Senin, 17 November 2008

TENTANG BUKU "INTIMACY":

-------------------------------
Bermula dari kenyataan yang saya jumpai dalam kehidupan sehari-hari, berawal dari melihat dan memahami hubungan antara sesama manusia di sekitar saya. Juga bermula dari pengalaman-pengalaman saya sendiri dalam mengendalikan dan memahami potensi keintiman yang saya miliki, juga orang-orang di sekitar saya yang saya lihat.

Pertama, saya merasa bahwa potensi keintiman saya belum dapat ter-realisasikan, terut
ama hal itu saya sadari saat saya telah gagal membangun hubungan bersama seseorang yang sebenarnya—jujur!—sangat saya cintai. Tetapi hubungan yang gagal adalah hubungan yang aneh, karena keintiman dan keterpisahan dalam hubungan—dengan berbagai manifestasinya (seperti kemesraan saat menyatukan tubuh hingga pertengkaran yang juga tak kalah hebatnya terjadi)—selalu bertarung dalam diri saya dan (mantan) ’kekasih’ (’pacar’) saya. Tetapi saya harus menganalisanya secara detail: ada variabel independen dalam potensi pskikologis antara kami berdua yang masing-masing dibentuk oleh pengalaman hidup sejak kecil... terutama dari pihak saya sendiri yang mengalami banyak pengalaman psikis yang traumatis akibat keluarga (orangtua) yang berantakan (broken home)—alhamdulillah, sekarang sudah tertata kembali justru saat saya mulai dewasa dan konon kabarnya sudah waktunya menjadi orangtua. Hubungan saya yang ’berantakan’ dengan pacar saya yang berujung pada perpisahan tersebut membuat saya memikirkan suatu gejala tentang keintiman dalam hubungan. Itulah faktor pertama yang menggerakkan tangan saya untuk menulis karya ini.

Kedua, sebagaimana saya alami sejak kecil dalam sebuah keluarga yang ’broken’, juga masih banyak hubungan di sekitar saya (dan keluarga saya) yang juga ’broken’, bahkan ’broking degree’-nya melampaui batas normal. Mereka adalah tetangga saya yang saya lihat dengan mata kepala sendiri, sebagian juga masih saudara-saudara saya. Sebagian lagi juga kisah ’broken relation’ yang saya dengar dari kawan-kawan saya selama saya mengembara mengelilingi pulau Jawa—dalam kapasitas saya sebagai pekerja sosial, penulis dan peneliti lepas yang suka melihat-lihat keadaan kehidupan di luar sana. KEINTIMAN telah hilang dari mereka: anak-anak yang tak lagi dielus-elus orang dewasa, terutama Ibu dan bapaknya; gaya pacaran yang dipenuhi kekerasan; hingga relasi makro-sosial dalam masyarakat kita yang kian centang-perenang sebagaimana konflik dan gejolak semakin meluas gara-gara krisis ekonomi, krisis kebudayaan, dan krisis kepercayaan.

Saya terdorong untuk selalu bertanya: bagaimana menjalin ikatan yang harmonis itu? Tentunya, dengan bantuan para psikolog ternama dalam sejarah (Freud, Fromm, dll), saya merasa menemukan apa yang menjadi faktor pengikat hubungan manusia. Keintiman antara sesama adalah hakekat peradaban yang sejati dan maju. Sejarah yang menyangkal keintiman dan
hasrat penyatuan manusia pada dunianya (alam dan sesamanya) adalah sejarah kehidupan yang buruk! Karena inilah saya mengembangkan pemikiran psikologis mendalam (psikoanalisis yang ditemukan Freud dan dikembangkan dan dievaluasi oleh berbagai pemikir berikutnya) untuk melihat potensi keintiman dan bagaimana kita bisa mengembangkan potensi keintiman dengan orang-orang dekat kita—orang-orang yang kita cintai, tentunya!

Ketiga, saya mengikuti berita tentang bagaimana keintiman sebagai potensi kemanusiaan tercederai oleh tindakan destruktif berupa pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Ryan. Tragedi pembunuhan berantai di Jombang Jawa Timur dengan terdakwa Ryan merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang mengenaskan. Pembunuhan dengan motif penyimpangan seksualitas dan secara psikologis dikendalikan oleh penyakit kejiwaan itu patut mendapatkan perhatian kita semua.

Tentunya peristiwa kekerasan berupa pembunuhan itu harus kita sikapi secara arif dan bijaksana. Lebih jauh yang patut kita renungkan adalah sebuah pertanyaan mengapa kondisi kejiwaan seperti dialami Ryan muncul. Tidak mungkin segala sesuatu terjadi tanpa sebab-sebab yang jelas. Sebuah kondisi kejiwaan pasti diakibatkan oleh pengalaman kehidupan yang dibentuknya sejak kecil. Artinya, mental, watak, dan situasi kejiwaan individu dibentuk dari lingkungan tempat ia tinggal.

Tentu kita akan menuduh keluarga sebagai penyebab dari cacatnya pertumbuhan sang anak. Ryan sebagai seorang anak dari keluarganya memiliki kejiwaan yang secara tidak disadari membahayakan orang-orang dekatnya. Tetapi menyalahkan keluarga saja tidak cukup karena keluarga bukanlah lembaga yang independen dari hubungan-hubungan ekonomi-sosial dalam masyarakat yang lebih luas.


Kasus Ryan harus kita kembalikan pada analisa psikologi mendalam (psikoanalisis), kemudian kita kaitkan dengan bagaimana basis material sejarah (situasi sosial) membentuk perkembangan individu-individu dalam masyarakat kita. Ajaran psikologi sosial menghendaki adanya terapi individu dalam kaitannya dengan kondisi yang membentuk pengalaman-pengalaman indindividu yang ada.

Penyimpangan psikologis dalam tiap-tiap anggota masyarakat selalu berkaitan dengan situasi material masyarakat yang juga tak sehat. Erich Fromm, dalam bukunya “Masyarakat Yang Sehat” (1995) menunjukkan bahwa penyimpangan psikologis dan ketimpangan pemanknaan hidup orang sangat berkaitan dengan perkembangan masyarakat kapitalis mutakhir yang semakin menunjukkan wajah ganasnya. Meskipun studi Erich Fromm dilakukan di Negara Barat yang maju (Amerika Serikat/AS), tentu kita dapat menarik kesimpulan yang sama untuk melihat berbagai macam perkembangan masyarakat di dunia Ketiga seperti Indonesia.

Data membuktikan bahwa frustasi merupakan gejala yang meningkat pada saat kapitalisme dengan penindasannya juga merajalela. Pada tahun 2010, sebagaimana ditulis Strategic Plan for Health Development, rasio gangguan kesehatan mental dalam jumlah penduduk nasional diperkirakan 140:1000 bagi orang yang berumur lebih dari 15 tahun. Artinya, dalam setiap 1000 penduduk Indonesia, terdapat 140 orang yang mentalnya tidak sehat. Jumlah ini jauh lebih besar dari pada rasio penyakit fisik, seperti diabetes (16:1000), penyakit kardiak pulmonaris (4,8:1000) atau stokes (5,2:1000). Bagaimanapun, menteri kesehatan memperkirakan bahwa pasien gangguan mental hanya berjumlah 1,5 persen yang saat ini dirawat di rumah-rumah sakit (Jakarta Post, Sabtu 22 Oktober 2005).

Jumlah masyarakat tidak sehat secara fisik seperti pertumbuhannya terganggu, cacat, menderita sakit, di Indonesia sangat besar. Setiap orang di Indonesia dihinggapi rasa takut kalau sewaktu-waktu menderita sakit. Hal ini dihadapkan pada fakta bahwa biaya kesehatan sangat tinggi. Kesehatan fisik masih sangat sulit diakses ketika harga-harga mahal akan membuat orangtua miskin mengurangi anggaran konsumsi nutrisi berkualitas (bergizi) bagi anak-anaknya. Sedang
kan kesehatan mental juga jelas-jelas tergantung pada kesehatan fisik. Pertumbuhan tubuh yang jelek akan menghasilkan kualitas pemikiran dan kreatifitas yang jelek. Adagium mensana in korporesano (dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat) masih tidak dapat terbantahkan.

Menurut saya kasus pembunuhan berantai itu adalah ‘Tragedi Eros’, suatu penyimpangan dari hakekat manusia yang selalu ingin intim dengan sesama. Peradaban tercederai dan instink penyatuan ditolak atau tertolak, inilah wajah peradaban kapitalis kita, hingga mereka yang ‘cintanya tertolak’ atau hasrat-nya dikecewakan—hasrat yang bersumber dari instink keintiman—merasa kecewa dan melakukan tindakan brutal: membunuh, melukai, menyakiti, dan berperilaku menyimpang.

Karena itulah saya berusaha menuliskan risalah tentang ‘KEINTIMAN’ (Intimacy) ini. Buku yang tipis, yang saya harap menyumbangkan gagasan bagi masalah hubungan yang sedang kita jalani, kita berdua, kita bersama orang lain, terutama orang-orang yang kita cintai.

Karya ini dapat terselaikan dengan berbagai macam upaya yang panjang dan lingkungan yang, bagaimanapun, tetap berpihak pada proses kreasi saya dalam melontarkan pandangan-pandangan, keresahan-keresahan, dan kadang juga lebih banyak sentimentalitas. Jadi, puji syukur pada Tuhan Yang Maha Esa, karena saya masih tidak dapat mengukur ruang dan waktu yang mewakili betapa kekuasaan-Nya begitu riil di jagat raya ini.

Kemudian, saya juga minta maaf pada berbagai pihak (entah individu, organisasi, atau sindikat) yang telah terepotkan karena saya meminjam buku-buku dan dokumen mereka; memanfaatkan fasilitas mereka (entah kamar untuk tidur atau makanan pokok ala kadarnya yang mengenyangkan); juga kadang memaksa mereka menghentikan aktifitas sejenak pada saat saya ganggu; di antaranya juga orang-orang yang merasa terganggu karena terlalu seringnya saya datang, atau kadang terpaksa melayani telfon atau sms saat saya ingin menanyakan literatur atau lupa pada nama pengarang judul buku, atau kadang juga berkaitan dengan upaya saya untuk menghilangkan kejenuhan karena terlalu asyik lama menulis. Pada seseorang yang sering mendengar kata-kata saya dari seberang lewat telfon “Kujemput Yuk, Temani Aku Ma’em”, ucapan maaf terbesar kuucapkan padanya.
Lantas, ucapan terimakasih juga saya haturkan atas bantuan dan sumbang-sih yang ka
dang merepotkan itu. Saya yakin kerja penulisan ini, dengan waktu yang relatif lama, akan memberikan masukan bagi wacana pendidikan dan ilmu sosial di sekitar kita.

Karya ini saya persembahkan untuk para guru yang dengan serius dan idealis mendidik para “anak-anak”-nya, yang masih percaya bahwa pendidikan bukan ajang untuk mencari kekayaan tetapi untuk suatu proses pencerahan, pembebasan, dan perubahan...
Karya ini juga saya persembahkan pada anak-anak yang menyukai belajar dan mencari tahu hal-hal baru, yang kadang dengan cara lucu mengernyitkan jidatnya yang masih mulus saat saya melontarkan pertanyaan atau pernyataan baru pada mereka. (Untuk Bambang, Ocid, Nabilla, Amel-Arab, Rizal, Ardi, Oliv, Devi, Imel, Habib, Prisma, Exsel, dll... secara khusus kaya ini saya persembahkan pada mereka—meskipun kadang mereka mengagetkan dan membuyarkan pikiran saat saya sendiri berada di labtop menuai kata-kata; meskipun mereka selalu mengajak ke pantai saat saya berada di kampung setelah berkeliling ke berbagai kota dan desa.

Karya ini juga saya haturkan pada para orangtua (ayah dan ibu) yang ingin melihat anak-anaknya tumbuh dan berkembang baik dengan pengetahuan, wawasan, ketrampilan, dan kekritisan. Termasuk Ibundaku, Endang Siti Fatonah, yang dalam bahasanya sendiri memberikan kasih sayang sejak kecil di tengah kesulitan keluarga, yang selama saya belajar di SMU dan Universitas juga tidak marah atas pemberontakan yang kelewatan saya di masyarakat, yang hanya mencibir saat saya dicari-cari aparat polisi setelah dinyatakan melanggar UU Subversif setelah membakar bendera partai politik yang hingga saat ini masih menjijikkan. Ibunda Fatonah jelas merupakan orang yang paling berjasa pada pertumbuhan saya bahkan setelah saya seharusnya sudah mandiri: menyediakan makanan-makanan bergizi (semacam nasi plus lauk pauk favorit seperti ikan panggang yang dimasak pedas atau telur ikan tuna bumbu pedas), yang tentu saja terlalu lumayan untuk mengganti energi yang saya keluarkan dala penulisan buku-buku, opini, esai, dan puisi-puisi saya di berbagai media. Selain Ibunda, ada Kakanda Erni Suparti yang hingga saat ini masih mendukung segalanya—dan belakangan menyuruh saya (dengan nada agak memaksa) untuk segera menikah pada saat saya sendiri masih merasa cukup muda untuk “membujang”.

Lalu ada Mas Roji, Amin Tohari-Mariam, Etika Erna Wati-S.Prianto, D.B. Andani,
Yu Roma-Mas Yat, Andi, Mbak Siti-Mas No, yang selalu mendoakan saya agar tetap bisa eksis di dunia. Juga saudaraku, Profesor Slamet Riyanto—Si Jenius berkacamata, sang introvert lulusan teknik Nuklir yang tak tertarik menggunakan keahliannya untuk ikut berperang di Taliban: Slamet inilah, sebagai kutu buku, yang banyak memberikan literatur-literatur berbahasa Inggris yang dikopi dari kampusnya (UGM) dan bahkan membantu menterjemahkan beberapa teks bahasa Inggris.

Saya juga patut mengucapkan terimakasih pada kawan-kawan sehati dan seperjuangan: Ahmad Zaenurrofik (serta Shopia) yang mulai menjadi penulis produktif—selamat atas Terbitnya buku ‘Cina’; Heppy Nur Widiamoko (serta Erna Ambarwati) yang mulai merasakan bagaimana asyiknya MENDIDIK anak kecil agar nanti benar-benar seperti Soekarno atau Sidarta. Juga pada kawan-kawan saya Ruudj, Nur Fitriana (Fifi), Dion, Mas Seno, Mbak Anis Megawati, Dr. Widodo, Firman dan Pram, Deny Ardiansyah, Beta Candra Wisdata, Asri Asih Lestari, Kurnia, Ugi, Zahroh, Sony-FLP, dll.

Selamat Membaca dan Berkontemplasi! Selamat mengarungi kata-kata yang saya torehkan untuk selanjutnya jadi bahan diskusi. Karena tentu masih ada kontradiksi dari materi katakata yang tertoreh dalam buku ini!

Nurani Soyomukti,
Sempu-Margomulyo,Awal Puasa/Awal September 2008
---------------------------------------

Tidak ada komentar: