banyak anak-anak itu yang kini memegang kebijakan penting Negara/pemerintahan. Buktinya memang para pengambil kebijakan itu benar-benar mempraktekkan prinsip ekonomi yang diajarkan ketika mereka mulai sekolah—belum lagi kotbah-kotbah di luar sekolah. Para pngambil kebijakan etu benar-benar mengutamakan prinsip untuk “mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal sekecil-kecilnya”.

Apalagi kalau modal yang mereka keluarkan untuk menjadi pejabat sangat besar, tentu akan semakin besar pula keuntungan yang ingin didapatkan. Sekarang, untuk menjadi pejabat tingkat rendah (PNS), lulusan perguruan tinggi harus mengeluarkan uang rata-rata 150 juta. Itu dianggap mereka sebagai modal. Yang tentunya diharapkan akan kembali saat menjabat. Dengan berbagai tindakan koruptif dan kolutif, mereka akan mengembalikan modalnya—tu target minimal. Tetapi tentu saja, rata-rata orang akan beharap akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Itu sudah cukup menjelaskan kenapa pendidikan kapitalistik akan menghasilkan produk-produk sekolah yang korup. Bukankah watak korup memang tak mungkin terjadi dengan sendirinya?

Korupsi tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi merupakan warisan sejarah masyarakat Indonesia. Kolonialisme yang berkelindan dengan penguasa feudal pribumi mewariskan banyak kerusakan, salah satunya mentalitas korup di birokrasi. Feudalisme dan sistem upeti diperkuat oleh masuknya admisnistrasi Belanda yang menyeruak dalam seluruh kehidupan sosial dan politik. Korupsi bisa dianggap nama lain dari upeti, di jaman Orde Baru hingga sekarang namanya diperhalus menjadi hibah. Tentang budaya yang merusak ini tak pernah ada penilaian dan jalan keluar yang serius dari para elit hingga sekarang ini.

Korupsi adalah kelanjutan sejarah kaum priyayi yang harus terus menyogok atasannya dan menginjak lapisan bawahnya, menjilat, demi mengamankan posisi dan kemakmurannya, seperti Sastrokassier menyogok Asisten Residen dengan menjual Sanikem (yang kemudian dikenal dengan Nyai Ontosoroh), anaknya sendiri—dalam Novel “Bumi Manusia” karya Pramodya Ananta Toer. Lebih dari soal mentalitas, korupsi berkaitan dengan rendahnya produktivitas bangsa. Korupsi adalah tentang pemimpin, birokrasi, dan rakyat yang (tidak difasilitasi) kapasitasnya untuk semakin produktif, yang nihil semangat untuk menghargai kerja, yang minim etos kerja.

Itu soal bagaimana mntal pejabat yang dibentu oleh pendidkan. Belum lagi soal cara pandang kelas (kapitalis) yang secara riil dipaksakan dalam detail-detail praktek pendidikan kita. Tesis cara pandang kelas itu akan lebih nyata lagi saat menjadi mahasiswa ilmu ekonomi (administrasi, manajemen, dan akuntansi, dll). Materi-materi yang diajarkan dari buku-buku dan dari kotbah dosen adalah cara berpikir kapitalis. Teorinya adalah teori memacu produktifitas (membuat produk) agar laku dijual dan banyak mendatangkan keuntungan. Manajemen pemasarannya adalah manajemen supaya produk laku dan mncari pasar secara kreatif. Bukankah itu semua adalah tindakan-tindakan yang bertujuan membantu kapitalis untung?

Bahkan saat menuliskan skripsi sebagai tugas akhirpun, juga kembali pada bagaimana supaya mendapatkan keuntungan, misalnya bagaiman agar etos kerja bawahan (buruh atau manajer di bawah kapitalis/pemilik modal) punya etos kerja yang produktif, karena keuntungan akan semakin besar jika banyak produk yang dihasilkan buruh si kapitalis. Dengan meminjam ilmu-ilmu psikologi, mahasiswa manajemen juga dipaksa menuliskan skripsi bagaimana mempengaruhi remaja agar membeli dan membeli.

Yang aneh di sini adalah, mahasiswa itu belum tentu anak kapitalis. Kebanyakan dari mereka adalah anak pegawai atau pejabat rendahan. Bahkan tidak jarang yang anak petani. Lalu mengapa mereka dipaksa berlaku seakan mereka adalah kapitalis yang tujuan hidupnya, atau yang kuliah-kuliahnya memaksa mereka jadi kapitalis? Tentulah tak terbantahkan bahwa kapitalisme kejam. Yang tidak seharusnya terjadi tetap dipaksakan!

Maka itulah yang dimaksud Karl Marx dengan dominasi ideologi kelas. Kelas penguasa akan berusaha memaksakan cara pandangnya pada semua anggota masyarakat, terutama agar cara pandangnya diterima kelas yang berbeda. Tentu tujuannya sudah jelas: agar sistem yang dijalankannya bertahan kokoh. Agar ia tetap menjadi penguasa yang hidupnya enak sendiri, dengan mengorbakan mayoritas massa rakyat yang sengsara dan menderita.

Ilmu ekonomi kapitalis dan seluruh kurikulum pendidikan telah menjadi bagian dari operasi kapitalisme itu. Operasi ekonomis konkritnya adalah doktrin bahwa membuat produk (produksi) dilakukan untuk mencari keuntungan; bukan produksi untuk dipakai secara bersama (seperti dalam sistem sosialisme). Ajaran mencari keuntungan diajarkan pada tiap-tiap individu, agar menjadi tujuan hidup individu, untuk merongrong kepercayaan bahwa antara manusia satu dan manusia lainnya mampu bekerjasama.***
Catatan Kaki:
[1] Henry Giroux. Pedagogy and the Politics of Hope: Theory, Culture, and Schooling. Boulder, Colo: Westview Press, 1997, hal. 198
[2] Paulo Freire. Education for Critical Consciousness. London: Sheed and Ward, 1979, hal. 28
[3] Ibid., hal. 37
===========================

Senin, 17 November 2008

TENTANG BUKU "INTIMACY":

-------------------------------
Bermula dari kenyataan yang saya jumpai dalam kehidupan sehari-hari, berawal dari melihat dan memahami hubungan antara sesama manusia di sekitar saya. Juga bermula dari pengalaman-pengalaman saya sendiri dalam mengendalikan dan memahami potensi keintiman yang saya miliki, juga orang-orang di sekitar saya yang saya lihat.

Pertama, saya merasa bahwa potensi keintiman saya belum dapat ter-realisasikan, terut
ama hal itu saya sadari saat saya telah gagal membangun hubungan bersama seseorang yang sebenarnya—jujur!—sangat saya cintai. Tetapi hubungan yang gagal adalah hubungan yang aneh, karena keintiman dan keterpisahan dalam hubungan—dengan berbagai manifestasinya (seperti kemesraan saat menyatukan tubuh hingga pertengkaran yang juga tak kalah hebatnya terjadi)—selalu bertarung dalam diri saya dan (mantan) ’kekasih’ (’pacar’) saya. Tetapi saya harus menganalisanya secara detail: ada variabel independen dalam potensi pskikologis antara kami berdua yang masing-masing dibentuk oleh pengalaman hidup sejak kecil... terutama dari pihak saya sendiri yang mengalami banyak pengalaman psikis yang traumatis akibat keluarga (orangtua) yang berantakan (broken home)—alhamdulillah, sekarang sudah tertata kembali justru saat saya mulai dewasa dan konon kabarnya sudah waktunya menjadi orangtua. Hubungan saya yang ’berantakan’ dengan pacar saya yang berujung pada perpisahan tersebut membuat saya memikirkan suatu gejala tentang keintiman dalam hubungan. Itulah faktor pertama yang menggerakkan tangan saya untuk menulis karya ini.

Kedua, sebagaimana saya alami sejak kecil dalam sebuah keluarga yang ’broken’, juga masih banyak hubungan di sekitar saya (dan keluarga saya) yang juga ’broken’, bahkan ’broking degree’-nya melampaui batas normal. Mereka adalah tetangga saya yang saya lihat dengan mata kepala sendiri, sebagian juga masih saudara-saudara saya. Sebagian lagi juga kisah ’broken relation’ yang saya dengar dari kawan-kawan saya selama saya mengembara mengelilingi pulau Jawa—dalam kapasitas saya sebagai pekerja sosial, penulis dan peneliti lepas yang suka melihat-lihat keadaan kehidupan di luar sana. KEINTIMAN telah hilang dari mereka: anak-anak yang tak lagi dielus-elus orang dewasa, terutama Ibu dan bapaknya; gaya pacaran yang dipenuhi kekerasan; hingga relasi makro-sosial dalam masyarakat kita yang kian centang-perenang sebagaimana konflik dan gejolak semakin meluas gara-gara krisis ekonomi, krisis kebudayaan, dan krisis kepercayaan.

Saya terdorong untuk selalu bertanya: bagaimana menjalin ikatan yang harmonis itu? Tentunya, dengan bantuan para psikolog ternama dalam sejarah (Freud, Fromm, dll), saya merasa menemukan apa yang menjadi faktor pengikat hubungan manusia. Keintiman antara sesama adalah hakekat peradaban yang sejati dan maju. Sejarah yang menyangkal keintiman dan
hasrat penyatuan manusia pada dunianya (alam dan sesamanya) adalah sejarah kehidupan yang buruk! Karena inilah saya mengembangkan pemikiran psikologis mendalam (psikoanalisis yang ditemukan Freud dan dikembangkan dan dievaluasi oleh berbagai pemikir berikutnya) untuk melihat potensi keintiman dan bagaimana kita bisa mengembangkan potensi keintiman dengan orang-orang dekat kita—orang-orang yang kita cintai, tentunya!

Ketiga, saya mengikuti berita tentang bagaimana keintiman sebagai potensi kemanusiaan tercederai oleh tindakan destruktif berupa pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Ryan. Tragedi pembunuhan berantai di Jombang Jawa Timur dengan terdakwa Ryan merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang mengenaskan. Pembunuhan dengan motif penyimpangan seksualitas dan secara psikologis dikendalikan oleh penyakit kejiwaan itu patut mendapatkan perhatian kita semua.

Tentunya peristiwa kekerasan berupa pembunuhan itu harus kita sikapi secara arif dan bijaksana. Lebih jauh yang patut kita renungkan adalah sebuah pertanyaan mengapa kondisi kejiwaan seperti dialami Ryan muncul. Tidak mungkin segala sesuatu terjadi tanpa sebab-sebab yang jelas. Sebuah kondisi kejiwaan pasti diakibatkan oleh pengalaman kehidupan yang dibentuknya sejak kecil. Artinya, mental, watak, dan situasi kejiwaan individu dibentuk dari lingkungan tempat ia tinggal.

Tentu kita akan menuduh keluarga sebagai penyebab dari cacatnya pertumbuhan sang anak. Ryan sebagai seorang anak dari keluarganya memiliki kejiwaan yang secara tidak disadari membahayakan orang-orang dekatnya. Tetapi menyalahkan keluarga saja tidak cukup karena keluarga bukanlah lembaga yang independen dari hubungan-hubungan ekonomi-sosial dalam masyarakat yang lebih luas.


Kasus Ryan harus kita kembalikan pada analisa psikologi mendalam (psikoanalisis), kemudian kita kaitkan dengan bagaimana basis material sejarah (situasi sosial) membentuk perkembangan individu-individu dalam masyarakat kita. Ajaran psikologi sosial menghendaki adanya terapi individu dalam kaitannya dengan kondisi yang membentuk pengalaman-pengalaman indindividu yang ada.

Penyimpangan psikologis dalam tiap-tiap anggota masyarakat selalu berkaitan dengan situasi material masyarakat yang juga tak sehat. Erich Fromm, dalam bukunya “Masyarakat Yang Sehat” (1995) menunjukkan bahwa penyimpangan psikologis dan ketimpangan pemanknaan hidup orang sangat berkaitan dengan perkembangan masyarakat kapitalis mutakhir yang semakin menunjukkan wajah ganasnya. Meskipun studi Erich Fromm dilakukan di Negara Barat yang maju (Amerika Serikat/AS), tentu kita dapat menarik kesimpulan yang sama untuk melihat berbagai macam perkembangan masyarakat di dunia Ketiga seperti Indonesia.

Data membuktikan bahwa frustasi merupakan gejala yang meningkat pada saat kapitalisme dengan penindasannya juga merajalela. Pada tahun 2010, sebagaimana ditulis Strategic Plan for Health Development, rasio gangguan kesehatan mental dalam jumlah penduduk nasional diperkirakan 140:1000 bagi orang yang berumur lebih dari 15 tahun. Artinya, dalam setiap 1000 penduduk Indonesia, terdapat 140 orang yang mentalnya tidak sehat. Jumlah ini jauh lebih besar dari pada rasio penyakit fisik, seperti diabetes (16:1000), penyakit kardiak pulmonaris (4,8:1000) atau stokes (5,2:1000). Bagaimanapun, menteri kesehatan memperkirakan bahwa pasien gangguan mental hanya berjumlah 1,5 persen yang saat ini dirawat di rumah-rumah sakit (Jakarta Post, Sabtu 22 Oktober 2005).

Jumlah masyarakat tidak sehat secara fisik seperti pertumbuhannya terganggu, cacat, menderita sakit, di Indonesia sangat besar. Setiap orang di Indonesia dihinggapi rasa takut kalau sewaktu-waktu menderita sakit. Hal ini dihadapkan pada fakta bahwa biaya kesehatan sangat tinggi. Kesehatan fisik masih sangat sulit diakses ketika harga-harga mahal akan membuat orangtua miskin mengurangi anggaran konsumsi nutrisi berkualitas (bergizi) bagi anak-anaknya. Sedang
kan kesehatan mental juga jelas-jelas tergantung pada kesehatan fisik. Pertumbuhan tubuh yang jelek akan menghasilkan kualitas pemikiran dan kreatifitas yang jelek. Adagium mensana in korporesano (dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat) masih tidak dapat terbantahkan.

Menurut saya kasus pembunuhan berantai itu adalah ‘Tragedi Eros’, suatu penyimpangan dari hakekat manusia yang selalu ingin intim dengan sesama. Peradaban tercederai dan instink penyatuan ditolak atau tertolak, inilah wajah peradaban kapitalis kita, hingga mereka yang ‘cintanya tertolak’ atau hasrat-nya dikecewakan—hasrat yang bersumber dari instink keintiman—merasa kecewa dan melakukan tindakan brutal: membunuh, melukai, menyakiti, dan berperilaku menyimpang.

Karena itulah saya berusaha menuliskan risalah tentang ‘KEINTIMAN’ (Intimacy) ini. Buku yang tipis, yang saya harap menyumbangkan gagasan bagi masalah hubungan yang sedang kita jalani, kita berdua, kita bersama orang lain, terutama orang-orang yang kita cintai.

Karya ini dapat terselaikan dengan berbagai macam upaya yang panjang dan lingkungan yang, bagaimanapun, tetap berpihak pada proses kreasi saya dalam melontarkan pandangan-pandangan, keresahan-keresahan, dan kadang juga lebih banyak sentimentalitas. Jadi, puji syukur pada Tuhan Yang Maha Esa, karena saya masih tidak dapat mengukur ruang dan waktu yang mewakili betapa kekuasaan-Nya begitu riil di jagat raya ini.

Kemudian, saya juga minta maaf pada berbagai pihak (entah individu, organisasi, atau sindikat) yang telah terepotkan karena saya meminjam buku-buku dan dokumen mereka; memanfaatkan fasilitas mereka (entah kamar untuk tidur atau makanan pokok ala kadarnya yang mengenyangkan); juga kadang memaksa mereka menghentikan aktifitas sejenak pada saat saya ganggu; di antaranya juga orang-orang yang merasa terganggu karena terlalu seringnya saya datang, atau kadang terpaksa melayani telfon atau sms saat saya ingin menanyakan literatur atau lupa pada nama pengarang judul buku, atau kadang juga berkaitan dengan upaya saya untuk menghilangkan kejenuhan karena terlalu asyik lama menulis. Pada seseorang yang sering mendengar kata-kata saya dari seberang lewat telfon “Kujemput Yuk, Temani Aku Ma’em”, ucapan maaf terbesar kuucapkan padanya.
Lantas, ucapan terimakasih juga saya haturkan atas bantuan dan sumbang-sih yang ka
dang merepotkan itu. Saya yakin kerja penulisan ini, dengan waktu yang relatif lama, akan memberikan masukan bagi wacana pendidikan dan ilmu sosial di sekitar kita.

Karya ini saya persembahkan untuk para guru yang dengan serius dan idealis mendidik para “anak-anak”-nya, yang masih percaya bahwa pendidikan bukan ajang untuk mencari kekayaan tetapi untuk suatu proses pencerahan, pembebasan, dan perubahan...
Karya ini juga saya persembahkan pada anak-anak yang menyukai belajar dan mencari tahu hal-hal baru, yang kadang dengan cara lucu mengernyitkan jidatnya yang masih mulus saat saya melontarkan pertanyaan atau pernyataan baru pada mereka. (Untuk Bambang, Ocid, Nabilla, Amel-Arab, Rizal, Ardi, Oliv, Devi, Imel, Habib, Prisma, Exsel, dll... secara khusus kaya ini saya persembahkan pada mereka—meskipun kadang mereka mengagetkan dan membuyarkan pikiran saat saya sendiri berada di labtop menuai kata-kata; meskipun mereka selalu mengajak ke pantai saat saya berada di kampung setelah berkeliling ke berbagai kota dan desa.

Karya ini juga saya haturkan pada para orangtua (ayah dan ibu) yang ingin melihat anak-anaknya tumbuh dan berkembang baik dengan pengetahuan, wawasan, ketrampilan, dan kekritisan. Termasuk Ibundaku, Endang Siti Fatonah, yang dalam bahasanya sendiri memberikan kasih sayang sejak kecil di tengah kesulitan keluarga, yang selama saya belajar di SMU dan Universitas juga tidak marah atas pemberontakan yang kelewatan saya di masyarakat, yang hanya mencibir saat saya dicari-cari aparat polisi setelah dinyatakan melanggar UU Subversif setelah membakar bendera partai politik yang hingga saat ini masih menjijikkan. Ibunda Fatonah jelas merupakan orang yang paling berjasa pada pertumbuhan saya bahkan setelah saya seharusnya sudah mandiri: menyediakan makanan-makanan bergizi (semacam nasi plus lauk pauk favorit seperti ikan panggang yang dimasak pedas atau telur ikan tuna bumbu pedas), yang tentu saja terlalu lumayan untuk mengganti energi yang saya keluarkan dala penulisan buku-buku, opini, esai, dan puisi-puisi saya di berbagai media. Selain Ibunda, ada Kakanda Erni Suparti yang hingga saat ini masih mendukung segalanya—dan belakangan menyuruh saya (dengan nada agak memaksa) untuk segera menikah pada saat saya sendiri masih merasa cukup muda untuk “membujang”.

Lalu ada Mas Roji, Amin Tohari-Mariam, Etika Erna Wati-S.Prianto, D.B. Andani,
Yu Roma-Mas Yat, Andi, Mbak Siti-Mas No, yang selalu mendoakan saya agar tetap bisa eksis di dunia. Juga saudaraku, Profesor Slamet Riyanto—Si Jenius berkacamata, sang introvert lulusan teknik Nuklir yang tak tertarik menggunakan keahliannya untuk ikut berperang di Taliban: Slamet inilah, sebagai kutu buku, yang banyak memberikan literatur-literatur berbahasa Inggris yang dikopi dari kampusnya (UGM) dan bahkan membantu menterjemahkan beberapa teks bahasa Inggris.

Saya juga patut mengucapkan terimakasih pada kawan-kawan sehati dan seperjuangan: Ahmad Zaenurrofik (serta Shopia) yang mulai menjadi penulis produktif—selamat atas Terbitnya buku ‘Cina’; Heppy Nur Widiamoko (serta Erna Ambarwati) yang mulai merasakan bagaimana asyiknya MENDIDIK anak kecil agar nanti benar-benar seperti Soekarno atau Sidarta. Juga pada kawan-kawan saya Ruudj, Nur Fitriana (Fifi), Dion, Mas Seno, Mbak Anis Megawati, Dr. Widodo, Firman dan Pram, Deny Ardiansyah, Beta Candra Wisdata, Asri Asih Lestari, Kurnia, Ugi, Zahroh, Sony-FLP, dll.

Selamat Membaca dan Berkontemplasi! Selamat mengarungi kata-kata yang saya torehkan untuk selanjutnya jadi bahan diskusi. Karena tentu masih ada kontradiksi dari materi katakata yang tertoreh dalam buku ini!

Nurani Soyomukti,
Sempu-Margomulyo,Awal Puasa/Awal September 2008
---------------------------------------

Senin, 10 November 2008

DESA-DESA YANG KULEWATI:


...

Desadesa yang kulewati menyimpan lukaluka
Ada lima desa dengan lima luka.

Luka pertama:
Tepat di danaunya ada nanah berlumpur
Dan kumankuman peradaban menikmatin malam tanpa bulan

Orang-orang yang dipinggirnya hanya duduk diam
Menahan marah pada kekuasaan.

Luka kedua:
Tepat di kawahnya ada genangan darah
Yang pernah muncrat
Sedikit yang selamat.

Luka ketiga:
Nanah bergetah tepat dilehernya
Pohon-pohon tumbang hilang kepalanya
Seorang laki-laki juga kehilangan kepalanya
Setelah ia lewat di suatu bulak pada suatu malam,
dengan tas berisi uang hasil curian.

Luka keempat:
Tepat di dadanya
Gunung-gunung kehilangan tumbuh-tumbuhan
Kulit-kulitnya sobek, dagingnya rontok menenggelamkan

Rumah-rumah yang di dalamnya penuh jelaga.

Luka kelima:
Desa itu tak kelihatan lukanya
karena air bah
entah kapan mengering.
Musim kemarau belum juga tiba.


*)Situbondo Januari 2008

BALADA HUJAN SORE

...
Hujan sore bukan karena kerinduan
Bukan karena sepi
Dulu hujan adalah titik air mata
Jatuh dari mega
Menusuknusuk bumi
Menghujam ulu hatiku,
Hujan airmata ibuku
Yang rindu anaknya berada di kejauhan

Ternyata Cuma hujan gerimis
Mataharipun menangis
Akankah dimenangkannya senjanya kembali?

Aku telah nyaman berada di sini bersamamu
Sebagai pengembara yang rindu air
Ingin kusentuh sisa-sisa embun yang menempel di keningmu
Merabaraba apa yang kau pikirkan pada setiap pergantian musim!

*[Trenggalek, 09 Oktober 2008]

MALAM MENGASAH PISAU

......
Malam mengasah pisau
Kurobek langit hatiku
Dewa cinta menyandra bumi
Gerimis menangis di musim yang belum jelas
Entah semi entah gugur
Kata kata puisiku

Kadang kucoba menduga apa yang kaupikirkan menjelang tidur
Siang
Malam
Bintang?
Ataukah kunangkunang?
Atau aku yang selalu setia menunggu waktu
Yang pada pagi tak pernah absen mengirimu puisi

Tapi malam mengasah pisau:
Pernahkah engkau bermimpi seorang lelaki
Sedang mengendapendap ingin merobek hatimu,
Setelah ia sangat lelah karena terlalu lama mengembara dalam mimpi?

*[jAKARTA, awal Oktober 2008]

Menulis buku Cinta:

Cinta = Hubungan Bertujuan

Oleh: Nurani Soyomukti

Lebih buruk lagi ketika kita melihat fakta bahwa kisah cinta dijalani dan dipilih hanya karena ikut-ikutan. Maka aturan dan cara menjalaninya juga ikut-ikutan. Pada hal seharusnya tindakan cinta itu memerlukan pemikiran dan pengetahuan yang mendalam. Karena cinta bukanlah suatu hal yang abstrak, maka harus dikenali bagaimanakah ukuranm-ukurannya dan prakteknya yang membuat ia menguatkan hubungan—hubungan yang
dibangun dengan baik, dan bukan diikuti secara mengalir begitu saja.

Jika ukurannya adalah aliran perasaan, tentu saja akan banyak godaan-godaan dalam membangun hubungan. Dalam hubungan cinta eksklusif seperti pacaran dan pernikahan, jika masing-masing pihak yang berhubungan menjalaninya secara mengalir, maka tak akan diketahui arah dan tujuan hubungan itu. Bahkan kenapa mereka berhubungan dan bersatu juga tidak diketahui.

Ketidaktahuan tentang cinta, hubungan, dan kekasih kita akan melahirkan alienasi (keterasingan). Kebodohan adalah musuh umat manusia sepanjang abad, tepatnya musuh diri yang paling hakiki sebagai manusia yang konon telah lepas dari status kebinatangannya. Binatang itu tidak punya akal, pengembaraannya diatur oleh nafsu. Hewan adalah budak keinginan yang caranya hidup juga hanya untuk memenuhi keinginan itu sebagai “tuan” yang membuatnya tidak berpikir dalam bergerak.

Singkatnya, hubungan cinta yang maju lahir dari orang-orang yang menyatukan diri dan diikat dengan tujuan. Tidak capaian yang bisa diperoleh dari jiwa orang yang hidupnya absurd dan tak tahu untuk apa tujuan hidupnya dan tujuan hubungannya, tujuan cintanya. Biasanya ia terombang-ambing oleh lingkungan dan berbagai serangan-serangan pemikiran dan cara pandang dari luar dirinya, tetapi tetap saja ia tak dapat menyerap berbagai hal yang datang untuk mengisi pikiran dan hatinya. Ia tak punya patokan, tak punya ukura yang digunakan untuk menilai diri dan lingkungannya. Lalu, iapun berkata: “Hidupku mengalir, aku tak perlu patokan-patokan, aku tak perlu
menetapkan nilai untuk segala sesuatu. Bahkan aku tak ingin menilai, pada karena aku tak mau menghakimi. Yang penting kepuasan kudapatkan dari semua ini”.

Tetapi tampaknya pengetahuan juga menjadi naluri yang umum di setiap manusia. Aktifitas cuek tanpa pengetahuan dalam suatu hubungan akan membahayakan dan tampaknya merupakan hal yang jarang terjadi. Untuk membangun hubungan dengan seseorang yang ingin kita cintai, misalnya, aktifitas memahami dan memaknai kehadiran seseorang itu sangatlah niscaya. Seorang yang kemudian menjadi kekasih atau teman intim kita tentu adalah orang yang istimewa bagi kita—kecuali, sekali lagi, orang baru itu adalah perempuan yang dijumpai laki-laki di rumah bordir. Orang yang istimewa bagi kita awalnya adalah orang yang pada ’pandangan pertama’ menarik hati kita, setelah dekat ia menimbulkan pertanyaan: ”Siapakah ia?” Kitapun penasaran ingin mengetahui tentangnya.

Saat ada kesempatan bahwa kita semakin dekat dengannya, kita semakin penasaran dan banyak bertanya dan mencari tahu tentang dirinya. Jika ia memiliki pengetahuan dan pengalaman atau kelebihan yang tidak kita punyai, kita beranggapan bahwa orang inilah yang dapat melengkapi kita. Kita ingin menyatu dengan orang ini agar diri kita seakan menjadi lengkap. Kita ingin menjalin hubungan yang lebih erat dengan orang ini, kita ingin terus bersama, kita membangun komitmen—dan kemudian, misalnya, mengikatnya dengan pernikahan.

Sebagai bentuk hubungan eksklusif (sempit) dibanding hubungan antara sesama manusia yang lebih luas (universal), pernikahan merupakan model hubungan di mana sepasang manusia diasumsikan ingin melembagakan suatu bangunan relasi yang didasarkan pada tujuan yang lebih bersifat serius dan jangka panjang. Jadi di sini Nurani menegaskan adalah tujuan adalah kata kunci dan dari tujuan itulah kita bisa mengukur secara dini bagaimana suatu hubungan maju atau tidak.

Jika tujuan pernikahan adalah remeh, maka kita harus mengutuknya, mencegahnya dan jangan menirunya jika kita masih percaya pada cinta dan keadilan. Tak jarang orang-orang oportunis mencari perlindungan dan mengharapankan pamrih dari pernikahan. Dalam buku ”Intimacy”, saya menunjukkan beberapa hal yang dapat saya deteksi dari orang-orang yang melakukan pernikahan sebagai kedok dan untuk alasan kepentingan sempit dan oportunis barangkali adalah sebagai berikut:
[1] pertama, untuk mendapatkan seks an sich. Yang masuk dalam kategori ini biasanya adalah orang yang hanya ingin segera bisa menikmati kenikmatan seksual dan tujuannya menikah hanyalah itu—biasanya yang lain-lainnya tak terlalu dipikirkan, tak dipersiapkan, dan dorongan yang mendesak dari melakukan pernikahan hanyalah seks; Ini biasanya berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Kedua, menikah untuk mendapatkan fasilitas material saja. Tak jarang orang (biasanya lebih banyak perempuan) yang (baik terpaksa atau tidak) menikah agar segera mendapatkan orang yang dapat menghidupinya pada saat ia memang hanya akan tergantung pada orang lain. Terutama bagi perempuan yang tak produktif (menghasilkan pendapatannya sendiri) atau tak kerja, kondisi ketergantungannya akan sangat parah. Bagi perempuan yang memperoleh pendapatan pun, yang sering disebut ”perempuan independen”, mereka juga mengharapkan mendapatkan suami yang lebih kaya. Seakan kebanyakan perempuan memang lebih bahagia apabila ia mendapatkan suami yang lebih dan sangat kaya—seakan sudah menjadi naluri perempuan (meskipun tesis ini masih bisa diperdebatkan, karena ta mungkin suatu mental tak disebabkan oleh kondisi dan situasi historis).

Ketiga, tujuannya menunjukkan dominasi hubungan. Kebanyakan adalah laki-lakilah yang mengangga
p menikah sebagai alat agar ia mendapatkan pendamping (istri) yang bisa melayaninya, yang tunduk patuh padanya, yang mau memberinya keturunan tetapi untuk kejayaan dirinya sendiri—entah untuk menunjukkan eksistensi kelaki-lakiannya (keperkasaannya), dll. Keperkasaan dan narsisme semacam itu tak jarang ditunjukkan dengan ketidakberdayaan perempuan (istri) pada saat ia selingkuh baik resmi (poligami) maupun secara sembunyi-sembunyi.

Pertemuan antara perempuan yang tak produktif—saya menyebutnya sebagai ”parasite eves”—dengan laki-laki kaya yang cenderung narsis dan dominatif ini biasanya akan membuahkan penindasan dalam rumah tangga. Masalahnya: (1) si perempuan tak memiliki daya tawar ekonomis; dia tak memperoleh pendapatan sendiri dan hanya menggantungkan pada laki-laki (suam
i); (2) sang suami merasa bahwa dialah sumber dari pendapatan, artinya sumber kekuasaan. Dalam pola pikir rasional yang kapitalistik, sang istri dianggap sebagai buruh yang diupah oleh majikan (suami) dengan tugas-tugas domestik, misalnya: melayani kebutuhan seksual suami, merawat anak-anak, memasakkan nasi, kadang juga mencucikan baju, membersihkan rumah, dan lain-lain.

Bentuk dekadensi semacam itulah yang membuat hubungan menjadi bentuk yang merusah kemanusiaan, yang kalau kita selidiki lebih lanjut akan membuahkan berbagai bentuk dehumanisasi yang lebih luas yang diterima karena terwariskan kepada anak-anak kita.[]


----------------------------------------------
[1] Nurani Soyomukti. Intimacy: Membangun Kebersamaan dalam Pacaran, Pernikahan, dan Merawat Anak dengan Surga Keintiman. Surabaya: Prestasi Pustaka, 2008.
*****************************************

Jumat, 07 November 2008

Buku Baru NURANI SOYOMUKTI:




Catatan Nurani:

Coretan Tentang Hujan

Suatu hari
kau berjumpa dengan hujan.
Engkau mengembara dan mengembara lagi. Lalu kau mampir ke kota itu dan setelah berencana tinggal selama sebulan untuk menuntaskan sebuah gundah, maka kau jumpai lagi hujan lebat selalu turun di suatu sore.


Engkau tinggal di sebuah kamar lantai dua di mana di depan kamarmu terdapat pohon mangga yang waktu itu berbuah lebat. Saat hujan angin suatu sore, beberapa di antaranya rontok. Engkau mendengarnya dari dalam kamar, karena kaupun tak bisa keluar menembus hujan lebat, untuk sekedar membeli makanan atau menjumpai sahabat-sahabatmu.

“Ini memang musim hujan, dan kita tampaknya akan menerima cuaca ini hingga bulan Desember atau Januari tahun depan”, begitulah kau katakan padaku suatu malam saat hujan telah tuntas tetapi jalanan basah. Waktu itu kita sedang berbincang di tepi jalan, di sebuah warung kecil di mana ibu penjualnya memberimu kopi terbaik di kota itu.
“Iya, tadi aku hanya bisa berdehem di kamar. Hujan lebat. Beberapa buah mangga jatuh di depan kamarku. Entah siapa yang memungutnya kemudian... “.


Menerima hujan yang lebat, kadang aku memang merasa nyaman. Karena seperti ada yang mencurahkan air dari atas, jadi seakan ada yang melindungi kita di atas sana, yang seakan selalu memberi. Menerima air hujan juga mengingat kembali musim yang lalu. Aku dibawa masuk menuju kenangan dalam lorong kamarku yang bolong bagian atapnya
Kupandang senja dari balik jendela, bingkai rindu yang seperti membatasi cuaca. Kemarin lusa kuterima massage dari seorang kawan di Jakarta: “Sini juga hujan lebat Kawan… bahkan aku takut banjir akan dating lagi”.


Lalu aku harus kembali mengingat kenangan itu dari jendela kamarku, saat hujan. Kamarku terletak di lantai dua berhadapan dengan jalan, di depannya ada dua pohon mangga yang berbuah. Aku tidak memetiknya karena musim hujan membuat kita malas untuk makan buah-buahan.

Kamar ini memudahkan aku memungut kenangan, dari jendela. Di luar seakan terlihat Bundaran Hotel Indonesia, yang pernah bergelantung di pintu bus bersama kepala berkeringat. Hari ini seperti terlempar ke luar dari pintu jendela kamar. Seakan masih ada poster di dindingnya memuat seruan “Bentuk Pemerintahan Sementara!” Jalanan sana mengingatkan kembali:
Dalam keadaan tubuhmu yang berkeringat, kau boleh terjun di air kolam yang dicintai pancuran dengan terpaksa. Setelah lelah mengitari jalan bulat,
Seperti dapat mengelilingi dunia dengan cara yang cepat.
Air adalah bagian kehidupan yang paling kucintai, katamu suatu senja.
Lalu kau menceritakan bahwa lebih baik banjir dari pada kebakaran hutan.
Dan aku memilih bukan kedua-duanya.


Kadang hidup ini dapat kita sentuh bila kita menikmati salah satu bagiannya, balasmu.
Aku setuju, seperti senja sore itu, ketika dunia dihimpit oleh siang dan malam, jalan-jalan Jakarta berada dalam dunia kecilnya yang paling molek.
Malamnya batas hidup dan mati begitu tipis,
dunia begitu sesak seperti uang receh yang jatuh dalam seguci tuak.
Karena mere
ka membakar dirinya sendiri, balasmu.

Jadi kau lupa bahwa airpun juga bisa membakar tubuh dan jiwa manusia, seperti di banyak diskotik dan pub kota ini. Banyak momen yang membuat air membuat tubuh dan hati manusia perih.
Bukankah kita juga pernah terkena gas air mata, tukasku.
Lalu mulai hari itu, 22 Mei 1998, kau mencatat aristoteles.


Dunia bukan hanya terbuat dari air, tetapi juga tanah, udara, dan api. Dunia juga terbuat dari benci dan cinta, spanduk milik demonstran dan tank-tank baja milik tentara.
Juga bukan hanya api yang membakar bisa menghanguskan gedung-gedung kota kita, tapi sebuah misteri yang hingga saat ini masih kita cari.
Lalu kita mengakhiri diskusi menjelang maghrib, meninggalkan sisa-sisa nasi bungkus berlebih dan berceceran di taman-taman.

***
Sore ini hujan turun lagi, begitu lebat.
Memang ini
baru awal musim.

Kau ingat 27 Juni 2004, waktu hujan belum juga tiba?
Kali ini engkau benar, Kawan. Bagian kehidupan yang paling layak dicintai adalah air, yang dapat menyegarkan perasaanku hari ini. Karena aku juga membayangkan seorang perempuan cantik di kejauhan sana sedang berbaring, baru saja ia berkata padaku melalui telfon: “Sayang, hujan-hujan kayak gini enaknya tidur. Dan kapan kau kembali? Tak perlu menunggu pergantian musim, bukan?”…

-------------------------------------------



Senin, 26 Mei 2008

Resensi Buku "DARI DEMONSTRASI HINGGA SEKS BEBAS":

MAHASISWA TUMBAL KAPITALISME

JAWA POS/Minggu, 18 Mei 2008

Oleh: Faizah S.A., Guru SMK Al-Munawwir Krapyak Jogjakarta

AHMAD Wahib (1942-1973) sempat menambang kerisauan ketika mengamati pola gerakan mahasiswa: "Kalau gerakan mahasiswa Indonesia dibandingkan dengan negara-negara maju, saya kira kita ketinggalan puluhan tahun, baik dari segi keradikalan ide-idenya, kerevolusioneran sikap-sikapnya, kematangan koordinasinya, serta kekompakannya. Meski demikian kita boleh bangga bahwa pemimpin-pemimpin gerakan mahasiswa sebelum kemerdekaan adalah pejuang sekaligus pemikir." Kegelisahan yang digemakan Wahib dalam Pergolakan Pemikiran Islam pada 23 Oktober 1970 itu hingga kini masih terasa gaungnya.

Apalagi ketika mengamati gerakan mahasiswa saat ini yang bias oleh kepentingan pragmatis serta tidak memiliki pijakan paradigmatik yang jelas. Gerakan mahasiswa pun tumpul. Dan, predikat agen perubahan (agent of change) seperti bertengger di menara gading.Gerakan mahasiswa pernah mencapai klimaks pada Mei 1998 ketika berhasil menumbangkan (rezim otoriter) Soeharto sekaligus meneluhkan badai reformasi. Namun perlahan gelombang gerakan mahasiswa pun menyusut. Hatta, satu dasawarsa kemudian, Mei 2008, reformasi ternyata belum menghasilkan perubahan substansial yang benar-benar berarti. Tak ubahnya gerbong kosong, sebab reformasi tak dikawal dengan gerakan sistemik untuk membumikan agenda-agenda kerakyatan. Pertanyaan pun mencuat: ke manakah mereka, para mahasiswa, itu?

Nurani Soyomukti mendedahkan jawabnya dalam buku ini. Alumnus Fisip Universitas Jember itu menuduh mahasiswa saat ini tengah meringkuk dalam ruang pengap budaya yang dikonstruksi oleh kapitalisme. Dengan keperkasaannya, kapitalisme mengasingkan mahasiswa dari realitas sosial dan kebiasaan berpikir kritis serta berilmu pengetahuan, baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus. Kapitalisme telah menelikung eksistensi mahasiswa agar tak lagi dapat menjadi "mahasiswa sejati" yang getol membela kebenaran dan keadilan, sehingga lahirlah generasi mahasiswa bergaya hidup anti-ilmiah dan anti-aksi-aksi advokasi kerakyatan (hlm. 23).

Meski masih ada segelintir mahasiswa yang berusaha loyal dengan khitahnya sebagai agen perubahan, keberadaan mereka mirip sepercik tinta yang menetes di lautan. Mereka gagal membangun pencitraan massif yang positif terhadap mahasiswa. Ironisnya, justru citra negatif yang kerap melekat pada diri mahasiswa karena acapkali tersandung kasus-kasus amoral.Itulah sekelumit fenomena buram gaya hidup mahasiswa yang dipotret buku ini: mulai dari melemahnya tradisi berpikir kritis lewat forum-forum diskusi yang tergantikan oleh budaya cangkrukan dan ngerumpi sambil pencat-pencet HP, menguatnya sikap hedonistik dengan gemar berbelanja di mal ketimbang membeli buku, bahkan merayakan pesta narkoba dan prostitusi terselubung.

Soyomukti menguraikannya dengan sangat gamblang tentang bagaimana terjadi pergeseran karakter mahasiswa dalam setiap zaman sampai pencitraan mahasiswa yang berubah di mata masyarakat.Mahasiswa memang mengalami penindasan kapitalisme melalui konstruksi gaya hidup dan budaya keseharian. Tanpa mereka sadari, nalar kritisnya ditumpulkan dan akses pengetahuan meski tampak kasat mata namun terbentur budaya tanding yang berorientasi pada pemenuhan hasrat hedonistik yang menggelapkan mata.

Dalam situasi demikian, eksistensi mahasiswa benar-benar berada di tubir jurang kehancuran.Betapa tidak, mahasiswa kini dikepung kapitalisme dari berbagai penjuru, mulai privatisasi pendidikan, materi pendidikan yang semata-mata mengabdi pada kepentingan industri pasar, serbuan realitas semu media yang menampilkan hipokritisme sosial melalui sinetron dan tayangan infotainment. Hal ini mengindikasikan kehidupan mahasiswa yang kian berjarak dengan realitas ketidakadilan dan pemiskinan masyarakat. Mereka kiranya tak menyadari bahwa semakin masuk dalam pusaran kultur yang diciptakan kapitalisme, maka eksistensi dan gaya hidup mereka pada hakikatnya tengah diteror (hlm. 80-91).

Dalam menganalisis fenomena kehidupan mahasiswa ini, Soyomukti tidak terjebak pada pendekatan moral-religius. Misalnya seperti yang dilakukan Iip Wijayanto dengan Sex in The Kost. Pendekatan demikian hanya melihat objek dengan kacamata hitam-putih dan mengasumsikan mahasiswa hidup di ruang hampa. Naga-naganya, pendekatan ini cenderung melarang atau mengharuskan dengan kriteria moral tertentu. Gaya hidup mahasiswa yang menyimpang serta sirnanya idealitas kerakyatan lantas dituduh sebagai temperamen yang memang sudah melekat. Bagi Soyomukti, moral bukanlah sebab, melainkan akibat dari kontradiksi kapitalisme.Karena itu, cukup masuk akal bila refleksi Soyomukti dalam buku ini sangat menarik dan terbilang tidak biasa. Ia tidak hanya melihat wajah makro kehidupan mahasiswa, tetapi juga meneroka fenomena subtil dan terdalam dari mahasiswa.

Maka, lebih dari sekadar reportase gerakan mahasiswa, buku ini mengungkap sisi lain kehidupan mahasiswa yang nyaris tak tersentuh oleh karya-karya serupa lainnya.Namun, di tengah-tengah kepiawaian Soyomukti dalam mengeksplorasi teori-teori kritis dan pemikiran kiri ala Marxian, psikologi Frommian, dan filsafat cinta Gibranian sebagai pisau analisis kajian, ia masih terkesan kurang tajam dalam menelanjangi teknologi kekuasaan dan kepentingan ideologis kapitalisme yang meneror kehidupan mahasiswa, sehingga analisisnya pun terasa agak normatif. Dus, munculnya garis demarkasi antara kegiatan subtil seperti berpacaran, dugem, shopping di mal dengan menelusuri kenikmatan belajar dan membangun aksi-gerakan melahirkan stigma moralitas oposisi biner. Kesan mereproduksi gaya tutur bernuansa dakwah pun tidak tertampik meski disusupi dengan analisis wacana kekiri-kirian.

Selain itu, meski cukup detail menjelajahi lajur-lajur pembebasan mahasiswa dalam konteks bernalar dan berpikir kritis guna membongkar hegemoni kapitalisme, buku ini tidak tegas memberi jawaban mengenai bagaimana praktik pembebasan yang terintegrasi dengan kekuatan-kekuatan gerakan rakyat dalam membumikan agenda kerakyatan.

Secuplik kelemahan tersebut tentu tidak mengurangi signifikansi dan kontribusi positif buku ini. Karena itu, buku ini layak diapresiasi para (calon) mahasiswa untuk bercermin, sekaligus bekal introspeksi dalam memaknai eksistensinya. (*)

Jumat, 18 Januari 2008

Kutipan dari Buku "PENDIDIKAN BERPERSPEKTIF GLOBALISASI"


“….. “Globalisasi”—sebagai istilah tersendiri—juga paling banyak diterima dan diucapkan di dunia pendidikan. Meskipun istilah globalisasi telah begitu terkenal, dalam banyak hal awalnya hampir tidak ada perdebatan ilmiah dan kritis terhadapnya, kecuali doktrin. Kalimat yang paling akrab di telinga kita—sebagaimana sering dipidatokan Soeharto dulu, dan juga para politisi “pro-globalisasi”: “mau tidak mau, suka tidak suka, kita tidak bisa menghindar dari arus besar globalisasi…Masalahnya, bagaimana kita menyiapkan diri untuk menghadapinya, agar bisa memetik manfaat dari arus besar itu.””

“….. Secara keseluruhan, korporasi menghabiskan dana perkapita untuk menciptakan konsumen yang bersahabat lebih dari separuh dana perkapita yang digunakan dunia untuk pendidikan masyarakat. (Dana dunia untuk pendidikan masyarakat adalah $207 per kapita. Untuk negara-negara selatan angka ini adalah $33). Tambahan lagi, pertumbuhan belanja periklanan jauh melebihi kenaikan belanja pendidikan.”

“….. Tugas pendidikan adalah membawa generasi ini mampu merengkuh sedemikian dekat agar manusia tidak tercerabut dari kemampuaannya dalam menghadapi kontradiksi alam di mana yang kekal adalah perubahan. Globalisasi sebagai proses terkait dengan istilah Globalution, yaitu paduan dari kata globalization dan evolution. Dalam hal ini globalisasi adalah hasil perubahan (evolusi) dari hubungan masyarakat yang membawa kesadaran baru tentang hubungan/interaksi antar umat manusia. Evolusi pemikiran ke arah kematangan dan kemajuan yang mendorong produktifitas dan kreativitas ditimpakan pada pendidikan….”

“….. Peran guru sangat diharapkan karena guru adalah pemandu dan teman dialog bagi peserta didik, dan bukan hanya orang yang bertugas mendiktenya. Globalisasi sedang menunggu, biarkanlah anak-anak didik mengetahui kebebasan menikmati dunia dengan keanekaragamannya, dan mari kita dorong mereka untuk memacu tenaga produktif dan kreatifitas untuk menghadapi proses pengglobalan (bukan penggombalan)!”

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Apresiasi Buku "PENDIDIKAN BERPERSPEKTIF GLOBALISASI"


Pendidikan dan Nasib Anak
di Era Globalisasi


Oleh:
Ibu Magdalena Sitorus,
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia;
Ketua Rekan Anak dan Perempuan


Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Kepres No. 36 pada tahun 1990 dimana sebagai konsekuensinya sebagai Negara peserta (State Party) secara yuridis dan politis mengikuti seluruh ketentuan yang ada di dalam konvensi tersebut. Salah satu konsekuensinya mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan secara regular kepada PBB tentang sejauh mana pelaksanaan Konvensi tersebut sebagai perwujudan bagaimana pemenuhan Hak Anak di Indonesia.

Tentunya Konvensi dilahirkan karena adanya permasalahan besar yang dihadapi oleh Anak secara universal yaitu banyaknya hal atau situasi yang menggambarkan ketidak adilan yang serius yang di derita oleh anak-anak seperti tingginya tingkat kematian anak, perawatan kesehatan yang buruk, terbatasnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan dasar. Belum lagi hal-hal seperti kasus-kasus anak yang mengalami penyiksaan, eksploitasi seksual, melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya bagi keselamatan anak,anak dalam penjara, pengungsian ataupun yang terlibat dalam konflik bersenjata dan lain-lain.

Anak adalah cikal bakal menjadi orang dewasa yang satu saat kelak dalam bahasa kerennya “pemilik dan pengelola masa depan”. Untuk menjadi pemilik dan pengelola masa depan tentunya mereka harus dipersiapkan dengan baik oleh orang-orang dewasa di sekitarnya yang menjadi penanggung jawab penyelenggara perlindungan Anak yaitu mulai dari komponen masyarakat terkecil yaitu orangtua, keluarga, masyarakat, Negara dan pemerintah (Lihat UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

Hak Anak yang melekat pada diri mereka harus dipenuhi mulai dari Hak Kebebasan Sipil, Kesehatan, Pendidikan, Pengasuhan dan Perawatan Alternatif/Lingkungan yang ketika diberikan harus berazaskan 4 (empat) Prinsip Dasar Hak Anak yaitu Non diskriminatif, Kepentingan Terbaik Bagi Anak (The best interest of the Child), Hak untuk hidup, kelangsungan hidup pengembangan diri dan Hak untuk mengemukakan pendapat (Child Participation). Hak-Hak yang melekat pada diri anak tentunya berkaitan satu sama lain. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia dan memberikan kemampuan untuk menghadapi perubahan-perubahan yang secara alamiah sesuatu yang tidak dapat dihindari.

Pendidikan tanpa ditunjang pemenuhan Kesehatan yang baik, Pengasuhan dan lingkungan yang baik, dan Kebebasan Sipil seperti memperoleh identitas, berserikat, memperoleh informasi sesuai dengan kematangannya usianya adalah tidak berarti. Pemenuhan Hak Anak tersebut diberikan dengan secara nondiskriminasi tanpa memandang jenis kelamin, latar belakang suku, ras, agama, latar belakang sosialnya. Bagaimana kita dapat mengetahui apakah dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak tanpa memberikan peluang untuk berdialog dengan anak dengan memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengemukakan pendapatnya tentang hal tersebut. Tentunya dengan melakukan hal tersebut kita akan menjamin tumbuh kembang anak baik secara fisik maupun mentalnya.

***
Penulis muda ini mempunyai kegelisahan yang tentunya juga menjadi kegelisahan masyarakat kebanyakan tentang apa yang terjadi dengan Pendidikan yang dalam waktu yang bersamaan diperhadapkan dengan masalah Modernisasi yang erat kaitannya dengan Globalisasi. Banyak permasalahan dan kondisi realitas yang diungkapkan oleh penulis yang tentunya harus menjadi sentakan bagi kita orang dewasa apa yang ingin kita buat untuk negeri tercinta ini secara khusus berkaitan dengan Pendidikan yang sudah menjadi barang lux di negeri ini.
Ketentuan yang ada semisal di dalam Konstitusi kita yaitu UUD 45, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU tentang Pendidikan Nasional yang menjamin setiap anak Indonesia untuk dapat memperoleh pendidikan.

Pendidikan merupakan satu proses pengharapan melahirkan peningkatan kualitas manusia. Hal ini akan menjadi lebih dapat dipertanggungjawabkan ketika pendidikan dimulai pada masa kanak-kanak dan bahkan masa balita dinyatakan sebagai “golden age” karena ini lah masa pembentukan yang baik dan bila berjalan dengan baik kelak akan menghasilkan manusia yang berkualitas. Sekarang bagaimana orang dewasa dalam kehidupan si anak dengan peran-peran yang berbeda melakukan upaya perlindungan anak dengan memberikan yang maksimal pemenuhan hak-hak mereka termasuk hak untuk memperoleh pendidikan.

Pendidikan menjadi tanggung jawab semua pihak yang tidak terbatas pada tanggung jawab pendidikan formal yang tentunya mempunyai kurikulum yang tersistim.
Berbicara tentang anak adalah berbicara tentang orang dewasa, apapun peran mereka di dalam masyarakat. Orang dewasa yang ada saat ini adalah anak pada masa lalu yang diperlakukan oleh orang dewasa terhadap mereka.

Demikian seterusnya menjadi satu siklus kehidupan. Hal ini sangat tergantung pada perolehan pendidikan sebagai proses pembelajaran dari pengalaman yang diperoleh anak dalam masa usia anak. Selain itu apakah ia menjadi subyek atau obyek dari lingkungannya.

Perubahan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari di dalam kehidupan demikian juga halnya bila dikaitkan dengan perubahan social. Terdapat aksi dan reaksi karena setiap perubahan akan diimbangi oleh perubahan lain. Perubahan dapat terjadi dimana dorongan utama perubahan bisa berasal dari luar masarakat itu sendiri. Memang bisa juga terjadi sumber perubahan berasal dari dalam yang dimana hal ini mungkin terjadi melalui peranan pemimpin kharismatis dimana makna kehidupan individu dan sifat masyarakat diberi definisi baru. Misalnya: masyarakat harus menjadi bagian penyelenggara perlindungan anak dimana baik individu maupun kelompok-kelompok masyarakat harus menjalankan pemenuhan hak anak mulai dari hak sipil, sampai pada kesehatan, pengasuhan dan pendidikannya dengan memperhatikan 4 prinsip hak anak tersebut dimana pemimpin kharismatis itu bisa berada dalam elemen-elemen masyarakat sampai kepada pemimpin Negara.
Yang diharapkan bagaimana orang dewasa saat ini sudah harus berubah melihat sosok anak sehingga apapun peran orang dewasa di dalam masyarakat, bagaimana anak menjadi pusat pertimbangan utama dalam memutuskan sesuatu dalam segala hal. Siklus dalam bentuk kekerasan, diskriminasi yang terjadi harus diputus sehingga tidak terjadi kekerasan dalam bentuk tidak terpenuhinya pendidikan bagi seluruh anak Indonesia karena hak anak adalah menjadi hal yang melekat pada diri mereka. Bagaimana orang dewasa di sekitar mempersiapkan anak-anak kita dapat menghadapi modernisasi dan globalisasi secara sadar dan sehat karena toh sesuatu yang tidak dapat dihindari. Sekarang bagaimana melindungi anak-anak kita dengan metoda dan strategi yang aman dalam artian menjamin tumbuh kembang baik secara fisik maupun mentalnya bagi mereka. Bagi pemegang kebijakan tentunya dibutuhkan tidak saja good will tetapi juga political will. Sesuatu yang harus di yakini apabila segala sesuatu keputusan dari penyelenggara perlindungan anak baik sebagai individu, orangtua, keluarga bahkan sampai pemerintah dan negera bila dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak termasuk dalam hal ini pendidikann pasti akan menjadi non diskriminatif, melindungi hak tumbuh kembang dan memberi ruang bagi partisipasi anak. Yakin se yakinnya bila hal itu dilakukan akan tercipta kelak orang-orang dewasa yang perduli anak dan secara otomatis hak azasi manusia secara keseluruhan akan terpenuhi karena tercipta manusia yang berkualitas sebagai tujuan dari pendidikan itu sendiri.

Pendidikan diharapkan agar bagaimana seseorang memperoleh pengetahuan yang dapat mencerahkan. Pembentukan seseorang tidak dapat mengelakkan satu proses pembelajaran yang mulai dari usia anak. Hal-hal yang diperoleh dari masa kanak-kanak baik melalui pendidikan formal, non-formal maupun informal akan mempengaruhi kepribadian anak.

Jika kita lihat secara global, perubahan yang melanda masyarakat dunia ini termasuk pendidikan adalah akibat dari adanya berbagai kendala yang sifatnya memang harus dihadapi secara multi sistim. Dengan adanya hal-hal inilah maka timbul berbagai kehendak baru, sehingga siapa yang kreatif, pandai, mampu dan mau mengubah pla-pola lama menjadi pola yang modern akan lebih cepat maju kedepan. Di lain pihakbagaimana pendidikan yang non diskriminatif dengan pertimbangan-pertimbangan kebutuhan anak yang berbeda tetapi dapat merespons perkembangan jaman tanpa terjebak dan terbelenggu pada hal-hal yang tidakmenjamin masa depan anak bangsa.

Penulis mengungkapkan adanya suatu realitas bagaimana dengan adanya globalisasi dan modernisasi yang melanda dunia mempunyai dampak terhadap pendidikan di Indonesia. Kritikan-kritikan terhadap situasi yang ada dimana perubahan social adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari tetapi bagaimana kita mempunyai tanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak Indonesia terutama yang berkaitan dengan latar belakang social ekonomi.

Pemikiran-pemikiran penulis sebagai bahagian dari generasi muda yang dituangkan dalam sumbangan pemikiran dalam tulisan ini diharapkan mempunyai kontribusi terhadap seluruh penyelenggara perlindungan anak lagi-lagi mulai dari orangtua, keluarga, komponen masyarakat, pemerintah dan negara agar peka terhadap yang terjadi dengan pendidikan anak Indonesia dimana pengaruh arus globalisasi yang sangat kuat yang kalau tidak diantisipasi dan dipersiapkan untuk menghadapinya akan mempunyai dampak yang sangat tidak menguntungkan. Selanjutnya bagaimana sumbangan pemikiran dalam tulisan ini dapat merubah pola pikir kita dalam mempersiapkan pendidikan bagi anak-anak kita menyongsong masa depan karena mereka kelak yang menjadi pemilik dan pengelola masa depansehingga tidak larut dan terbawa arus sistim yang sudah ada. Semoga!!!


Jakarta, 24 November 2007

Apresiasi Akademis Buku "REVOLUSI SANDINISTA":

_________________________________
Kemenangan Demokrasi Popular Amerika Latin

Oleh: Airlangga Pribadi
Staf Pengajar Gerakan Sosial Politik &
Peneliti Laboratorium Politik FISIP Universitas Airlangga


Salah satu peristiwa mengejutkan di decade awal tahun 2000-an adalah kemenangan kekuatan-kekuatan kiri melalui Pemilu Presiden di beberapa negara Amerika Latin. Keberhasilan Daniel Ortega (veteran pemimpin gerilyawan Sandinista) untuk merebut kursi kepresidenan melalui pemilu di Nicaragua, kemenangan politik doktor ekonomi Rafael Correa dari sayap nasionalis kiri pada Pemilu Presiden Ekuador, dan keberhasilan pemimpin populis Hugo Chaves menjabat Presiden kedua kalinya pada pilpres yang dilaksanakan di Venezuela. Kesemua fenomena tersebut semakin memantapkan konsolidasi kepemimpinan kelompok Kiri dan gelombang pasang demokrasi popular pada sembilan negara di Amerika Latin.

Kemenangan kekuatan-kekuatan kiri di Amerika Latin merupakan symbol dari keruntuhan konsensus ekonomi politik global yang dibangun sejak akhir tahun 1980-an, ketika kemenangan demokrasi yang mendunia dimaknai sebagai akhir dari sejarah yang menggoreskan tinta kemenangan demokrasi liberal dan pasar bebas diatas gagasan-gagasan alternatif lainnya yang lebih manusiawi. Mengingat secara empiris terbukti narasi dominant demokrasi neo-liberal justru memfasilitasi akusisi diam-diam otoritas negara yang bekerja bagi kepentingan korporasi dan meninggalkan aspirasi warga sebagai konstituennya.

Dalam konteks pertarungan besar membongkar wacana hegemonic sejarah tentang demokrasi pasar bebas inilah tulisan seorang penulis muda Nurani Soyomukti tentang Sandinista Akhir dari Akhir Sejarah: Gerakan Sandinista Melawan Amerika menemukan relevansinya. Narasi tentang Kapitalisme dan demokrasi liberal sebagai akhir dari sejarah pada kenyataannya tidak mendapatkan pijakannya secara empiric, terbukti satu tahun setelah publikasi buku tersebut, yaitu tahun 1994, gerakan melawan kapitalisme neoliberal tampil dalam manifestasi gerakan Zapatista di Mexico yang menginspirasikan lahirnya kembali artikulasi politik kiri di Amerika Latin.

Jauh dari membawa berkah, proyek demokrasi berbasis neoliberal memunculkan persoalan-persoalan serius bagi masyarakat Amerika Latin. Seperti diuraikan oleh Frank O. Mara dan Karl Kalthenthaler (1998) dalam Neo-Liberalism in Latin America, keberlangsungan praktek rezime neoliberalism di Amerika Latin selama pengalaman tiga gelombang periode (sejak tahun 1980-an sampai paruh akhir tahun 1990-an) membawa pada krisis sosial bagi masyarakat Amerika Latin. Reformasi ekonomi berbasis liberalisasi pasar bebas dan pemangkasan berbagai program sosial, alih-alih membangun kultur produktif dan kompetisi justru memperluas kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin dan problema pengangguran. Kondisi sosial yang dihadapi oleh para petani dan buruh Amerika Latin pada paruh akhir tahun 1990-an lebih buruk daripada sebelum tahun 1980-an. Setidaknya di Amerika Latin sampai tahun 1998 tercatat kurang lebih 200 juta jiwa hidup dibawah garis kemiskinan. Selain itu, ketimpangan distribusi tanah juga berlangsung di negara-negara Amerika Latin.

Secara politis, proses restrukturisasi ekonomi berbasis neoliberal mengakibatkan erosi kapasitas negara untuk mengelola krisis sosial akibat pembelahan sosial dan meluasnya perasaan tidak aman dan kriminalitas akibat frustasi dan kekecewaan yang tumbuh dari publik ketika negara tidak mampu melindungi warga dari kekuatan korporasi yang bersifat amoral. Pengalaman Amerika Latin selama dibawah bendera neoliberalisme secara faktual telah menjadikan wilayah tersebut sebagai salah satu dari negara-negara dengan tingkat ketimpangan ekonomi tertinggi di dunia dengan diiringi keruntuhan otoritas politik negara untuk melindungi dan menjaga kepentingan bersama dari warganya.

Penolakan publik terhadap diskursus free market-democracy dan ekses pemiskinan struktural yang berlangsung telah memunculkan momentum bagi tumbuhnya artikulasi-artikulasi politik alternatif di Amerika Latin. Intelektual politik asal Inggris yaitu Gideon Baker (2002) menguraikan munculnya politik gerakan sosial baru di Amerika Latin sejak paruh akhir tahun 1980-an. Seiring dengan eksklusi sosial politik warga oleh kekuatan negara dan pembajakan otoritas negara oleh kekuatan korporasi, maka tumbuhlah gerakan-gerakan sosial berbasis komunitas lokal seperti Zapatista di Meksiko, gerakan kelas pekerja dan petani di Brazil dan Bolivia yang memperjuangkan reformasi agraria dan fair trade sebagai lawan free trade, koalisi gerakan rakyat berbasis kaum pekerja, jurnalis, kelas pekerja, intelektual, guru dan petani di Venezuela, Ekuador dan Argentina serta berbagai komunitas akar rumput lainnya seperti kaum perempuan dan masyarakat adat yang memperjuangkan imajinasi politik baru dengan tawaran alternatif tatanan sosial yang lebih humanis.
Gerakan-gerakan sosial tersebut mengartikulasikan isu-isu komunitas kewargaan yang melampaui orientasi kelas, memperjuangkan politik otentik-kemandirian, terbentuk dalam konteks lokal-berbasis akar rumput, bergerak diluar struktur politik formal, namun mereka saling terhubung melalui jaringan-jaringan gerakan yang solid dengan menyuarakan pengalaman kemiskinan dan peminggiran sosial politik yang mereka alami sehari-hari. Perlahan-lahan mereka mengorganisasikan diri dan mentransformasikan diri tidak saja semata-mata sebagai gerakan sosial namun turut mentransformasi arena politik.

Jalur Politik Progresif
Keberhasilan politik kaum kiri dalam arena politik di Amerika Latin sejak periode awal abad ke-21 ini, merupakan buah keberhasilan perjuangan gerakan-gerakan sosial akar rumput yang bersinergis dengan kekuatan-kekuatan politik progresif. Mereka berjuang memanfaatkan demokrasi elektoral sebagai sarana melakukan transformasi politik secara mendasar bagi kepentingan publik. Sehubungan dengan kemenangan kekuatan kiri di Amerika Latin dalam mempertahankan kedaulatan politik rakyat ada beberapa hal yang dapat kita jadikan sebagai bahan renungan untuk membenahi lingkungan dan realitas politik di Indonesia.

Pertama, kemenangan demokrasi popular di Amerika Latin merupakan symbol kemenangan politik yang memperjuangkan kemandirian dan politik otentisitas. Di tengah desakan dan rayuan agenda pasar bebas dari Washington Consensus, para pemimpin politik Amerika Latin berani mengambil inisiatif langkah-langkah politik otonom diluar kelaziman. Langkah banting stir beberapa negara Amerika Latin keluar dari paradigma neoliberal adalah aksi konkret untuk menegaskan politik kemandirian dan menggunakan kekuasaan politik sesuai dengan amanat yang diberikan oleh publik kepada para pemimpinnya.

Rafael Correa setelah memenangi Pilpres di Ekuador misalnya berjanji untuk mereformasi konstitusi Ekuador menjadi lebih pro-rakyat, dan mempertimbangkan suara dari kelas pekerja daripada kepentingan self interest dari korporasi. Sementara Presiden Venezuela Hugo Chaves berani melakukan langkah politik radikal mengubah kesepakatan ekonomi antara negara dengan pihak korporasi minyak, dengan pengalihan keuntungan sebesar-besarnya dari penjualan minyak bagi kesejahteraan kehidupan rakyat Venezuela.

Kedua, arus gelombang pasang demokrasi popular di Amerika Latin merupakan hasil dari kerja keras menghimpun kekuatan blok histories antara elemen-elemen gerakan sosial di wilayah masyarakat sipil dan kekuatan partai-partai progresif. Keberhasilan penegakan kedaulatan politik rakyat di negara-negara Amerika Latin berlangsung melalui proses koalisi kekuatan progresif yang mempertemukan arus besar gerakan sosial akar rumput dengan kesabaran revolusioner dari para pemimpin dan kekuatan politik progresif disana untuk mendengar, mempertimbangkan dan mengorganisir suara rakyat yang selama ini terpinggirkan dan berjuang melalui jalur demokrasi elektoral.

Ketiga, praktek-praktek demokrasi popular yang dijalankan di beberapa negara Amerika Latin, melampaui praktek demokrasi konvensional liberal yang hanya melibatkan rakyat hanya dalam pemilihan umum. Desain demokrasi deliberatif yang telah melembaga seperti di Brazil dibawah pimpinan Presiden Luiz Ignazio ‘Lula’ da Silva dari Partindo Trahabaldores (Partai Buruh) meradikalisasi praktek politik demokrasi, dengan membuka kesempatan bagi publik tidak hanya untuk terlibat dalam proses politik keseharian bagi kepentingan mereka, namun lebih dari itu termanifes secara konkret untuk terlibat dalam penentuan anggaran publik melalui model Participatory Budgeting, sehingga warga dapat menekan agar seluruh anggaran yang disahkan di seluruh daerah diprioritaskan bagi kepentingan mereka.
Pengalaman praktis demokrasi popular di Amerika Latin semestinya mendorong para aktivis pejuang demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia untuk merumuskan kerja-kerja politik yang otentik bagi pemulihan kedaulatan publik. Tentunya tantangan pemulihan tersebut teras berat dan mendaki jalan yang terjal, mengingat saat ini partai politik sebagai penjaga tatanan demokrasi ternyata jauh, berjarak dari agenda-agenda publik, dan hanya mengejar kepentingannya dalam arena demokrasi padat modal. Ketika kita mengaji dari suksesnya jalan demokrasi popular Amerika Latin, maka proses awal transformasi politik di Indonesia sepertinya membutuhkan berbagai perubahan karakter elite politik, intensitas perjuangan masyarakat sipil, serta kepercayaan yang kuat bahwa jalan-jalan alternatif berbasis politik kemandirian masih sangat memungkinkan untuk dijalankan untuk merealisasi tata keadilan di republik ini.

Karya Nurani Soyomukti, seorang kaum muda yang sangat produktif ini, adalah salah satu ikhtiar untuk menyorot salah satu Negara di mana gerakan popular memenangkan pemilu, setidaknya kelompok lliberal pro-imperialis AS dapat dikalahkan melalui pemilu. Sandinista adalah salah satu gerakan rakyat yang cukup legendaries, keberhasilan dan kelemahannya tentu dapat dijadikan pelajaran bagi kita semua.



Surabaya, 26 November 2007

Kata Pengantar NURANI SOYOMUKTI:

___________________

Puji dan syukur, akhirnya buku ini dapat diterbitkan. Tentunya dengan semangat dan kerja yang lama dan keras, bahkan melibatkan dan mengorbankan banyak hal, juga bantuan dari beberapa orang dan lembaga yang (mudah-mudahan tidak merasa) direpotkan.

Hasil studi yang saya tuangkan dalam buku ini merupakan bagian dari proyek besar saya untuk mendokumentasikan gerakan rakyat melawan globalisasi neoliberalisme. Sejak ada gejala perlawanan baru yang berhasil di sebuah kawasan, tepatnya Amerika Latin, saya kembali berusaha melanjutkan usaha saya untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa kapitalisme bukanlah ‘akhir sejarah’ sebagaimana dipropagandakan dengan manisnya oleh akademisi Washington, Francis Fukuyama.

Yang saya lanjutkan adalah studi yang dapat dikatakan terlunta-lunta dalam posisi saya (waktu itu) sebagai mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional (di sebuah kampus yang tidak dapat dikatakan besar, modern, dan kondusif bagi pengembangan naluri ilmiah-akademik) FISIP Universitas Jember. Mungkin juga karena basis individu saya yang agak ‘gaptek’ (gagap teknologi), sehingga kemampuan mencari informasi dan data melalui internet justru berlaku saat saya terpaksa (harus) menyelesaikan tugas akhir (skripsi) yang telah tertunda selama setahun. Studi anti-globalisasi justru dipicu oleh posisi saya sebagai “aktivis”—begitu orang-orang menyebutnya.

Pada saat mengerjakan skripsi yang kelar pada awal tahun 2004, sesungguhnya saya masih buta tentang apa yang terjadi di Amerika Latin, setelah Hugo Chavez menang pemilu 1998. Bahkan nama “Hugo Chavez” sama sekali tidak ditemukan dalam skripsi saya, pada hal—seperti pikiran, ucapan, dan tindakan Hugo Chavez—skripsi saya juga banyak mengutuk globalisasi neoliberal dan sedikit umpatan emosional terhadap Amerika Serikat (AS). Mungkin karena nama Hugo Chavez memang belum banyak dimuat di media—pada hal ia melakukan kebijakan nasionalisasi (anti-neoliberal) pada tahun 2001 saat pembuatan UU Hidrokarbon meresahkan pemodal asing yang sebelumnya menikmati banyak keuntungan dari minyak Venezuela.
Dan karena kondisi itu, saya merasa terlambat mengetahui hal-hal yang terjadi di dunia, khususnya Amerika Latin. Setelah dipercaya oleh kawan-kawan untuk duduk di kpengurusan pusat sebuah organisasi anti-globalisasi neoliberal di Jakarta, saya lebih minder lagi atas keterlambatan informasi itu. Ternyata beberapa kawan bahkan pernah beberapa kali pergi ke Venezuela. Dan informasi tentang perkembangan sosial-politik yang terjadi memang menarik, menghenyak karena data-data itu sebenarnya bukti-bukti riil yang mendukung proyek menyerang tesis “akhir sejarah” Fukuyama yang pernah saya lakukan saat saya menulis skripsi sebagai tugas akhir dulu.

Itulah yang kemudian mendorong saya untuk mencari-cari informasi dan ‘berita baik’ tentang tanda-tanda keruntuhan kapitalisme/neoliberalisme, sekaligus menyokong kepercayaan dan analisis bahwa sosialisme sebagai jalan alternatif politik masih viable di era modern—dan memang oleh pencetusnya, sosialisme lebih cocok dalam fase masyarakat yang mencapai basis produksi modern, matang, dan dewasa, tidak feodal, barbar, dan tradisional.

Tetapi, mungkin yang saya lakukan (dan yang jarang dilakukan kawan-kawan saya lainnya) adalah (kemampuan yang kuat untuk) mendokumentasikan data-data itu. Hingga saya, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan (meskipun bukan tindakan illegal), banyak melakukan kegiatan menterjemahkan gagasan dan informasi tentang Amerika Latin (meskipun terbatas pada negara-negara yang memenangkan gerakan Kiri, khususnya Hugo Chavez). Seakan saya menjadi mahasiswa yang harus kembali menulis skripsi.

Kemenangan Evo Morales di Bolivia menambah semangat saya, lalu belakangan juga Daniel Ortega—dan berita tentang upaya penyatuan alternatif negara-negara yang anti-neoliberalisme dalam ALBA sebagaimana digagas Hugo Chavez, Morales, Fidel Castro, membuat info yang saya geluti semakin semarak dan (tentunya) mengasyikkan.

Apa yang saya lakukan ternyata membawa manfaat. Data-data dan informasi, juga gagasan-gagasan yang saya akhirnya berguna. Beberapa kawan baik di organisasi dan beberapa mahasiswa Hubungan Internasional menghubungi saya untuk menggunakan data-data itu untuk menulis tugas mata kuliah dan skripsi. Saya tidak mendukung propaganda “hak kepemilikan intelektual” (intellectual property right) yang dicanangkan para pemodal besar: Hasil terjemahan yang saya lakukan dan informasi-infomasi itupun dipakai. Di antara mereka ada yang memberikan “sejumlah” materi untuk biaya terjemahan, dan hal itu justru kian menambah amunisi bagi saya untuk mencari info yang lebih banyak—waktu yang saya habiskan untuk searching data-data via internet (yang tentu saja dikomersialkan oleh pengusahanya) semakin banyak. Dan dengan internet pula, gerakan anti-globalisasi—melalui penggalian data, korespondensi (via e-mail), dan memasang gagasan saya di media (dalam bentuk esai, opini, artikel, resensi buku—semakin mungkin.
[1]

Pengakuan tersebut juga sekaligus ingin saya hubungkan dengan fakta bahwa internet masih menjadi satu-satunya teknologi yang paling membantu dalam mengumpulkan informasi yang saya geluti selama ini. Buku-buku tentang Amerika Latin masih jarang, apalagi tentang negara-negaranya yang menempuh jalur anti-kapitalisme dan menerapkan kebijakan kerakyatan (sosialisme) masih sangatlah jarang. Literatur-literatur di Ilmu Hubungan Internasional atau jurusan-jurusan yang ada keterkaitannya dengan sosial, politik, dan pemerintahan juga kekurangan informasi. Seorang kawan yang menjadi dosen/pengajar di Ilmu Hubungan Internasional sebuah universitas negeri yang terkenal di Jakarta bahkan mengakui dan mengatakan pada saya bahwa kajian Amerika Latin sepertinya diasingkan, dengan cara membatasi literatur-literaturnya (baik sengaja ataupun tidak)—hingga ia sempat tidak tertarik untuk mendalami kajian tentang kawasan itu.

Inilah yang membuat saya agak “bangga” (narsis?) setelah buku pertama saya yang berjudul “Revolusi Bolivarian: Hugo Chavez dan Politik Radikal” (2007) terbit. Dan akhirnya saya juga bersyukur, karena buku yang lainnya tentang gerakan rakyat di Amerika Latin lainnya, kali ini tentang Gerakan Sandinista, dapat diterbitkan. Semangat untuk mengumpulkan dan menstrukturkan informasi-informasi dan data-data (tentu saja diramu dalam gagasan) menjadi sebuah buku nampaknya akan menjadi kegiatan yang menarik sebagai aktifitas dalam hidup saya—biarlah saya dicap sebagai “sok intelektualis”, “Marxis legal”, atau apapun oleh sebagian orang: saya tetap akan berupaya berperan sebaik mungkin.

Dalam proyek ini, mungkin saya akan menghibur diri dengan menjuluki posisi dan peran saya sebagai seorang “dokumentor”. Masalahnya, tujuan utama saya, sebagaimana saya tegaskan di buku pertama saya, adalah mendokumentasikan tentang apa yang terjadi: bahwa kapitalisme dapat dikalahkan dan digantikan dengan tatanan yang lebih adil; Ada langkah-langkah, strategi-taktik, dan program—tentunya landasan ideologis, watak, dan tindakan—yang bisa dijadikan contoh oleh politisi, intelektual, aktifis, dan siapapun mereka yang menyukai perubahan.
Hakekat kegiatan dokumentasi juga dikaitkan dengan fakta bahwa saya menyebutkan sumber-sumber informasi yang ada, mungkin kesannya seperti format skripsi—tapi maksud saya adalah bahwa pembaca bisa mengerti siapa dan apakah penggali informasi tersebut, agar ilmiah, objektif, dan jujur. Dan saya memang keranjingan pada karya ilmiah, bukan sekedar propaganda atau provokasi atau fitnah!!!

Intinya, buku yang berjudul “Akhir dari ‘Akhir Sejarah’: Sandinista Mengalahkan Amerika” ini adalah dokumentasi proses gerakan sebuah organisasi politik yang dalam sejarahnya sangat berperan dalam memimpin perjuangan rakyat. Peran Sandinista di negara Nikaragua mengiringi sejarah yang panjang bersama dinamika rakyat berhadapan dengan imperialisme Amerika Serikat dan kapitalisme global. Kemenangan kembali Sandinista di tahun 2006, pada saat gelombang gerakan Kiri semarak, akan menambah warna politik yang cukup berpengaruh. Kemenangannya tentu saja tak lepas dari suasana berlawan yang semakin kental di kawasan ini. Tak salah jika di bagian aal buku ini saya mengambarkan daya sokong perlawanan di kawasan, di negara-negara tetangga Nikaragua. Bangkitnya politik Kiri adalah ancaman bagi kelangsungan kekuasaan liberal rejim-rejim yang ada, yang bisa jadi menunggu waktu dalam hal kerontokannya/kekalahannya melawan organisasi-organisasi Kiri yang semakin populer.

Tanpa berpanjang kata, saya ingin sekali buku ini menjadi literatur dalam kajian inernasional/kawasan dan kepolitikan global, terutama bagi mereka yang tertarik dengan gerakan anti-globalisasi. Tetapi saya mengakui bahwa buku ini bukanlah sumber yang lengkap dan sempurna, dan justru karena itulah saya ingin menyampaikan permintaan maaf apabila masih ada keterbatasan dari proyek ini.
Dan bagaimanapun, saya ingin mengucapkan terimakasih pada beberapa pihak yang telah memberikan banyak bantuan dan sokongan. Pihak penerbit (Arruzzwacana), khususnya mas Masrur, adalah tokoh kunci bagi penerbitan buku ini. Kemudian ada yang tak terlupakan, ucapan terimakasih juga saya haturkan pada Mbak Tie, Ibu Siti Fatonah dan keluarga (Nabila, Etika, Deni, Amin Tohari, Mariam, Masroji, dll)—kalianlah yang banyak memberikan doa dan dukungan atas semua kegitanku; Juga “keluarga d Jember” (Ibunda Denok dan Bapak Milko dan Adik Adin)—mereka semua secara langsung atau tidak terlibat dalam proses menyelesaikan naskah ini.
Ucapan terimakasih juga saya sampaikan pada Pak Goerge Junus Aditjondro yang sudi memberikan masukan sekaligus memberi kata pengantar buku ini—sebagai tokoh intelektual kritis dan petualang (baca: sosiolog) yang juga pernah berkunjung ke wilayah Andez, kata sambutan dan apresiasi beliau merupakan kehormatan besar bagi saya. Selain itu pada Gus Solah (Sallahudin Wahid), beliau juga ikut memberikan inspirasi dengan opini-opininya tentang Hugo Chavez, Morales, Daniel Ortega (dan jalan alternatifnya) di Kompas (dan media-media lainnya), saya haturkan terimakasih.

Kawan-kawan di Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (JAMAN), tempat penulis beraktifitas, seperti Iwan Dwi Laksono, Gigih Guntoro, Dedi, Kaka) dan Mas Yudi Haryono, Mas Andi Subiyakto sebagai penyokong gerakan kaum muda kritis-progresif, dapat dikatakan sebagai pendorong utama semangat penulis untuk tetap berproduksi dan berkreasi agar wacana kemandirian dan perubahan dapat meluas hingga perubahan datang menjelang.

Juga kawan-kawan di organisasi kerakyatan yang tidak saya sebutkan satu persatu, kalian adalah pendorong sejati perubahan rakyat. Ada nama-nama lain seperti Budiman Sujatmiko, Dhofir dan Bang Marlin (OPSI), Bang Jusuf Lakaseng; kawan-kawan di Jawa Timur (Fajar, Bram, Nanang, Rudi, Langgeng, dll)—semuanya juga terlibat baik secara mental maupun moral dalam gawe ini.

Selain itu, ucapan terimakasih juga ingin saya haturkan pada beberapa kawan di Yayasan Komunitas Teman Katakata (KOTEKA) yang sekaligus penulis-penulis muda berbakat (Eri Irawan, Maya Siandhira, Deny Ardyansah, Agustinus Suprapto, Timo Teweng, Beta Candra Wisdata, Berti); sepasang intelektual muda Lukman Hakim dan Mbak Indah di The Academos Society (TAS) Pasca-sarjana UNEJ; Edy Firmansyah dan Pram Kecil di Sanggar Bermain Kata (Madura); Mbak Ajeng YAPPIKA Jakarta yang membantu proses pengeprinan naskah; Mas Abubakar Ebi Hara, Phd, Mr. Sugiyanto, Msi. (HI FISIP UNEJ) serta Mas Imam Nursubono Hubungan Internasional FISIP UI (atas sokongan literaturnya) dan akademisi yang berpikiran ilmiah dan maju lainnya di almamater penulis.

Kepada kawan-kawan di organisasi-organisasi mahasiswa dan kaum muda (HIKMAHBUDHI, LMND, PMII, HMI, GMNI, GMKI, IMM, IPNU, KAMMI, FMN, SMI, GMPI, JMD, GMNK, GEMA PEMBEBASAN, dll), saya ucapkan terimakasih karena gawe ini juga diinspirasikan oleh semangat mereka untuk mewujudkan tatanan yang adil makmur di negeri tercinta ini. Tabik! Dan selamat membaca!


Nurani Soyomukti,


Jakarta-Jember,Oktober 2007


________________________
[1] Hal ini sekaligus membuktikan bahwa semakin matang tenaga produktif kapitalis, teknologi kian maju, kapitalisme semakin terancam. (Upaya memajukan tenaga produksi tentu saja tak akan dilakukan oleh kapitalis kalau tidak menguntungkan. Internet adalah produk lama, teknologi perang yang telah digunakan sejak lama, bukan hal baru. Tetapi waktu itu tidak dimassalkan karena masih ada roduk lain yang dapat digunakan untuk mencari keuntungan, belum mengalami titik jenuh. Sekarang internet diluncurkan, di massalkan, awalnya dengan harga mahal, tetapi semakin murah... dan gerakan anti-AS dan anti-kapitalisme justru memanfaatkan teknologi ini).