Senin, 17 November 2008

TENTANG BUKU "INTIMACY":

-------------------------------
Bermula dari kenyataan yang saya jumpai dalam kehidupan sehari-hari, berawal dari melihat dan memahami hubungan antara sesama manusia di sekitar saya. Juga bermula dari pengalaman-pengalaman saya sendiri dalam mengendalikan dan memahami potensi keintiman yang saya miliki, juga orang-orang di sekitar saya yang saya lihat.

Pertama, saya merasa bahwa potensi keintiman saya belum dapat ter-realisasikan, terut
ama hal itu saya sadari saat saya telah gagal membangun hubungan bersama seseorang yang sebenarnya—jujur!—sangat saya cintai. Tetapi hubungan yang gagal adalah hubungan yang aneh, karena keintiman dan keterpisahan dalam hubungan—dengan berbagai manifestasinya (seperti kemesraan saat menyatukan tubuh hingga pertengkaran yang juga tak kalah hebatnya terjadi)—selalu bertarung dalam diri saya dan (mantan) ’kekasih’ (’pacar’) saya. Tetapi saya harus menganalisanya secara detail: ada variabel independen dalam potensi pskikologis antara kami berdua yang masing-masing dibentuk oleh pengalaman hidup sejak kecil... terutama dari pihak saya sendiri yang mengalami banyak pengalaman psikis yang traumatis akibat keluarga (orangtua) yang berantakan (broken home)—alhamdulillah, sekarang sudah tertata kembali justru saat saya mulai dewasa dan konon kabarnya sudah waktunya menjadi orangtua. Hubungan saya yang ’berantakan’ dengan pacar saya yang berujung pada perpisahan tersebut membuat saya memikirkan suatu gejala tentang keintiman dalam hubungan. Itulah faktor pertama yang menggerakkan tangan saya untuk menulis karya ini.

Kedua, sebagaimana saya alami sejak kecil dalam sebuah keluarga yang ’broken’, juga masih banyak hubungan di sekitar saya (dan keluarga saya) yang juga ’broken’, bahkan ’broking degree’-nya melampaui batas normal. Mereka adalah tetangga saya yang saya lihat dengan mata kepala sendiri, sebagian juga masih saudara-saudara saya. Sebagian lagi juga kisah ’broken relation’ yang saya dengar dari kawan-kawan saya selama saya mengembara mengelilingi pulau Jawa—dalam kapasitas saya sebagai pekerja sosial, penulis dan peneliti lepas yang suka melihat-lihat keadaan kehidupan di luar sana. KEINTIMAN telah hilang dari mereka: anak-anak yang tak lagi dielus-elus orang dewasa, terutama Ibu dan bapaknya; gaya pacaran yang dipenuhi kekerasan; hingga relasi makro-sosial dalam masyarakat kita yang kian centang-perenang sebagaimana konflik dan gejolak semakin meluas gara-gara krisis ekonomi, krisis kebudayaan, dan krisis kepercayaan.

Saya terdorong untuk selalu bertanya: bagaimana menjalin ikatan yang harmonis itu? Tentunya, dengan bantuan para psikolog ternama dalam sejarah (Freud, Fromm, dll), saya merasa menemukan apa yang menjadi faktor pengikat hubungan manusia. Keintiman antara sesama adalah hakekat peradaban yang sejati dan maju. Sejarah yang menyangkal keintiman dan
hasrat penyatuan manusia pada dunianya (alam dan sesamanya) adalah sejarah kehidupan yang buruk! Karena inilah saya mengembangkan pemikiran psikologis mendalam (psikoanalisis yang ditemukan Freud dan dikembangkan dan dievaluasi oleh berbagai pemikir berikutnya) untuk melihat potensi keintiman dan bagaimana kita bisa mengembangkan potensi keintiman dengan orang-orang dekat kita—orang-orang yang kita cintai, tentunya!

Ketiga, saya mengikuti berita tentang bagaimana keintiman sebagai potensi kemanusiaan tercederai oleh tindakan destruktif berupa pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Ryan. Tragedi pembunuhan berantai di Jombang Jawa Timur dengan terdakwa Ryan merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang mengenaskan. Pembunuhan dengan motif penyimpangan seksualitas dan secara psikologis dikendalikan oleh penyakit kejiwaan itu patut mendapatkan perhatian kita semua.

Tentunya peristiwa kekerasan berupa pembunuhan itu harus kita sikapi secara arif dan bijaksana. Lebih jauh yang patut kita renungkan adalah sebuah pertanyaan mengapa kondisi kejiwaan seperti dialami Ryan muncul. Tidak mungkin segala sesuatu terjadi tanpa sebab-sebab yang jelas. Sebuah kondisi kejiwaan pasti diakibatkan oleh pengalaman kehidupan yang dibentuknya sejak kecil. Artinya, mental, watak, dan situasi kejiwaan individu dibentuk dari lingkungan tempat ia tinggal.

Tentu kita akan menuduh keluarga sebagai penyebab dari cacatnya pertumbuhan sang anak. Ryan sebagai seorang anak dari keluarganya memiliki kejiwaan yang secara tidak disadari membahayakan orang-orang dekatnya. Tetapi menyalahkan keluarga saja tidak cukup karena keluarga bukanlah lembaga yang independen dari hubungan-hubungan ekonomi-sosial dalam masyarakat yang lebih luas.


Kasus Ryan harus kita kembalikan pada analisa psikologi mendalam (psikoanalisis), kemudian kita kaitkan dengan bagaimana basis material sejarah (situasi sosial) membentuk perkembangan individu-individu dalam masyarakat kita. Ajaran psikologi sosial menghendaki adanya terapi individu dalam kaitannya dengan kondisi yang membentuk pengalaman-pengalaman indindividu yang ada.

Penyimpangan psikologis dalam tiap-tiap anggota masyarakat selalu berkaitan dengan situasi material masyarakat yang juga tak sehat. Erich Fromm, dalam bukunya “Masyarakat Yang Sehat” (1995) menunjukkan bahwa penyimpangan psikologis dan ketimpangan pemanknaan hidup orang sangat berkaitan dengan perkembangan masyarakat kapitalis mutakhir yang semakin menunjukkan wajah ganasnya. Meskipun studi Erich Fromm dilakukan di Negara Barat yang maju (Amerika Serikat/AS), tentu kita dapat menarik kesimpulan yang sama untuk melihat berbagai macam perkembangan masyarakat di dunia Ketiga seperti Indonesia.

Data membuktikan bahwa frustasi merupakan gejala yang meningkat pada saat kapitalisme dengan penindasannya juga merajalela. Pada tahun 2010, sebagaimana ditulis Strategic Plan for Health Development, rasio gangguan kesehatan mental dalam jumlah penduduk nasional diperkirakan 140:1000 bagi orang yang berumur lebih dari 15 tahun. Artinya, dalam setiap 1000 penduduk Indonesia, terdapat 140 orang yang mentalnya tidak sehat. Jumlah ini jauh lebih besar dari pada rasio penyakit fisik, seperti diabetes (16:1000), penyakit kardiak pulmonaris (4,8:1000) atau stokes (5,2:1000). Bagaimanapun, menteri kesehatan memperkirakan bahwa pasien gangguan mental hanya berjumlah 1,5 persen yang saat ini dirawat di rumah-rumah sakit (Jakarta Post, Sabtu 22 Oktober 2005).

Jumlah masyarakat tidak sehat secara fisik seperti pertumbuhannya terganggu, cacat, menderita sakit, di Indonesia sangat besar. Setiap orang di Indonesia dihinggapi rasa takut kalau sewaktu-waktu menderita sakit. Hal ini dihadapkan pada fakta bahwa biaya kesehatan sangat tinggi. Kesehatan fisik masih sangat sulit diakses ketika harga-harga mahal akan membuat orangtua miskin mengurangi anggaran konsumsi nutrisi berkualitas (bergizi) bagi anak-anaknya. Sedang
kan kesehatan mental juga jelas-jelas tergantung pada kesehatan fisik. Pertumbuhan tubuh yang jelek akan menghasilkan kualitas pemikiran dan kreatifitas yang jelek. Adagium mensana in korporesano (dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat) masih tidak dapat terbantahkan.

Menurut saya kasus pembunuhan berantai itu adalah ‘Tragedi Eros’, suatu penyimpangan dari hakekat manusia yang selalu ingin intim dengan sesama. Peradaban tercederai dan instink penyatuan ditolak atau tertolak, inilah wajah peradaban kapitalis kita, hingga mereka yang ‘cintanya tertolak’ atau hasrat-nya dikecewakan—hasrat yang bersumber dari instink keintiman—merasa kecewa dan melakukan tindakan brutal: membunuh, melukai, menyakiti, dan berperilaku menyimpang.

Karena itulah saya berusaha menuliskan risalah tentang ‘KEINTIMAN’ (Intimacy) ini. Buku yang tipis, yang saya harap menyumbangkan gagasan bagi masalah hubungan yang sedang kita jalani, kita berdua, kita bersama orang lain, terutama orang-orang yang kita cintai.

Karya ini dapat terselaikan dengan berbagai macam upaya yang panjang dan lingkungan yang, bagaimanapun, tetap berpihak pada proses kreasi saya dalam melontarkan pandangan-pandangan, keresahan-keresahan, dan kadang juga lebih banyak sentimentalitas. Jadi, puji syukur pada Tuhan Yang Maha Esa, karena saya masih tidak dapat mengukur ruang dan waktu yang mewakili betapa kekuasaan-Nya begitu riil di jagat raya ini.

Kemudian, saya juga minta maaf pada berbagai pihak (entah individu, organisasi, atau sindikat) yang telah terepotkan karena saya meminjam buku-buku dan dokumen mereka; memanfaatkan fasilitas mereka (entah kamar untuk tidur atau makanan pokok ala kadarnya yang mengenyangkan); juga kadang memaksa mereka menghentikan aktifitas sejenak pada saat saya ganggu; di antaranya juga orang-orang yang merasa terganggu karena terlalu seringnya saya datang, atau kadang terpaksa melayani telfon atau sms saat saya ingin menanyakan literatur atau lupa pada nama pengarang judul buku, atau kadang juga berkaitan dengan upaya saya untuk menghilangkan kejenuhan karena terlalu asyik lama menulis. Pada seseorang yang sering mendengar kata-kata saya dari seberang lewat telfon “Kujemput Yuk, Temani Aku Ma’em”, ucapan maaf terbesar kuucapkan padanya.
Lantas, ucapan terimakasih juga saya haturkan atas bantuan dan sumbang-sih yang ka
dang merepotkan itu. Saya yakin kerja penulisan ini, dengan waktu yang relatif lama, akan memberikan masukan bagi wacana pendidikan dan ilmu sosial di sekitar kita.

Karya ini saya persembahkan untuk para guru yang dengan serius dan idealis mendidik para “anak-anak”-nya, yang masih percaya bahwa pendidikan bukan ajang untuk mencari kekayaan tetapi untuk suatu proses pencerahan, pembebasan, dan perubahan...
Karya ini juga saya persembahkan pada anak-anak yang menyukai belajar dan mencari tahu hal-hal baru, yang kadang dengan cara lucu mengernyitkan jidatnya yang masih mulus saat saya melontarkan pertanyaan atau pernyataan baru pada mereka. (Untuk Bambang, Ocid, Nabilla, Amel-Arab, Rizal, Ardi, Oliv, Devi, Imel, Habib, Prisma, Exsel, dll... secara khusus kaya ini saya persembahkan pada mereka—meskipun kadang mereka mengagetkan dan membuyarkan pikiran saat saya sendiri berada di labtop menuai kata-kata; meskipun mereka selalu mengajak ke pantai saat saya berada di kampung setelah berkeliling ke berbagai kota dan desa.

Karya ini juga saya haturkan pada para orangtua (ayah dan ibu) yang ingin melihat anak-anaknya tumbuh dan berkembang baik dengan pengetahuan, wawasan, ketrampilan, dan kekritisan. Termasuk Ibundaku, Endang Siti Fatonah, yang dalam bahasanya sendiri memberikan kasih sayang sejak kecil di tengah kesulitan keluarga, yang selama saya belajar di SMU dan Universitas juga tidak marah atas pemberontakan yang kelewatan saya di masyarakat, yang hanya mencibir saat saya dicari-cari aparat polisi setelah dinyatakan melanggar UU Subversif setelah membakar bendera partai politik yang hingga saat ini masih menjijikkan. Ibunda Fatonah jelas merupakan orang yang paling berjasa pada pertumbuhan saya bahkan setelah saya seharusnya sudah mandiri: menyediakan makanan-makanan bergizi (semacam nasi plus lauk pauk favorit seperti ikan panggang yang dimasak pedas atau telur ikan tuna bumbu pedas), yang tentu saja terlalu lumayan untuk mengganti energi yang saya keluarkan dala penulisan buku-buku, opini, esai, dan puisi-puisi saya di berbagai media. Selain Ibunda, ada Kakanda Erni Suparti yang hingga saat ini masih mendukung segalanya—dan belakangan menyuruh saya (dengan nada agak memaksa) untuk segera menikah pada saat saya sendiri masih merasa cukup muda untuk “membujang”.

Lalu ada Mas Roji, Amin Tohari-Mariam, Etika Erna Wati-S.Prianto, D.B. Andani,
Yu Roma-Mas Yat, Andi, Mbak Siti-Mas No, yang selalu mendoakan saya agar tetap bisa eksis di dunia. Juga saudaraku, Profesor Slamet Riyanto—Si Jenius berkacamata, sang introvert lulusan teknik Nuklir yang tak tertarik menggunakan keahliannya untuk ikut berperang di Taliban: Slamet inilah, sebagai kutu buku, yang banyak memberikan literatur-literatur berbahasa Inggris yang dikopi dari kampusnya (UGM) dan bahkan membantu menterjemahkan beberapa teks bahasa Inggris.

Saya juga patut mengucapkan terimakasih pada kawan-kawan sehati dan seperjuangan: Ahmad Zaenurrofik (serta Shopia) yang mulai menjadi penulis produktif—selamat atas Terbitnya buku ‘Cina’; Heppy Nur Widiamoko (serta Erna Ambarwati) yang mulai merasakan bagaimana asyiknya MENDIDIK anak kecil agar nanti benar-benar seperti Soekarno atau Sidarta. Juga pada kawan-kawan saya Ruudj, Nur Fitriana (Fifi), Dion, Mas Seno, Mbak Anis Megawati, Dr. Widodo, Firman dan Pram, Deny Ardiansyah, Beta Candra Wisdata, Asri Asih Lestari, Kurnia, Ugi, Zahroh, Sony-FLP, dll.

Selamat Membaca dan Berkontemplasi! Selamat mengarungi kata-kata yang saya torehkan untuk selanjutnya jadi bahan diskusi. Karena tentu masih ada kontradiksi dari materi katakata yang tertoreh dalam buku ini!

Nurani Soyomukti,
Sempu-Margomulyo,Awal Puasa/Awal September 2008
---------------------------------------

Senin, 10 November 2008

DESA-DESA YANG KULEWATI:


...

Desadesa yang kulewati menyimpan lukaluka
Ada lima desa dengan lima luka.

Luka pertama:
Tepat di danaunya ada nanah berlumpur
Dan kumankuman peradaban menikmatin malam tanpa bulan

Orang-orang yang dipinggirnya hanya duduk diam
Menahan marah pada kekuasaan.

Luka kedua:
Tepat di kawahnya ada genangan darah
Yang pernah muncrat
Sedikit yang selamat.

Luka ketiga:
Nanah bergetah tepat dilehernya
Pohon-pohon tumbang hilang kepalanya
Seorang laki-laki juga kehilangan kepalanya
Setelah ia lewat di suatu bulak pada suatu malam,
dengan tas berisi uang hasil curian.

Luka keempat:
Tepat di dadanya
Gunung-gunung kehilangan tumbuh-tumbuhan
Kulit-kulitnya sobek, dagingnya rontok menenggelamkan

Rumah-rumah yang di dalamnya penuh jelaga.

Luka kelima:
Desa itu tak kelihatan lukanya
karena air bah
entah kapan mengering.
Musim kemarau belum juga tiba.


*)Situbondo Januari 2008

BALADA HUJAN SORE

...
Hujan sore bukan karena kerinduan
Bukan karena sepi
Dulu hujan adalah titik air mata
Jatuh dari mega
Menusuknusuk bumi
Menghujam ulu hatiku,
Hujan airmata ibuku
Yang rindu anaknya berada di kejauhan

Ternyata Cuma hujan gerimis
Mataharipun menangis
Akankah dimenangkannya senjanya kembali?

Aku telah nyaman berada di sini bersamamu
Sebagai pengembara yang rindu air
Ingin kusentuh sisa-sisa embun yang menempel di keningmu
Merabaraba apa yang kau pikirkan pada setiap pergantian musim!

*[Trenggalek, 09 Oktober 2008]

MALAM MENGASAH PISAU

......
Malam mengasah pisau
Kurobek langit hatiku
Dewa cinta menyandra bumi
Gerimis menangis di musim yang belum jelas
Entah semi entah gugur
Kata kata puisiku

Kadang kucoba menduga apa yang kaupikirkan menjelang tidur
Siang
Malam
Bintang?
Ataukah kunangkunang?
Atau aku yang selalu setia menunggu waktu
Yang pada pagi tak pernah absen mengirimu puisi

Tapi malam mengasah pisau:
Pernahkah engkau bermimpi seorang lelaki
Sedang mengendapendap ingin merobek hatimu,
Setelah ia sangat lelah karena terlalu lama mengembara dalam mimpi?

*[jAKARTA, awal Oktober 2008]

Menulis buku Cinta:

Cinta = Hubungan Bertujuan

Oleh: Nurani Soyomukti

Lebih buruk lagi ketika kita melihat fakta bahwa kisah cinta dijalani dan dipilih hanya karena ikut-ikutan. Maka aturan dan cara menjalaninya juga ikut-ikutan. Pada hal seharusnya tindakan cinta itu memerlukan pemikiran dan pengetahuan yang mendalam. Karena cinta bukanlah suatu hal yang abstrak, maka harus dikenali bagaimanakah ukuranm-ukurannya dan prakteknya yang membuat ia menguatkan hubungan—hubungan yang
dibangun dengan baik, dan bukan diikuti secara mengalir begitu saja.

Jika ukurannya adalah aliran perasaan, tentu saja akan banyak godaan-godaan dalam membangun hubungan. Dalam hubungan cinta eksklusif seperti pacaran dan pernikahan, jika masing-masing pihak yang berhubungan menjalaninya secara mengalir, maka tak akan diketahui arah dan tujuan hubungan itu. Bahkan kenapa mereka berhubungan dan bersatu juga tidak diketahui.

Ketidaktahuan tentang cinta, hubungan, dan kekasih kita akan melahirkan alienasi (keterasingan). Kebodohan adalah musuh umat manusia sepanjang abad, tepatnya musuh diri yang paling hakiki sebagai manusia yang konon telah lepas dari status kebinatangannya. Binatang itu tidak punya akal, pengembaraannya diatur oleh nafsu. Hewan adalah budak keinginan yang caranya hidup juga hanya untuk memenuhi keinginan itu sebagai “tuan” yang membuatnya tidak berpikir dalam bergerak.

Singkatnya, hubungan cinta yang maju lahir dari orang-orang yang menyatukan diri dan diikat dengan tujuan. Tidak capaian yang bisa diperoleh dari jiwa orang yang hidupnya absurd dan tak tahu untuk apa tujuan hidupnya dan tujuan hubungannya, tujuan cintanya. Biasanya ia terombang-ambing oleh lingkungan dan berbagai serangan-serangan pemikiran dan cara pandang dari luar dirinya, tetapi tetap saja ia tak dapat menyerap berbagai hal yang datang untuk mengisi pikiran dan hatinya. Ia tak punya patokan, tak punya ukura yang digunakan untuk menilai diri dan lingkungannya. Lalu, iapun berkata: “Hidupku mengalir, aku tak perlu patokan-patokan, aku tak perlu
menetapkan nilai untuk segala sesuatu. Bahkan aku tak ingin menilai, pada karena aku tak mau menghakimi. Yang penting kepuasan kudapatkan dari semua ini”.

Tetapi tampaknya pengetahuan juga menjadi naluri yang umum di setiap manusia. Aktifitas cuek tanpa pengetahuan dalam suatu hubungan akan membahayakan dan tampaknya merupakan hal yang jarang terjadi. Untuk membangun hubungan dengan seseorang yang ingin kita cintai, misalnya, aktifitas memahami dan memaknai kehadiran seseorang itu sangatlah niscaya. Seorang yang kemudian menjadi kekasih atau teman intim kita tentu adalah orang yang istimewa bagi kita—kecuali, sekali lagi, orang baru itu adalah perempuan yang dijumpai laki-laki di rumah bordir. Orang yang istimewa bagi kita awalnya adalah orang yang pada ’pandangan pertama’ menarik hati kita, setelah dekat ia menimbulkan pertanyaan: ”Siapakah ia?” Kitapun penasaran ingin mengetahui tentangnya.

Saat ada kesempatan bahwa kita semakin dekat dengannya, kita semakin penasaran dan banyak bertanya dan mencari tahu tentang dirinya. Jika ia memiliki pengetahuan dan pengalaman atau kelebihan yang tidak kita punyai, kita beranggapan bahwa orang inilah yang dapat melengkapi kita. Kita ingin menyatu dengan orang ini agar diri kita seakan menjadi lengkap. Kita ingin menjalin hubungan yang lebih erat dengan orang ini, kita ingin terus bersama, kita membangun komitmen—dan kemudian, misalnya, mengikatnya dengan pernikahan.

Sebagai bentuk hubungan eksklusif (sempit) dibanding hubungan antara sesama manusia yang lebih luas (universal), pernikahan merupakan model hubungan di mana sepasang manusia diasumsikan ingin melembagakan suatu bangunan relasi yang didasarkan pada tujuan yang lebih bersifat serius dan jangka panjang. Jadi di sini Nurani menegaskan adalah tujuan adalah kata kunci dan dari tujuan itulah kita bisa mengukur secara dini bagaimana suatu hubungan maju atau tidak.

Jika tujuan pernikahan adalah remeh, maka kita harus mengutuknya, mencegahnya dan jangan menirunya jika kita masih percaya pada cinta dan keadilan. Tak jarang orang-orang oportunis mencari perlindungan dan mengharapankan pamrih dari pernikahan. Dalam buku ”Intimacy”, saya menunjukkan beberapa hal yang dapat saya deteksi dari orang-orang yang melakukan pernikahan sebagai kedok dan untuk alasan kepentingan sempit dan oportunis barangkali adalah sebagai berikut:
[1] pertama, untuk mendapatkan seks an sich. Yang masuk dalam kategori ini biasanya adalah orang yang hanya ingin segera bisa menikmati kenikmatan seksual dan tujuannya menikah hanyalah itu—biasanya yang lain-lainnya tak terlalu dipikirkan, tak dipersiapkan, dan dorongan yang mendesak dari melakukan pernikahan hanyalah seks; Ini biasanya berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Kedua, menikah untuk mendapatkan fasilitas material saja. Tak jarang orang (biasanya lebih banyak perempuan) yang (baik terpaksa atau tidak) menikah agar segera mendapatkan orang yang dapat menghidupinya pada saat ia memang hanya akan tergantung pada orang lain. Terutama bagi perempuan yang tak produktif (menghasilkan pendapatannya sendiri) atau tak kerja, kondisi ketergantungannya akan sangat parah. Bagi perempuan yang memperoleh pendapatan pun, yang sering disebut ”perempuan independen”, mereka juga mengharapkan mendapatkan suami yang lebih kaya. Seakan kebanyakan perempuan memang lebih bahagia apabila ia mendapatkan suami yang lebih dan sangat kaya—seakan sudah menjadi naluri perempuan (meskipun tesis ini masih bisa diperdebatkan, karena ta mungkin suatu mental tak disebabkan oleh kondisi dan situasi historis).

Ketiga, tujuannya menunjukkan dominasi hubungan. Kebanyakan adalah laki-lakilah yang mengangga
p menikah sebagai alat agar ia mendapatkan pendamping (istri) yang bisa melayaninya, yang tunduk patuh padanya, yang mau memberinya keturunan tetapi untuk kejayaan dirinya sendiri—entah untuk menunjukkan eksistensi kelaki-lakiannya (keperkasaannya), dll. Keperkasaan dan narsisme semacam itu tak jarang ditunjukkan dengan ketidakberdayaan perempuan (istri) pada saat ia selingkuh baik resmi (poligami) maupun secara sembunyi-sembunyi.

Pertemuan antara perempuan yang tak produktif—saya menyebutnya sebagai ”parasite eves”—dengan laki-laki kaya yang cenderung narsis dan dominatif ini biasanya akan membuahkan penindasan dalam rumah tangga. Masalahnya: (1) si perempuan tak memiliki daya tawar ekonomis; dia tak memperoleh pendapatan sendiri dan hanya menggantungkan pada laki-laki (suam
i); (2) sang suami merasa bahwa dialah sumber dari pendapatan, artinya sumber kekuasaan. Dalam pola pikir rasional yang kapitalistik, sang istri dianggap sebagai buruh yang diupah oleh majikan (suami) dengan tugas-tugas domestik, misalnya: melayani kebutuhan seksual suami, merawat anak-anak, memasakkan nasi, kadang juga mencucikan baju, membersihkan rumah, dan lain-lain.

Bentuk dekadensi semacam itulah yang membuat hubungan menjadi bentuk yang merusah kemanusiaan, yang kalau kita selidiki lebih lanjut akan membuahkan berbagai bentuk dehumanisasi yang lebih luas yang diterima karena terwariskan kepada anak-anak kita.[]


----------------------------------------------
[1] Nurani Soyomukti. Intimacy: Membangun Kebersamaan dalam Pacaran, Pernikahan, dan Merawat Anak dengan Surga Keintiman. Surabaya: Prestasi Pustaka, 2008.
*****************************************

Jumat, 07 November 2008

Buku Baru NURANI SOYOMUKTI:




Catatan Nurani:

Coretan Tentang Hujan

Suatu hari
kau berjumpa dengan hujan.
Engkau mengembara dan mengembara lagi. Lalu kau mampir ke kota itu dan setelah berencana tinggal selama sebulan untuk menuntaskan sebuah gundah, maka kau jumpai lagi hujan lebat selalu turun di suatu sore.


Engkau tinggal di sebuah kamar lantai dua di mana di depan kamarmu terdapat pohon mangga yang waktu itu berbuah lebat. Saat hujan angin suatu sore, beberapa di antaranya rontok. Engkau mendengarnya dari dalam kamar, karena kaupun tak bisa keluar menembus hujan lebat, untuk sekedar membeli makanan atau menjumpai sahabat-sahabatmu.

“Ini memang musim hujan, dan kita tampaknya akan menerima cuaca ini hingga bulan Desember atau Januari tahun depan”, begitulah kau katakan padaku suatu malam saat hujan telah tuntas tetapi jalanan basah. Waktu itu kita sedang berbincang di tepi jalan, di sebuah warung kecil di mana ibu penjualnya memberimu kopi terbaik di kota itu.
“Iya, tadi aku hanya bisa berdehem di kamar. Hujan lebat. Beberapa buah mangga jatuh di depan kamarku. Entah siapa yang memungutnya kemudian... “.


Menerima hujan yang lebat, kadang aku memang merasa nyaman. Karena seperti ada yang mencurahkan air dari atas, jadi seakan ada yang melindungi kita di atas sana, yang seakan selalu memberi. Menerima air hujan juga mengingat kembali musim yang lalu. Aku dibawa masuk menuju kenangan dalam lorong kamarku yang bolong bagian atapnya
Kupandang senja dari balik jendela, bingkai rindu yang seperti membatasi cuaca. Kemarin lusa kuterima massage dari seorang kawan di Jakarta: “Sini juga hujan lebat Kawan… bahkan aku takut banjir akan dating lagi”.


Lalu aku harus kembali mengingat kenangan itu dari jendela kamarku, saat hujan. Kamarku terletak di lantai dua berhadapan dengan jalan, di depannya ada dua pohon mangga yang berbuah. Aku tidak memetiknya karena musim hujan membuat kita malas untuk makan buah-buahan.

Kamar ini memudahkan aku memungut kenangan, dari jendela. Di luar seakan terlihat Bundaran Hotel Indonesia, yang pernah bergelantung di pintu bus bersama kepala berkeringat. Hari ini seperti terlempar ke luar dari pintu jendela kamar. Seakan masih ada poster di dindingnya memuat seruan “Bentuk Pemerintahan Sementara!” Jalanan sana mengingatkan kembali:
Dalam keadaan tubuhmu yang berkeringat, kau boleh terjun di air kolam yang dicintai pancuran dengan terpaksa. Setelah lelah mengitari jalan bulat,
Seperti dapat mengelilingi dunia dengan cara yang cepat.
Air adalah bagian kehidupan yang paling kucintai, katamu suatu senja.
Lalu kau menceritakan bahwa lebih baik banjir dari pada kebakaran hutan.
Dan aku memilih bukan kedua-duanya.


Kadang hidup ini dapat kita sentuh bila kita menikmati salah satu bagiannya, balasmu.
Aku setuju, seperti senja sore itu, ketika dunia dihimpit oleh siang dan malam, jalan-jalan Jakarta berada dalam dunia kecilnya yang paling molek.
Malamnya batas hidup dan mati begitu tipis,
dunia begitu sesak seperti uang receh yang jatuh dalam seguci tuak.
Karena mere
ka membakar dirinya sendiri, balasmu.

Jadi kau lupa bahwa airpun juga bisa membakar tubuh dan jiwa manusia, seperti di banyak diskotik dan pub kota ini. Banyak momen yang membuat air membuat tubuh dan hati manusia perih.
Bukankah kita juga pernah terkena gas air mata, tukasku.
Lalu mulai hari itu, 22 Mei 1998, kau mencatat aristoteles.


Dunia bukan hanya terbuat dari air, tetapi juga tanah, udara, dan api. Dunia juga terbuat dari benci dan cinta, spanduk milik demonstran dan tank-tank baja milik tentara.
Juga bukan hanya api yang membakar bisa menghanguskan gedung-gedung kota kita, tapi sebuah misteri yang hingga saat ini masih kita cari.
Lalu kita mengakhiri diskusi menjelang maghrib, meninggalkan sisa-sisa nasi bungkus berlebih dan berceceran di taman-taman.

***
Sore ini hujan turun lagi, begitu lebat.
Memang ini
baru awal musim.

Kau ingat 27 Juni 2004, waktu hujan belum juga tiba?
Kali ini engkau benar, Kawan. Bagian kehidupan yang paling layak dicintai adalah air, yang dapat menyegarkan perasaanku hari ini. Karena aku juga membayangkan seorang perempuan cantik di kejauhan sana sedang berbaring, baru saja ia berkata padaku melalui telfon: “Sayang, hujan-hujan kayak gini enaknya tidur. Dan kapan kau kembali? Tak perlu menunggu pergantian musim, bukan?”…

-------------------------------------------