Jumat, 18 Januari 2008

Apresiasi Akademis Buku "REVOLUSI SANDINISTA":

_________________________________
Kemenangan Demokrasi Popular Amerika Latin

Oleh: Airlangga Pribadi
Staf Pengajar Gerakan Sosial Politik &
Peneliti Laboratorium Politik FISIP Universitas Airlangga


Salah satu peristiwa mengejutkan di decade awal tahun 2000-an adalah kemenangan kekuatan-kekuatan kiri melalui Pemilu Presiden di beberapa negara Amerika Latin. Keberhasilan Daniel Ortega (veteran pemimpin gerilyawan Sandinista) untuk merebut kursi kepresidenan melalui pemilu di Nicaragua, kemenangan politik doktor ekonomi Rafael Correa dari sayap nasionalis kiri pada Pemilu Presiden Ekuador, dan keberhasilan pemimpin populis Hugo Chaves menjabat Presiden kedua kalinya pada pilpres yang dilaksanakan di Venezuela. Kesemua fenomena tersebut semakin memantapkan konsolidasi kepemimpinan kelompok Kiri dan gelombang pasang demokrasi popular pada sembilan negara di Amerika Latin.

Kemenangan kekuatan-kekuatan kiri di Amerika Latin merupakan symbol dari keruntuhan konsensus ekonomi politik global yang dibangun sejak akhir tahun 1980-an, ketika kemenangan demokrasi yang mendunia dimaknai sebagai akhir dari sejarah yang menggoreskan tinta kemenangan demokrasi liberal dan pasar bebas diatas gagasan-gagasan alternatif lainnya yang lebih manusiawi. Mengingat secara empiris terbukti narasi dominant demokrasi neo-liberal justru memfasilitasi akusisi diam-diam otoritas negara yang bekerja bagi kepentingan korporasi dan meninggalkan aspirasi warga sebagai konstituennya.

Dalam konteks pertarungan besar membongkar wacana hegemonic sejarah tentang demokrasi pasar bebas inilah tulisan seorang penulis muda Nurani Soyomukti tentang Sandinista Akhir dari Akhir Sejarah: Gerakan Sandinista Melawan Amerika menemukan relevansinya. Narasi tentang Kapitalisme dan demokrasi liberal sebagai akhir dari sejarah pada kenyataannya tidak mendapatkan pijakannya secara empiric, terbukti satu tahun setelah publikasi buku tersebut, yaitu tahun 1994, gerakan melawan kapitalisme neoliberal tampil dalam manifestasi gerakan Zapatista di Mexico yang menginspirasikan lahirnya kembali artikulasi politik kiri di Amerika Latin.

Jauh dari membawa berkah, proyek demokrasi berbasis neoliberal memunculkan persoalan-persoalan serius bagi masyarakat Amerika Latin. Seperti diuraikan oleh Frank O. Mara dan Karl Kalthenthaler (1998) dalam Neo-Liberalism in Latin America, keberlangsungan praktek rezime neoliberalism di Amerika Latin selama pengalaman tiga gelombang periode (sejak tahun 1980-an sampai paruh akhir tahun 1990-an) membawa pada krisis sosial bagi masyarakat Amerika Latin. Reformasi ekonomi berbasis liberalisasi pasar bebas dan pemangkasan berbagai program sosial, alih-alih membangun kultur produktif dan kompetisi justru memperluas kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin dan problema pengangguran. Kondisi sosial yang dihadapi oleh para petani dan buruh Amerika Latin pada paruh akhir tahun 1990-an lebih buruk daripada sebelum tahun 1980-an. Setidaknya di Amerika Latin sampai tahun 1998 tercatat kurang lebih 200 juta jiwa hidup dibawah garis kemiskinan. Selain itu, ketimpangan distribusi tanah juga berlangsung di negara-negara Amerika Latin.

Secara politis, proses restrukturisasi ekonomi berbasis neoliberal mengakibatkan erosi kapasitas negara untuk mengelola krisis sosial akibat pembelahan sosial dan meluasnya perasaan tidak aman dan kriminalitas akibat frustasi dan kekecewaan yang tumbuh dari publik ketika negara tidak mampu melindungi warga dari kekuatan korporasi yang bersifat amoral. Pengalaman Amerika Latin selama dibawah bendera neoliberalisme secara faktual telah menjadikan wilayah tersebut sebagai salah satu dari negara-negara dengan tingkat ketimpangan ekonomi tertinggi di dunia dengan diiringi keruntuhan otoritas politik negara untuk melindungi dan menjaga kepentingan bersama dari warganya.

Penolakan publik terhadap diskursus free market-democracy dan ekses pemiskinan struktural yang berlangsung telah memunculkan momentum bagi tumbuhnya artikulasi-artikulasi politik alternatif di Amerika Latin. Intelektual politik asal Inggris yaitu Gideon Baker (2002) menguraikan munculnya politik gerakan sosial baru di Amerika Latin sejak paruh akhir tahun 1980-an. Seiring dengan eksklusi sosial politik warga oleh kekuatan negara dan pembajakan otoritas negara oleh kekuatan korporasi, maka tumbuhlah gerakan-gerakan sosial berbasis komunitas lokal seperti Zapatista di Meksiko, gerakan kelas pekerja dan petani di Brazil dan Bolivia yang memperjuangkan reformasi agraria dan fair trade sebagai lawan free trade, koalisi gerakan rakyat berbasis kaum pekerja, jurnalis, kelas pekerja, intelektual, guru dan petani di Venezuela, Ekuador dan Argentina serta berbagai komunitas akar rumput lainnya seperti kaum perempuan dan masyarakat adat yang memperjuangkan imajinasi politik baru dengan tawaran alternatif tatanan sosial yang lebih humanis.
Gerakan-gerakan sosial tersebut mengartikulasikan isu-isu komunitas kewargaan yang melampaui orientasi kelas, memperjuangkan politik otentik-kemandirian, terbentuk dalam konteks lokal-berbasis akar rumput, bergerak diluar struktur politik formal, namun mereka saling terhubung melalui jaringan-jaringan gerakan yang solid dengan menyuarakan pengalaman kemiskinan dan peminggiran sosial politik yang mereka alami sehari-hari. Perlahan-lahan mereka mengorganisasikan diri dan mentransformasikan diri tidak saja semata-mata sebagai gerakan sosial namun turut mentransformasi arena politik.

Jalur Politik Progresif
Keberhasilan politik kaum kiri dalam arena politik di Amerika Latin sejak periode awal abad ke-21 ini, merupakan buah keberhasilan perjuangan gerakan-gerakan sosial akar rumput yang bersinergis dengan kekuatan-kekuatan politik progresif. Mereka berjuang memanfaatkan demokrasi elektoral sebagai sarana melakukan transformasi politik secara mendasar bagi kepentingan publik. Sehubungan dengan kemenangan kekuatan kiri di Amerika Latin dalam mempertahankan kedaulatan politik rakyat ada beberapa hal yang dapat kita jadikan sebagai bahan renungan untuk membenahi lingkungan dan realitas politik di Indonesia.

Pertama, kemenangan demokrasi popular di Amerika Latin merupakan symbol kemenangan politik yang memperjuangkan kemandirian dan politik otentisitas. Di tengah desakan dan rayuan agenda pasar bebas dari Washington Consensus, para pemimpin politik Amerika Latin berani mengambil inisiatif langkah-langkah politik otonom diluar kelaziman. Langkah banting stir beberapa negara Amerika Latin keluar dari paradigma neoliberal adalah aksi konkret untuk menegaskan politik kemandirian dan menggunakan kekuasaan politik sesuai dengan amanat yang diberikan oleh publik kepada para pemimpinnya.

Rafael Correa setelah memenangi Pilpres di Ekuador misalnya berjanji untuk mereformasi konstitusi Ekuador menjadi lebih pro-rakyat, dan mempertimbangkan suara dari kelas pekerja daripada kepentingan self interest dari korporasi. Sementara Presiden Venezuela Hugo Chaves berani melakukan langkah politik radikal mengubah kesepakatan ekonomi antara negara dengan pihak korporasi minyak, dengan pengalihan keuntungan sebesar-besarnya dari penjualan minyak bagi kesejahteraan kehidupan rakyat Venezuela.

Kedua, arus gelombang pasang demokrasi popular di Amerika Latin merupakan hasil dari kerja keras menghimpun kekuatan blok histories antara elemen-elemen gerakan sosial di wilayah masyarakat sipil dan kekuatan partai-partai progresif. Keberhasilan penegakan kedaulatan politik rakyat di negara-negara Amerika Latin berlangsung melalui proses koalisi kekuatan progresif yang mempertemukan arus besar gerakan sosial akar rumput dengan kesabaran revolusioner dari para pemimpin dan kekuatan politik progresif disana untuk mendengar, mempertimbangkan dan mengorganisir suara rakyat yang selama ini terpinggirkan dan berjuang melalui jalur demokrasi elektoral.

Ketiga, praktek-praktek demokrasi popular yang dijalankan di beberapa negara Amerika Latin, melampaui praktek demokrasi konvensional liberal yang hanya melibatkan rakyat hanya dalam pemilihan umum. Desain demokrasi deliberatif yang telah melembaga seperti di Brazil dibawah pimpinan Presiden Luiz Ignazio ‘Lula’ da Silva dari Partindo Trahabaldores (Partai Buruh) meradikalisasi praktek politik demokrasi, dengan membuka kesempatan bagi publik tidak hanya untuk terlibat dalam proses politik keseharian bagi kepentingan mereka, namun lebih dari itu termanifes secara konkret untuk terlibat dalam penentuan anggaran publik melalui model Participatory Budgeting, sehingga warga dapat menekan agar seluruh anggaran yang disahkan di seluruh daerah diprioritaskan bagi kepentingan mereka.
Pengalaman praktis demokrasi popular di Amerika Latin semestinya mendorong para aktivis pejuang demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia untuk merumuskan kerja-kerja politik yang otentik bagi pemulihan kedaulatan publik. Tentunya tantangan pemulihan tersebut teras berat dan mendaki jalan yang terjal, mengingat saat ini partai politik sebagai penjaga tatanan demokrasi ternyata jauh, berjarak dari agenda-agenda publik, dan hanya mengejar kepentingannya dalam arena demokrasi padat modal. Ketika kita mengaji dari suksesnya jalan demokrasi popular Amerika Latin, maka proses awal transformasi politik di Indonesia sepertinya membutuhkan berbagai perubahan karakter elite politik, intensitas perjuangan masyarakat sipil, serta kepercayaan yang kuat bahwa jalan-jalan alternatif berbasis politik kemandirian masih sangat memungkinkan untuk dijalankan untuk merealisasi tata keadilan di republik ini.

Karya Nurani Soyomukti, seorang kaum muda yang sangat produktif ini, adalah salah satu ikhtiar untuk menyorot salah satu Negara di mana gerakan popular memenangkan pemilu, setidaknya kelompok lliberal pro-imperialis AS dapat dikalahkan melalui pemilu. Sandinista adalah salah satu gerakan rakyat yang cukup legendaries, keberhasilan dan kelemahannya tentu dapat dijadikan pelajaran bagi kita semua.



Surabaya, 26 November 2007

Tidak ada komentar: