Senin, 26 Mei 2008
Resensi Buku "DARI DEMONSTRASI HINGGA SEKS BEBAS":
MAHASISWA TUMBAL KAPITALISME
JAWA POS/Minggu, 18 Mei 2008
Oleh: Faizah S.A., Guru SMK Al-Munawwir Krapyak Jogjakarta
AHMAD Wahib (1942-1973) sempat menambang kerisauan ketika mengamati pola gerakan mahasiswa: "Kalau gerakan mahasiswa Indonesia dibandingkan dengan negara-negara maju, saya kira kita ketinggalan puluhan tahun, baik dari segi keradikalan ide-idenya, kerevolusioneran sikap-sikapnya, kematangan koordinasinya, serta kekompakannya. Meski demikian kita boleh bangga bahwa pemimpin-pemimpin gerakan mahasiswa sebelum kemerdekaan adalah pejuang sekaligus pemikir." Kegelisahan yang digemakan Wahib dalam Pergolakan Pemikiran Islam pada 23 Oktober 1970 itu hingga kini masih terasa gaungnya.
Apalagi ketika mengamati gerakan mahasiswa saat ini yang bias oleh kepentingan pragmatis serta tidak memiliki pijakan paradigmatik yang jelas. Gerakan mahasiswa pun tumpul. Dan, predikat agen perubahan (agent of change) seperti bertengger di menara gading.Gerakan mahasiswa pernah mencapai klimaks pada Mei 1998 ketika berhasil menumbangkan (rezim otoriter) Soeharto sekaligus meneluhkan badai reformasi. Namun perlahan gelombang gerakan mahasiswa pun menyusut. Hatta, satu dasawarsa kemudian, Mei 2008, reformasi ternyata belum menghasilkan perubahan substansial yang benar-benar berarti. Tak ubahnya gerbong kosong, sebab reformasi tak dikawal dengan gerakan sistemik untuk membumikan agenda-agenda kerakyatan. Pertanyaan pun mencuat: ke manakah mereka, para mahasiswa, itu?
Nurani Soyomukti mendedahkan jawabnya dalam buku ini. Alumnus Fisip Universitas Jember itu menuduh mahasiswa saat ini tengah meringkuk dalam ruang pengap budaya yang dikonstruksi oleh kapitalisme. Dengan keperkasaannya, kapitalisme mengasingkan mahasiswa dari realitas sosial dan kebiasaan berpikir kritis serta berilmu pengetahuan, baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus. Kapitalisme telah menelikung eksistensi mahasiswa agar tak lagi dapat menjadi "mahasiswa sejati" yang getol membela kebenaran dan keadilan, sehingga lahirlah generasi mahasiswa bergaya hidup anti-ilmiah dan anti-aksi-aksi advokasi kerakyatan (hlm. 23).
Meski masih ada segelintir mahasiswa yang berusaha loyal dengan khitahnya sebagai agen perubahan, keberadaan mereka mirip sepercik tinta yang menetes di lautan. Mereka gagal membangun pencitraan massif yang positif terhadap mahasiswa. Ironisnya, justru citra negatif yang kerap melekat pada diri mahasiswa karena acapkali tersandung kasus-kasus amoral.Itulah sekelumit fenomena buram gaya hidup mahasiswa yang dipotret buku ini: mulai dari melemahnya tradisi berpikir kritis lewat forum-forum diskusi yang tergantikan oleh budaya cangkrukan dan ngerumpi sambil pencat-pencet HP, menguatnya sikap hedonistik dengan gemar berbelanja di mal ketimbang membeli buku, bahkan merayakan pesta narkoba dan prostitusi terselubung.
Soyomukti menguraikannya dengan sangat gamblang tentang bagaimana terjadi pergeseran karakter mahasiswa dalam setiap zaman sampai pencitraan mahasiswa yang berubah di mata masyarakat.Mahasiswa memang mengalami penindasan kapitalisme melalui konstruksi gaya hidup dan budaya keseharian. Tanpa mereka sadari, nalar kritisnya ditumpulkan dan akses pengetahuan meski tampak kasat mata namun terbentur budaya tanding yang berorientasi pada pemenuhan hasrat hedonistik yang menggelapkan mata.
Dalam situasi demikian, eksistensi mahasiswa benar-benar berada di tubir jurang kehancuran.Betapa tidak, mahasiswa kini dikepung kapitalisme dari berbagai penjuru, mulai privatisasi pendidikan, materi pendidikan yang semata-mata mengabdi pada kepentingan industri pasar, serbuan realitas semu media yang menampilkan hipokritisme sosial melalui sinetron dan tayangan infotainment. Hal ini mengindikasikan kehidupan mahasiswa yang kian berjarak dengan realitas ketidakadilan dan pemiskinan masyarakat. Mereka kiranya tak menyadari bahwa semakin masuk dalam pusaran kultur yang diciptakan kapitalisme, maka eksistensi dan gaya hidup mereka pada hakikatnya tengah diteror (hlm. 80-91).
Dalam menganalisis fenomena kehidupan mahasiswa ini, Soyomukti tidak terjebak pada pendekatan moral-religius. Misalnya seperti yang dilakukan Iip Wijayanto dengan Sex in The Kost. Pendekatan demikian hanya melihat objek dengan kacamata hitam-putih dan mengasumsikan mahasiswa hidup di ruang hampa. Naga-naganya, pendekatan ini cenderung melarang atau mengharuskan dengan kriteria moral tertentu. Gaya hidup mahasiswa yang menyimpang serta sirnanya idealitas kerakyatan lantas dituduh sebagai temperamen yang memang sudah melekat. Bagi Soyomukti, moral bukanlah sebab, melainkan akibat dari kontradiksi kapitalisme.Karena itu, cukup masuk akal bila refleksi Soyomukti dalam buku ini sangat menarik dan terbilang tidak biasa. Ia tidak hanya melihat wajah makro kehidupan mahasiswa, tetapi juga meneroka fenomena subtil dan terdalam dari mahasiswa.
Maka, lebih dari sekadar reportase gerakan mahasiswa, buku ini mengungkap sisi lain kehidupan mahasiswa yang nyaris tak tersentuh oleh karya-karya serupa lainnya.Namun, di tengah-tengah kepiawaian Soyomukti dalam mengeksplorasi teori-teori kritis dan pemikiran kiri ala Marxian, psikologi Frommian, dan filsafat cinta Gibranian sebagai pisau analisis kajian, ia masih terkesan kurang tajam dalam menelanjangi teknologi kekuasaan dan kepentingan ideologis kapitalisme yang meneror kehidupan mahasiswa, sehingga analisisnya pun terasa agak normatif. Dus, munculnya garis demarkasi antara kegiatan subtil seperti berpacaran, dugem, shopping di mal dengan menelusuri kenikmatan belajar dan membangun aksi-gerakan melahirkan stigma moralitas oposisi biner. Kesan mereproduksi gaya tutur bernuansa dakwah pun tidak tertampik meski disusupi dengan analisis wacana kekiri-kirian.
Selain itu, meski cukup detail menjelajahi lajur-lajur pembebasan mahasiswa dalam konteks bernalar dan berpikir kritis guna membongkar hegemoni kapitalisme, buku ini tidak tegas memberi jawaban mengenai bagaimana praktik pembebasan yang terintegrasi dengan kekuatan-kekuatan gerakan rakyat dalam membumikan agenda kerakyatan.
Secuplik kelemahan tersebut tentu tidak mengurangi signifikansi dan kontribusi positif buku ini. Karena itu, buku ini layak diapresiasi para (calon) mahasiswa untuk bercermin, sekaligus bekal introspeksi dalam memaknai eksistensinya. (*)
JAWA POS/Minggu, 18 Mei 2008
Oleh: Faizah S.A., Guru SMK Al-Munawwir Krapyak Jogjakarta
AHMAD Wahib (1942-1973) sempat menambang kerisauan ketika mengamati pola gerakan mahasiswa: "Kalau gerakan mahasiswa Indonesia dibandingkan dengan negara-negara maju, saya kira kita ketinggalan puluhan tahun, baik dari segi keradikalan ide-idenya, kerevolusioneran sikap-sikapnya, kematangan koordinasinya, serta kekompakannya. Meski demikian kita boleh bangga bahwa pemimpin-pemimpin gerakan mahasiswa sebelum kemerdekaan adalah pejuang sekaligus pemikir." Kegelisahan yang digemakan Wahib dalam Pergolakan Pemikiran Islam pada 23 Oktober 1970 itu hingga kini masih terasa gaungnya.
Apalagi ketika mengamati gerakan mahasiswa saat ini yang bias oleh kepentingan pragmatis serta tidak memiliki pijakan paradigmatik yang jelas. Gerakan mahasiswa pun tumpul. Dan, predikat agen perubahan (agent of change) seperti bertengger di menara gading.Gerakan mahasiswa pernah mencapai klimaks pada Mei 1998 ketika berhasil menumbangkan (rezim otoriter) Soeharto sekaligus meneluhkan badai reformasi. Namun perlahan gelombang gerakan mahasiswa pun menyusut. Hatta, satu dasawarsa kemudian, Mei 2008, reformasi ternyata belum menghasilkan perubahan substansial yang benar-benar berarti. Tak ubahnya gerbong kosong, sebab reformasi tak dikawal dengan gerakan sistemik untuk membumikan agenda-agenda kerakyatan. Pertanyaan pun mencuat: ke manakah mereka, para mahasiswa, itu?
Nurani Soyomukti mendedahkan jawabnya dalam buku ini. Alumnus Fisip Universitas Jember itu menuduh mahasiswa saat ini tengah meringkuk dalam ruang pengap budaya yang dikonstruksi oleh kapitalisme. Dengan keperkasaannya, kapitalisme mengasingkan mahasiswa dari realitas sosial dan kebiasaan berpikir kritis serta berilmu pengetahuan, baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus. Kapitalisme telah menelikung eksistensi mahasiswa agar tak lagi dapat menjadi "mahasiswa sejati" yang getol membela kebenaran dan keadilan, sehingga lahirlah generasi mahasiswa bergaya hidup anti-ilmiah dan anti-aksi-aksi advokasi kerakyatan (hlm. 23).
Meski masih ada segelintir mahasiswa yang berusaha loyal dengan khitahnya sebagai agen perubahan, keberadaan mereka mirip sepercik tinta yang menetes di lautan. Mereka gagal membangun pencitraan massif yang positif terhadap mahasiswa. Ironisnya, justru citra negatif yang kerap melekat pada diri mahasiswa karena acapkali tersandung kasus-kasus amoral.Itulah sekelumit fenomena buram gaya hidup mahasiswa yang dipotret buku ini: mulai dari melemahnya tradisi berpikir kritis lewat forum-forum diskusi yang tergantikan oleh budaya cangkrukan dan ngerumpi sambil pencat-pencet HP, menguatnya sikap hedonistik dengan gemar berbelanja di mal ketimbang membeli buku, bahkan merayakan pesta narkoba dan prostitusi terselubung.
Soyomukti menguraikannya dengan sangat gamblang tentang bagaimana terjadi pergeseran karakter mahasiswa dalam setiap zaman sampai pencitraan mahasiswa yang berubah di mata masyarakat.Mahasiswa memang mengalami penindasan kapitalisme melalui konstruksi gaya hidup dan budaya keseharian. Tanpa mereka sadari, nalar kritisnya ditumpulkan dan akses pengetahuan meski tampak kasat mata namun terbentur budaya tanding yang berorientasi pada pemenuhan hasrat hedonistik yang menggelapkan mata.
Dalam situasi demikian, eksistensi mahasiswa benar-benar berada di tubir jurang kehancuran.Betapa tidak, mahasiswa kini dikepung kapitalisme dari berbagai penjuru, mulai privatisasi pendidikan, materi pendidikan yang semata-mata mengabdi pada kepentingan industri pasar, serbuan realitas semu media yang menampilkan hipokritisme sosial melalui sinetron dan tayangan infotainment. Hal ini mengindikasikan kehidupan mahasiswa yang kian berjarak dengan realitas ketidakadilan dan pemiskinan masyarakat. Mereka kiranya tak menyadari bahwa semakin masuk dalam pusaran kultur yang diciptakan kapitalisme, maka eksistensi dan gaya hidup mereka pada hakikatnya tengah diteror (hlm. 80-91).
Dalam menganalisis fenomena kehidupan mahasiswa ini, Soyomukti tidak terjebak pada pendekatan moral-religius. Misalnya seperti yang dilakukan Iip Wijayanto dengan Sex in The Kost. Pendekatan demikian hanya melihat objek dengan kacamata hitam-putih dan mengasumsikan mahasiswa hidup di ruang hampa. Naga-naganya, pendekatan ini cenderung melarang atau mengharuskan dengan kriteria moral tertentu. Gaya hidup mahasiswa yang menyimpang serta sirnanya idealitas kerakyatan lantas dituduh sebagai temperamen yang memang sudah melekat. Bagi Soyomukti, moral bukanlah sebab, melainkan akibat dari kontradiksi kapitalisme.Karena itu, cukup masuk akal bila refleksi Soyomukti dalam buku ini sangat menarik dan terbilang tidak biasa. Ia tidak hanya melihat wajah makro kehidupan mahasiswa, tetapi juga meneroka fenomena subtil dan terdalam dari mahasiswa.
Maka, lebih dari sekadar reportase gerakan mahasiswa, buku ini mengungkap sisi lain kehidupan mahasiswa yang nyaris tak tersentuh oleh karya-karya serupa lainnya.Namun, di tengah-tengah kepiawaian Soyomukti dalam mengeksplorasi teori-teori kritis dan pemikiran kiri ala Marxian, psikologi Frommian, dan filsafat cinta Gibranian sebagai pisau analisis kajian, ia masih terkesan kurang tajam dalam menelanjangi teknologi kekuasaan dan kepentingan ideologis kapitalisme yang meneror kehidupan mahasiswa, sehingga analisisnya pun terasa agak normatif. Dus, munculnya garis demarkasi antara kegiatan subtil seperti berpacaran, dugem, shopping di mal dengan menelusuri kenikmatan belajar dan membangun aksi-gerakan melahirkan stigma moralitas oposisi biner. Kesan mereproduksi gaya tutur bernuansa dakwah pun tidak tertampik meski disusupi dengan analisis wacana kekiri-kirian.
Selain itu, meski cukup detail menjelajahi lajur-lajur pembebasan mahasiswa dalam konteks bernalar dan berpikir kritis guna membongkar hegemoni kapitalisme, buku ini tidak tegas memberi jawaban mengenai bagaimana praktik pembebasan yang terintegrasi dengan kekuatan-kekuatan gerakan rakyat dalam membumikan agenda kerakyatan.
Secuplik kelemahan tersebut tentu tidak mengurangi signifikansi dan kontribusi positif buku ini. Karena itu, buku ini layak diapresiasi para (calon) mahasiswa untuk bercermin, sekaligus bekal introspeksi dalam memaknai eksistensinya. (*)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar