skip to main | skip to sidebar

BUKU BUKU NURANI

Buku adalah Jendela Dunia

Senin, 18 Februari 2008

Resensi Buku "PENDIDIKAN BERPERSPEKTIF GLOBALISASI" di Media Indonesia


Diposting oleh SELAMATKAN BANGSA di 20.17 Tidak ada komentar:
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Langganan: Postingan (Atom)

METODE PENDIDIKAN MARXIS-SOSIALIS:

METODE PENDIDIKAN MARXIS-SOSIALIS:
ANTARA TOERI DAN PRAKTEK

MANUSIA TANPA BATAS

MANUSIA TANPA BATAS
Melejitkan Potensi, Kreatifitas, dan Meraih Kebebasan Tanpa Batas

INTIMACI--Keintiman

INTIMACI--Keintiman
Menjadikan Pacaran, Pernikahan, dan Merawat Anak Sebagai Surga Kehidupan

Profil Buku:

KEINTIMAN (intimacy) agaknya telah hilang dari kehidupan kita: anak-anak yang tak lagi dielus-elus orang dewasa, terutama Ibu dan bapaknya; gaya pacaran yang dipenuhi kekerasan; hingga relasi makro-sosial dalam masyarakat kita yang kian centang-perenang sebagaimana konflik dan gejolak semakin meluas gara-gara krisis ekonomi, krisis kebudayaan, dan krisis kepercayaan. Tidak bisakah kita membangun suatu keintiman yang mendalam, bermakna, agar hubungan menjadi indah dan jauh dari kekerasan dan kebohongan?

Nurani Soyomukti terdorong untuk selalu bertanya: bagaimana menjalin ikatan yang harmonis itu? Tentunya, dengan bantuan para psikolog ternama dalam sejarah (Freud, Fromm, dll), penulis merasa menemukan apa yang menjadi faktor pengikat hubungan manusia. Keintiman antara sesama adalah hakekat peradaban yang sejati dan maju. Sejarah yang menyangkal keintiman dan hasrat penyatuan manusia pada dunianya (alam dan sesamanya) adalah sejarah kehidupan yang buruk!

Buku ini menawarkan pemahaman yang utuh dan mendalam tentang Keintiman, juga ditunjukkan cara-cara untuk membangun keintiman dengan pacar (kekasih), suami/istri, hingga keintiman dengan anak-anak yang dipraktekkan dengan cara merawat anak-anak. Buku ini wajib dibaca oleh mereka yang ingin memaknai keintiman yang bermakna dan produktif-kreatif dalam hubungan antara sesama manusia, terutama dalam hubungan dengan kekasih atau orang-orang yang dicintai.

(PRESTASI PUSTAKA, Cover Belakang)

Arsip Blog

  • ►  2009 (1)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2008 (19)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (7)
    • ►  Mei (1)
    • ▼  Februari (1)
      • Resensi Buku "PENDIDIKAN BERPERSPEKTIF GLOBALISAS...
    • ►  Januari (9)

============

============
Nurani Soyomukti

Membaca Buku "DEMONSTRASI SEKS BEBAS"

Membaca Buku "DEMONSTRASI SEKS BEBAS"
"Hah? Seks bebas kok Didemo...?"

PLEDOI:

Ketidakpercayaan pada intelektualitas dan kebenaran akan membuat hidup mengalir seperti 'tai' di sungai....
BACA, MENULIS, DAN LAWAN!!!
Dengan Menonton Sinetron Kita DIBODOHI!!, Denggan Baca Buku Progresif Kita DICERDASKAN!!!

Buku Nurani Soyomukti

Buku Nurani Soyomukti
BUNG KARNO DAN NASAKOM

buku terbaru Nurani Soyomukti:

buku terbaru Nurani Soyomukti:
"MEMAHAMI FILSAFAT CINTA"

Keterangan Buku "MEMAHAMI FILSAFAT CINTA":

:: Penerbit Prestasi Pustaka-Surabaya::

"Demam film “Ayat-Ayat Cinta” (AAC) menunjukkan bahwa kata “Cinta” benar-benar masih menjadi magnet bagi banyak orang, terutama remaja dan kaum muda. Tetapi sudahkah mereka memahami filsafat Cinta itu sendiri ataukah mereka hanya menjalani hubungan cinta yang dangkal dan tidak menunjukkan hakekat kemanusiaan itu sendiri.

Cinta bukanlah kata-kata, tetapi adalah tindakan konkrit yang diejawantahkan dalam kehidupan nyata. Demikianlah, buku ini adalah risalah Cinta yang sangat penting: renungan seorang filsuf muda yang telah menghasilkan berbagai karya (buku dan catatan-catatan budaya), Nurani Soyomukti.

Dengan menawarkan konsep Cinta yang akan membawa Anda pada pemahaman tentang cinta tang mendalam dan bermakna dalam hubungan antar manusia, buku ini menawarkan universalisasi hubungan Cinta. Lebih dari sekedar buku yang memberikan kiat-kiat membangun hubungan cinta eksklusif (pacaran dan pernikahan), buku ini mengkonstruksi sebuah pemahaman yang sangat utuh dan reflektif.

“Buku ini tidak layak dibaca oleh orang yang tidak percaya pada Cinta”, demikian Nurani Soyomukti menegaskan sebelum Anda membaca uraian kata-kata yang mencerahkan tetapi dikemas dengan bahasa yang tidak terlalu berat ini. Maka inilah buku filsafat Cinta yang akan membawa Anda pada pemahaman komprehensif tentang Cinta dan kisah kasih yang Anda jalin dalam kehidupan ini. Reflektif, humanis, enlighten, dan kaya akan landasan teoritik... Inilah ‘Ayat-Ayat Cinta Universal’ itu!"



Buku Nurani Soyomukti

Buku Nurani Soyomukti
"DARI DEMONSTRASI HINGGA SEKS BEBAS"

RREVOLUSI TIBET

RREVOLUSI TIBET
Buku Terbaru (Mei 2008) Nurani Soyomukti

Buku Baru Nurani Soyomukti

Buku Baru Nurani Soyomukti
judul: "HUGO CHAVEZ Vs. AMERIKA SERIKAT" (Februari, 2008)

Buku NURANI SOYOMUKTI:

Buku NURANI SOYOMUKTI:
"REVOLUSI SANDINISTA"

Buku NURANI SOYOMUKTI:

Buku NURANI SOYOMUKTI:
"PENDIDIKAN BERPERSPEKTIF GLOBALISASI"

Buku NURANI SOYOMUKTI

Buku NURANI SOYOMUKTI
"REVOLUSI BOLIVARIAN, HUGO CHAVEZ, DAN POLITIK RADIKAL"

PERADABAN BUKU TERANCAM


Buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku sejarah diam, sastra bungkam, sains lumpuh, pemikiran macet. Buku adalah mesin perubahan, jendela dunia, “mercu suar” seperti kata seorang penyair, “yang dipancangkan di samudera waktu”.

(Barbara Tuchman, 1989)


Peradaban buku di negeri ini terancam. Di tahun 2007 pembakaran buku dilakukan di berbagai wilayah se-Indonesia. Bahkan di Depok, Kejaksaan Negeri Kota Depok memusnahkan 1.247 buku sejarah kurikulum 2004. Bahkan secara simbolis pemusnahan buku dengan cara dibakar tersebut dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Depok Bambang Bachtiar, Walikota Depok Nurmahmudi Ismail, dan Kepala Dinas Pendidikan Depok Asep Roswanda (Koran Tempo, 21/7.2007).
Berawal pada tanggal 9 Maret 2007, saat Jaksa Agung Muda bidang Intelijen, Muchktar Arifin dalam konferensi pers mengumumkan bahwa Kejaksaan Agung dengan SK 19/A/JA/03/2007 tertanggal 5 Maret 2007 telah melarang 13 judul buku pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA yang diterbitkan oleh 10 penerbit. Sebagian buku yang dilarang itu merupakan buku pelajaran kelas I SMP. Alasan pelarangan adalah tidak memuat pemberontakan Madiun dan 1965 dalam buku-buku itu serta tidak mencantumkan kata PKI dalam penulisan G30S.
Belakangan, tindakan merazia dan men-sweeping buku yang dianggap melanggar hukum tersebut terjadi secara meluas di berbagai daerah. Beberapa pemerintah daerah melalui Departemen Pendidikan bahkan membentuk tim sweepin buku tersebut. Reaksipun bermunculan, terutama dari pihak penerbit yang tergabung dalam Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), para pengamat, dan aktivis demokrasi.

Memundurkan Peradaban
Yang perlu dicatat, kejadian semacam ini bukan pertama kalinya dalam sejarah bangsa kita. Pelarangan, pembakaran, dan represi terhadap aktivitas menerbitkan buku atau terbitan lain selalu terulang-ulang. Bahkan kalau kita tengok jauh ke belakang, upaya untuk menghancurkan peradaban buku selalu identik dengan menghancurkan peradaban masyarakat.
Bagai kita yang mempelajari sejarah, tentu kita teringat kejadian-kejadian sejarah peradaban yang maju dan mundur. Maju karena buku dan mundur karena dihancurkannya pusat-pusat peradaban yang menyimpan buku-buku. Dalam sejarah Eropa pernah terjadi bagaimana perpustakaan Aleksandria atau Iskandariyah di Mesir, perpustakaan terbesar di dunia pada saat itu yang didirikan sekitar abad ke-3 Sebelum Masehi terbakar atau dibakar (?) oleh orang-orang yang anti-perkembangan ilmu pengetahun sehingga membuat kemajuan ilmu pengetahuan berjalan lambat.
Masih di Eropa, pembakaran dan razia juga dilakukan, baik di masa Reformasi maupun ketika Hitler mencengkeram Eropa. Dan di masyarakat kita sendiri, perubahan bahasa yang mencolok antara Jawa Kuno ke Jawa Modern seakan tanpa bahasa transisi sehingga membuat orang Jawa sama sekali tak mengenal bahasa Jawa Kuno persis seperti dengan bahasa asing kecuali sebagai penghalus pidato seremonial, pun ditengarai akibat dari razia buku dan hilangnya bahasa Jawa Tengah-an sebagai transisi ke bahasa Jawa Modern.
Musuh kemanusiaan selalu menyerang untuk berkuasa dan buku selalu dihabisi. Jadi, menghancurkan buku-buku dan memasung kebebasan orang untuk menulis sesuai dengan keyakinan dan imajinasinya masing-masing selalu berbarengan dengan kepentingan politik. Apalagi, pada saat masyarakat kita saat ini tengah dihegemoni oleh budaya tonton (terutama didominasi acara sinetron, telenovela, dan gosip), keberadaan buku sebagai bacaan yang mencerahkan masyarakat begitu tentan untuk terancam. Pongahnya jaksa agung mengeluarkan larangan tersebut salah satunya juga karena ketidakpedulian masyarakat terhadap dunia buku dan budaya baca-tulis, karena budaya tonton bagai penjara yang memasung naluri kritis dan kesadaran demokrasi.

Kebudayaan Mundur
Buku adalah sarana untuk melakukan pencerahan melalui aktivitas literasi. Dunia literasi adalah dunia di mana semakin banyak orang yang mengenal baca-tulis, dan lebih jauh lagi menggunakan kemampuan tersebut untuk memahami persoalan (dan untuk memajukan) bangsanya. Ketika kebebasan literer dipasung, musnahlah harapan untuk melihat bangsa yang cerdas, melek sejarah, dan menciptakan masyarakat pembelajar yang merupakan syarat bagi kemajuan suatu peradaban manusia. Negara yang besar adalah Negara yang menghargai sejarahnya. Negara yang besar adalah yang masyarakatnya menyukai kebiasaan membaca dan menulis. Kebiasaan budaya baca dan tulis ini disebut sebagai budaya literer.
Ketidakproduktifan masyarakat Indonesia memang berkaitan dengan sejarahnya. Sebelum modernisasi masuk, budaya baca-tulis tidak terbangun karena rakyat hanya menerima dan memberi informasi dan pengetahuan berdasarkan dongeng-dongeng yang tersebar, yang melekat pada pemahaman yang membodohi rakyat dan menguntungkan kaealang raja-raja (bangsawan). Melalui dongeng rakyat harus menerima pemahaman bahwa raja adalah gusti (wakil Tuhan/Dewa), yang harus dituruti perintahnya. Ini menunjukkan bahwa budaya oral (lisan) di mana budaya baca-tulis tidak hidup, sebuah masyarakat bukan hanya tidak dapat maju, tetapi juga diwarnai hubungan penindasan dan penipuan.
Asumsi tentang masyarakat literer dan modernisasi dapat kita pahami dari studi ilmu-ilmu sosial seperti dalam studi Daniel Learner yang mempelajari tradisi, transisi, dan modernisasi di enam Negara Timur Tengah. Dalam bukunya The Passing of Traditional Society: Modernizing The Middle East, Learner menerapkan asumsi ketat bahwa perbedaan antara masyarakat tradisional, masyarakat transisional, dan masyarakat modern ditandai oleh akses kepada tulisan atau aksara (baik buku maupun koran) dan kepada media komunikasi massa lainnya seperti radio.
Masyarakat modern Indonesia yang dicangkokkan oleh penjajah Belanda melalui kolonialisme juga dengan sendirinya melahirkan masyarakat literer modern. Untuk mempercepat eksploitasi kapitalisme, maka harus ada infrastruktur politik dan budaya yang mendukungnya. Kapitalisme, berbeda dengan feodalisme kerajaan, membutuhkan masyarakat yang mengenal tulisan dalam tujuannya untuk menciptakan tenaga kerja yang modern seperti administrasi rasional yang membutuhkan dokumentasi dan publikasi, pekerja-pekerjanya yang membutuhkan kerja-kerja menulis (mulai juru ketik hingga akhirnya juga muncul penerbitan-penerbitan koran dan buku-buku).
Tak diragukan, kemunduran budaya literer barangkali terjadi ketika Orde Baru bercokol sebagai rejim yang takut pada kata-kata dan suara-suara dari rakyatnya. Setiap suara kritis dibungkam dan dikambing hitamkan. Membawa buku ditangkap, menulis ditangkap, dan menerbitkan koran dan majalah juga tidak aman.
Yang menjadi persoalan kemudian, apakah sejak ketuntuhan Orde Baru budaya literer kita meningkat? Modernisasi pasca-Soeharto membawa lompatan kualitas modernisasi di bawah payung sistem ekonomi kapitalisme yang bercorak neoliberal. Basis kebudayaan dihiasi dengan liberalisme, kebebasan untuk mengontestasikan ekspresi budaya yang salah satunya munculnya banyak penerbit media cetak baru, salah satunya juga penerbitan buku. Tetapi meragukan apakah menjamurnya penerbitan tersebut dapat berpengaruh pada cara masyarakat kita bersikap memandang realitas. Jika banyak orang yang menulis buku, banyak terbitan, bahkan banyak artis-artis yang menulis buku, ternyata dengan serta merta budaya literer juga mempengaruhi cara berpikir masyarakat—sebagaimana jaman pergerakan kekuatan baca-tulis sangat berguna dalam meningkatkan kesadaran rakyat.
Budaya baca-tulispun masih belum dapat mengalahkan saingannya dalam ranah budaya, yaitu budaya menonton (TV) yang juga sekaligus meningkatkan budaya oral seperti semaraknya acara infoteinmen (gosip). Kebiasaan gosip peranh jaya pada masa kegelapan jaman kerajaan di mana rakyat hanya menerima kabar dan perkembangan social dari getok-tular mulut dan dongeng. Budaya oral ini lebih banyak tidak objektifnya dan banyak manipulasinya. Selain itu budaya menonton tidak memicu produktifitas dan kreatifitas (imajinasi) otak. Berbeda dengan budaya baca-tulis yang membentuk kualitas pribadi, selain memasok dan mentransfer pengetahuan dan ideologi.
Masyarakat yang didominasi budaya tonton pastilah hanya memperbanyak generasi yang berpikir dan bertindak secara—apa yang disebut Herbert Marcuse sebagai—“satu dimensi” (one-dimensional man). Mereka hanya bisa meniru dan lahirlah masyarakat permisif dan konsumtif—tidak produktif dan kreatif. Pada hal, untuk membangun bangsa ini kita butuh manusia yang berkarakter yang punya gairah untuk memahami persoalan dan memiliki kemauan dan kemampuan untuk mencipta.
Mau tak mau, masyarakat literer harus dirumuskan pembangunannya. Bagaimana strateg-taktik untuk menciptakan masyarakat literer tentu saja membutuhkan perhatian dari berbagai pihak. Pemerintah harus mendukungnya, lembaga-lembaga pendidikan, penelitian, dan penerbitan memiliki peran yang strategis. Selain itu juga komunitas-komunitas baca tulis yang kini semakin banyak bermunculan juga menandai adanya harapan bahwa masyarakat literer masih dapat diharapkan untuk mendukung pembangunan bangsa yang terseok-seok karena makna aksaranya sendiri.***

INGGRIS MODERN-KAN BUKU TUA:


DUKUTIP DARI: detik@plinplan on 01 Oct 2007http://detik.plinplan.com/2007/10/01/inggris-moderenkan-buku-tua/

Inggris - Buku-buku tua milik perpustakaan Inggris akan dimoderenkan melalui proses digital. Jumlahnya lebih dari 100.000 buku yang merupakan keluaran abad 18 dan 19.Menurut rencana, sebagai langkah awal dari program ini, buku-buku keluaran abad 19 akan lebih diprioritaskan.

Pasalnya, kumpulan buku di masa itu dianggap kurang begitu dikenal karena hanya dicetak ulang dalam jumlah yang sedikit setelah edisi pertamanya.Program digitaliasi ini ditujukan untuk memudahkan para pendidik dalam mencari referensi dalam mengajar. “Jika tidak ada edisi modern, para pengajar tidak dapat menggunakannya saat mengajar,” ujar Dr Kristian Jensen, dari perpustakaan Inggris.Setiap harinya jumlah halaman yang dipindai mencapai 50.000 halaman.

Ada 30 terabyte kapasitas data yang disediakan untuk menampung proyek ini. Diharapkan, 25 juta halaman pertama dapat selesai dalam kurun waktu dua tahun. Sementara kategori baru akan melengkapi kumpulan buku sejarah yang telah lebih dahulu tersedia versi digitalnya.Ada dua sumber komersial yang ikut serta dalam program ini, yaitu The Early English Books Online dan The Eighteenth Century Collections Online. Mereka menyediakan koleksinya secara cuma-cuma bagi institusi pendidikan tinggi di Inggris.

Sumber digital lain untuk melengkapi koleksi perpustakaan Inggris akan berasal dari dua juta halaman surat kabar dari abad 19 dan satu juta halaman dari abad 18.Seperti dikutip detikINET dari BBC, Senin (1/10/2007), untuk mengakses versi digital ini akan disediakan dua cara, yakni melalui Microsoft’s Live Search Books dan melalui situs perpustakaan Inggris.Situs ini juga dilengkapi fitur ‘pencarian teks’ untuk memudahkan orang dalam mencari buku-buku yang diinginkan, karena tinggal mengetik kata kunci dari materi yang dicari.Jika Microsoft bekerja sama dengan perpustakaan Inggris, lain lagi dengan Google.

Seakan tak mau kalah, raksasa mesin pencari di internet ini juga telah menggandeng lima perpustakaan ternama sekaligus, yakni Stanford, Harvard, Michigan, New York dan Bodleian di Oxford.

Buku Memasuki Tahun 2008

Pergantian Tahun Menuju
Peradaban Buku?

Oleh: Nurani Soyomukti*)

Jika seorang Ziaudin Sardar memaklumatkan bahwa abad 21 adalah peradaban buku, apakah pergantian tahun menuju 2008 ini kita akan menuju peradaban buku? Nampaknya masih jauh.
Kita patut berbahagia pada saat tahun 2007 masyarakat Jawa Timur, terutama masyarakat korban lumpur Lapindo, mendapatkan pertolongan dari seorang artis selebritis seperti Rieke Diah Pitaloka yang mendirikan perpustakaan untuk anak-anak. Di tengah bencana Lumpur panas yang menghancurkan sekolah-sekolah, kegiatan mengumpulkan buku-buku dan mendekatkannya pada anak-anak merupakan sebuah berkah yang memberi titik cerah bagi peradaban.
Akan tetapi kita juga patut resah karena masih ada kalangan yang begitu membenci buku. Ada kejadian pada tahun 2007 di mana buku-buku dibakar hanya gara-gara tidak mencantumkan kata PKI dalam buku-buku sejarah—pada hal peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965 memang masih belum tentu semata-mata kesalahan PKI. Pembakaran buku-buku sejarah terjadi di Madiun dan beberapa kota Jawa Timur. Selain itu, betapa menyedihkannya membaca berita tentang seorang Walikota, pimpinan masyarakat perkotaan, berada di depan mempelopori penghancuran terhadap peradaban buku. Adalah Nurmahmudi Ismail, walikota depok, berada di paling depan aksi pembakaran buku-buku sejarah. Secara simbolis pemusnahan buku dengan cara dibakar tersebut dilakukan Nuramahmudi bersama Kepala Kejaksaan Negeri Depok Bambang Bachtiar dan Kepala Dinas Pendidikan Depok Asep Roswanda (Koran Tempo, 21/7/2007).
Yang ada dalam pikiran kita adalah, kenapa masih ada saja pemimpin rakyat yang memundurkan kebudayaan dan peradaban bangsa, berada di depan untuk menghambat dan menghancurkan budaya ilmiah dan kebebasan berimajinasi dan berekspresi rakyatnya. Kita juga bertanya, adakah pemimpin-pemimpin di negeri terdahulu juga melakukan hal yang sama?
Nasib buku di negeri ini harus diakui juga masih memprihatinkan. Bukan hanya Orde Baru yang melarang penerbitan buku-buku kritis, hingga kini masih seringkali terjadi pelarangan dan pembakaran buku-buku yang celakanya berasal dari kalangan masyarakat sendiri yang sering mengklaim kebenaran menurut kelompoknya. Artinya, buku sebagai media menyampaikan bahasa tidak mendapatkan ruang demokratis di negeri ini. Inilah salah satu penghambat perkembangan kebudayaan kita.

Buku Mahal
Di Jawa Timur, misalnya, anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) memberikan dana yang cukup kecil untuk pengadaan buku. Anggaran Persebaya lebih besar dibandingkan untuk buku bagi perpustakaan dan sekolah (Kompas Edisi Jawa Timur, 25/11/2006). Pada hal masyarakat Jawa Timur masih banyak yang membutuhkan kecerdasan literer.
Akibatnya, hambatan utama bagi lahirnya peradaban buku dan peradaban literer adalah mahalnya harga buku-buku karena kurangnya subsidi yang diberikan oleh pemerintah. Dari tahun ke tahun, naiknya harga buku-buku teks di sekolah mulai tingkat TK hingga SMU belakangan ini sangat mencekik orangtua murid di pedesaan. Bahkan banyak juga yang putus asa melihat harga-harga buku tersebut, sehingga banyak orangtua yang memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan anaknya. Biasanya para orangtua akan bertanya berapa harga buku-buku karena mereka juga berkeyakinan bahwa keberadaan buku memang penting bagi anak-anak mereka. Bahkan sekolah itu juga identik dengan membaca buku.
Anggapan yang ada di benak orangtua seperti itu seharusnya dijadikan oleh pemerintah dan semua pihak yang punya perhatian pada pengadaan buku yang ada. Peradaban literer Indonesia yang kian mundur karena adanya kemiskinan dan dominasi budaya menonton akibat menyeruaknya TV sebagai media yang paling dekat dengan rakyat, seharusnya menimbulkan keprihatinan yang mendalam untuk menudia memperbaiki kondisi yang ada.
Pemerintah sendiri nampaknya tidak cukup peduli dengan kebutuhan rakyat pada bacaan-bacaan dan buku-buku yang seharusnya menjadi tanggungjawabnya. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah kewajiban negara—sebagaimana ditegaskan oleh UUD 1945. Tetapi pemerintah ternyata justru menyerahkan pengadaan buku pada pihak swasta (kapitalis) sehingga tujuan pengadaan buku bukan lagi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, tetapi untuk mencari keuntungan. Jika tidak menguntungkan, untuk apa membuat buku. Seakan kegiatan mencerdaskan (anak-anak) bangsa tidak akan dilakukan jika tidak menguntungkan. Atau jangan-jangan dalam kapitalisme telah dengan sendirinya muncul prinsip: Anak-anak, kaum muda, penduduk tidak boleh pintar dan berpendidikan karena kalau mereka banyak pengetahuan dan memahami banyak hal, mereka akan mempertanyakan segala penipuan termasuk upaya segelintir pihak untuk mencari keuntungannya sendiri.
Bagaimanapun, pengadaan buku-buku di daerah pedesaan sangat dibutuhkan saat ini. Jika pemerintah punya tanggungjawab untuk memenuhi pengadaan buku-buku untuk rakyat, maka juga harus muncul inisiatif dari kalangan rakyat sendiri untuk mememberi penyadaran akan pentingnya buku untuk rakyat. Pemerintah harus mengaktifkan kembali perpustakaan keliling bukan hanya di daerah perkotaan, tetapi juga di daerah pedesaan. Hal yang sama juga merupakan kewajiban pemerintah untuk menghapuskan komersialisasi buku-buku pelajaran bagi anak-anak sekolah terutama di daerah pedesaan.
Selain itu, dibutuhkan peran serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat untuk membangun sebuah jaringan masyarakat pembelajar. Membangun taman-taman bacaan di kampung-kampung akan sangat bermanfaat. Saat para petani istirahat kerja atau pada masa menunggu panen mereka bisa membaca buku-buku baik mengenai persoalan pertanian, peternakan, kelautan untuk meningkatkan pengetahuannya. Taman bacaan juga dapat digunakan bagi rakyat untuk berkumpul dan mendiskusikan persoalan-persoalan mereka, meningkatkan paguyuban sesama anggota masyarakat. Ibu-ibu dan anak-anak tidak hanya menonton TV, tetapi juga membaca buku dan mendiskusikan masalah-masalah yang ada. Dari situlah muncul kesadaran dan keberdayaan. Semakin rakyat melek huruf dan mendapatkan informasi dari membaca, kualitasnya akan berbeda dengan hanya sekedar mendapatkan informasi dari TV, apalagi informasi hiburan (infoteinmen) yang hanya mengajari ibu-ibu dan anak-anak hanya ber-gosip. Gosip tidak mencerahkan, tetapi membodohi dan melahirkan budaya meniru, menumpulkan nalar kreatif bagi anak-anak.***

BMD (Buku Masuk Desa)

Merindukan Buku Masuk Desa!

Oleh: Nurani Soyomukti


Keterpinggiran masyarakat pedesaan di Indonesia bukan hanya menggambarkan kondisi kemiskinan, tetapi juga keterbelakangan budaya. Salah satu mandegnya budaya dan peradaban desa tersebut disebabkan oleh minimnya akses informasi dan pendidikan yang ada. Salah satu indikatornya adalah minimnya budaya baca di daerah pedesaan.
Ketika modernisasi secara perlahan-lahan memasuki wilayah pedesaan, ternyata tidak juga diikuti dengan kemajuan pendidikan yang berarti, terutama pemerintah (daerah) juga masih setengah hati untuk melakukan perbaikan di bidang pendidikan dan pembelajaran. Tak heran, jumlah penduduk buta huruf dan tidak menikmati budaya baca-tulis kebanyakan ada di daerah pedesaan tersebut.
Kebanyakan penduduk desa masih terbelakang seiring dengan rusaknya kondisi tanah dan menyempitnya lahan, juga menurunnya produktifitas lahan. Untuk daerah pedesaan di wilayah Jawa Timur, misalnya, banyak orang yang menyabung nyawa dengan menjadi buruh migran (TKI) ke luar negeri seperti Timur Tengah, Malaysia, Taiwan, Brunei, dll. Dari situlah mereka mampu meningkatkan pendapatan perekonomiannya.
Akan tetapi itupun harus mengorbankan banyak hal. Seperti nasib perkembangan anak-anak yang ditinggalkannya. Orang tua dari anak yang ditinggalkannya tidak bisa lagi mengontrol perkembangan anak karena harus berjuang mencari penghasilan di negeri orang. Sedangkan, jauh dari orangtua juga membuat anak mengalami perkembangan psikologis yang tidak sehat, kurang perhatian dan kasih sayang yang mengganggu perkembangannya menjadi dewasa.
Kemajuan di daerah pedesaan secara fisik memang akan membuat masyarakatnya mampu menjangkau produk-produk seperti TV yang dapat digunakan sebagai benda yang mendatangkan informasi dan (terutama) hiburan. Maka kehadiran TV yang kini semarak di pedesaan tersebut di satu sisi juga menghasilkan kejutan budaya (cultural shock). Masalahnya, realitas yang ada di pedesaan seringkali jauh dari apa yang digambarkan di TV-TV. Tayangan TV yang didominasi oleh budaya urban sama sekali berbeda dengan apa yang menjadi kebiasaan di wilayah pedesaan (rural) dan pinggiran. Ketegangan budaya inilah yang pada akhirnya akan menghasilkan perkembangan psikologis masyarakat yang kurang sehat.
Pada saat seperti itulah, sebenarnya pemerintah dan kalangan lembaga swadaya masyarakat menekankan pada program-program pendidikan dan pembelajaran di daerah pinggiran. Anak-anak daerah pinggiran juga memiliki hak yang sama dengan anak-anak di daerah perkotaan. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan kegiatan pembelajaran dari siapa saja, berhak mendapatkan kegiatan bermain yang menyenangkan dan merangsang kreatifitas otaknya.
Salah satu indikator dari kurangnya perhatian terhadap pendidikan di pedesaan ini adalah minimnya buku-buku yang dapat diakses oleh anak-anak dan kaum pemuda/pemudi. Buku di daerah pedesaan merupakan barang yang asing dan mahal. Asing dalam makna bahwa sebagai produk modernitas juga, buku belum menjadi kebutuhan. Belum menjadi kebutuhan ini salah satunya karena kurang sosialisasi dari pemerintah yang seharusnya mengkampanyekan budaya baca di kalangan rakyat dengan diiringi pemenuhan buku-buku yang layak dan bermanfaat bagi masyarakat pedesaan. Mahal dalam makna bahwa sebelum membeli buku mereka harus berpikir karena untuk membeli kebutuhan-kebutuhan yang lebih pokok untuk mempertahankan hidupnya saja masih kesulitan.

Buku Bukan Benda Komersil
Orangtua dari anak-anak yang berada dalam usia sekolah saja biasanya kesulitan untuk membayar harga buku-buku teks yang dibebankan sekolah. Naiknya harga buku-buku teks di sekolah mulai tingkat TK hingga SMU belakangan ini sangat mencekik orangtua murid di pedesaan. Bahkan banyak juga yang putus asa melihat harga-harga buku tersebut, sehingga banyak orangtua yang memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan anaknya. Biasanya para orangtua akan bertanya berapa harga buku-buku karena mereka juga berkeyakinan bahwa keberadaan buku memang penting bagi anak-anak mereka. Bahkan sekolah itu juga identik dengan membaca buku.
Anggapan yang ada di benak orantua seperti itu seharusnya dijadikan oleh pemerintah dan semua pihak yang punya perhatian pada pengadaan buku yang ada. Peradaban literer Indonesia yang kian mundur karena adanya kemiskinan dan dominasi budaya menonton akibat menyeruaknya TV sebagai media yang paling dekat dengan rakyat, seharusnya menimbulkan keprihatinan yang mendalam untuk menudia memperbaiki kondisi yang ada.
Pemerintah sendiri nampaknya tidak cukup peduli dengan kebutuhan rakyat pada bacaan-bacaan dan buku-buku yang seharusnya menjadi tanggungjawabnya. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah kewajiban negara—sebagaimana ditegaskan oleh UUD 1945. Tetapi pemerintah ternyata justru menyerahkan pengadaan buku pada pihak swasta (kapitalis) sehingga tujuan pengadaan buku bukan lagi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, tetapi untuk mencari keuntungan. Jika tidak menguntungkan, untuk apa membuat buku. Seakan kegiatan mencerdaskan (anak-anak) bangsa tidak akan dilakukan jika tidak menguntungkan. Atau jangan-jangan dalam kapitalisme telah dengan sendirinya muncul prinsip: Anak-anak, kaum muda, penduduk tidak boleh pintar dan berpendidikan karena kalau mereka banyak pengetahuan dan memahami banyak hal, mereka akan mempertanyakan segala penipuan termasuk upaya segelintir pihak untuk mencari keuntungannya sendiri.
Hal itu akan jelas jika kita melihat sejarah perbukuan Indonesia yang sangat penuh dengan kepentingan kekuasaan. Mulai munculnya penerbitan buku pertama kali, yaitu Balai Pustaka yang penuh kepentingan kolonial Belanda dalam menjajah negeri kita. Muatan buku sendiri juga dikontrol oleh pemerintah, terutama pada jaman pemerintahan Orde Baru yang bertujuan untuk memanipulasi dan membodohi rakyat akan sejarah bangsanya sendiri. Kita masih ingat dilakukannya penangkapan para aktivis yang membawa buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer di tahun 1980-an. Belakangan buku teks sejarah juga masih dimanipulasi dan dikontrol oleh kekuasaan yang bernuansa Orde Baru. Buku-buku teks pelajaran sekolah harus senyertakan kata “G 30/S/PKI” setelah terjadi penghapusan kata PKI karena memang sejarah tahun 65 masih belum menemukan kejelasan.
Bagaimanapun, pengadaan buku-buku di daerah pedesaan sangat dibutuhkan saat ini. Jika pemerintah punya tanggungjawab untuk memenuhi pengadaan buku-buku untuk rakyat, maka juga harus muncul inisiatif dari kalangan rakyat sendiri untuk mememberi penyadaran akan pentingnya buku untuk rakyat. Pemerintah harus mengaktifkan kembali perpustakaan keliling bukan hanya di daerah perkotaan, tetapi juga di daerah pedesaan. Hal yang sama juga merupakan kewajiban pemerintah untuk menghapuskan komersialisasi buku-buku pelajaran bagi anak-anak sekolah terutama di daerah pedesaan.
Selain itu, dibutuhkan peran serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat untuk membangun sebuah jaringan masyarakat pembelajar. Membangun taman-taman bacaan di kampung-kampung akan sangat bermanfaat. Saat para petani istirahat kerja atau pada masa menunggu panen mereka bisa membaca buku-buku baik mengenai persoalan pertanian, peternakan, kelautan untuk meningkatkan pengetahuannya. Taman bacaan juga dapat digunakan bagi rakyat untuk berkumpul dan mendiskusikan persoalan-persoalan mereka, meningkatkan paguyuban sesama anggota masyarakat. Ibu-ibu dan anak-anak tidak hanya menonton TV, tetapi juga membaca buku dan mendiskusikan masalah-masalah yang ada. Dari situlah muncul kesadaran dan keberdayaan. Semakin rakyat melek huruf dan mendapatkan informasi dari membaca, kualitasnya akan berbeda dengan hanya sekedar mendapatkan informasi dari TV, apalagi informasi hiburan (infoteinmen) yang hanya mengajari ibu-ibu dan anak-anak hanya ber-gosip. Gosip tidak mencerahkan, tetapi membodohi dan melahirkan budaya meniru, menumpulkan nalar kreatif bagi anak-anak.***

Mengenai Saya

SELAMATKAN BANGSA
Lihat profil lengkapku